Buruh Kian Rentan: Disandera Perbudakan Modern Akibat Oligarki

Minggu, 30/04/2023 22:01 WIB
Demo Buruh (IDN Times)

Demo Buruh (IDN Times)

Jakarta, law-justice.co - Nasib buruh hari ini kian terhimpit, selepas terbitnya Perppu Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berakibat melegitimasi UU Cipta Kerja sebagai beleid hukum sah. Angka pengangguran yang menajam tinggi, pelanggaran hak buruh hingga upah yang tak layak menjadi wajah perburuhan yang tak kunjung berubah.

Menurut Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), kondisi perburuhan yang kian rentan dipengaruhi oleh relasi kuasa kalangan oligark. Legitimasi UU Cipta Kerja seakan menjadi penciptaan mereka yang memiliki modal dan kekuasaan dalam menentukan kebijakan orang banyak.

“UU Cipta Kerja semakin menegaskan bahwa paradigma dan praktik pembangunan ekonomi eksploitatif dan rakus yang digerakkan oleh mesin-mesin oligarki, mengeksploitasi alam dan manusia secara bersamaan demi akumulasi profit dan untuk melanggengkan kekuasaan para oligarkh,” kata Gebrak dalam siaran pers, Minggu (30/4/2023).

Dari angka pengangguran, Gebrak yang merujuk data BPS menekankan bahwa mereka yang menganggur karena efek pandemi Covid-19, ternyata lebih banyak jumlahnya dibanding sebelum pandemi menerpa. Tercatat ada 8,4 juta pengangguran (5,86 persen dari tenaga kerja) pada Agustus 2022. Sedangkan kondisi sebelum pandemi hanya terdapat 7 juta orang (5,28 persen).

Dari jumlah itu, jumlah pekerja di sektor informal cukup signifikan.“Pekerja lepas dan pekerja keluarga tidak dibayar saat ini jumlahnya mencapai 30,6 juta orang, meningkat 2,6 juta orang dibandingkan dengan sebelum pandemi,” urai Gebrak.

Di sektor pekerja formal, Gebrak mengatakan sejal awal pemerintahan Jokowi di tahun 2014 hingga kini, rasio pekerjaan di sektor formal stagnan di angka 41 persen. Jumlah pekerja di sektor formal, disebut hanya tumbuh 20 persen. Sementara jumlah mereka yang berusaha sendiri, termasuk di antaranya pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, dan para pekerja gig (tidak tetap) lainnya, tumbuh 46 persen. Proporsi tenaga kerja formal dan informal di Indonesia pada Agustus 2022 berdasarkan Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia (BPS) 40,69 persen formal dan 59,31% informal.

Gebrak menekankan makin banyak tenaga kerja yang terjun ke sektor informal yang penuh risiko. Bahkan, kebanyakan mereka yang berusaha sendiri bukanlah wirausaha yang punya potensi untuk tumbuh karena adanya kesempatan, melainkan mereka yang tidak punya pilihan lain untuk bekerja di sektor formal (tidak bisa survive di desa dan tidak terserap oleh lapangan kerja formal di kota).

Dalam problematika upah, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun 2022, terdapat 34 provinsi di Indonesia yang menetapkan upah minimum regional (UMR) dengan kisaran antara Rp 1,9 juta hingga Rp 4,4 juta per bulan. Kendati begitu, masih terjadi pelanggaran hak upah buruh sesuai ketentuan oleh perusahaan.

“Namun, masih banyak pekerja yang menghasilkan upah di bawah UMR dan terpaksa bekerja dalam kondisi yang tidak layak dan sangat rentan,” kata Gebrak.

Hak buruh kian ditekan, menyusul kemunculan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2023 (Permenaker 5/2023) yang melegalkan perusahaan padat karya tertentu berorientasi ekspor melakukan pemotongan upah pekerja hingga 75 persen. Menurut Gebrak, sebelum peraturan ini ada, pemotongan upah adalah praktik yang sering dialami oleh pekerja di sektor padat karya.

“Permen tersebut memfasilitasi dan memberi justifikasi bagi pengusaha untuk semakin melemahkan hak-hak buruh. Praktik perbudakan modern juga masih dapat kita temukan,” kata Gebrak.

Misal, fakta yang dialami oleh buruh perkebunan sawit. Dari penelusuran Gebrak, banyak praktik perbudakan modern di sektor kerja ini. Dalihnya selalu mengatasnamakan ekspansi perkebunan sawit yang menjadi kebijakan pemerintah

“Bahkan sampai di pulau pulau kecil, padahal sebagian besar buruh sawit statusnya adalah buruh harian lepas,” kata Gebrak.

Lain itu, perbudakan modern juga terjadi dan dialami oleh buruh migran yang bekerja di sektor perikanan yang menjadi ABK. Dalam catatan Gebrak, kondisi mereka jauh dari pemenuhan perlindungan terhadap keselamatan, terlebih kesejahteraan.

“Situasi buruk yang dialami oleh ABK ini merupakan bentuk kejahatan Transnasional dan negara telah melakukan pembiaran,” kata Gebrak.

Dari rentetan kasus pelanggaran hak pekerja, seperti upah yang tidak dibayar, jam kerja yang tidak wajar hingga ketidakamanan kerja, jumlahnya mencapai 56.596 kasus pelanggaran berdasar data Kementerian Tenaga Kerja pada 2022.

Narasi kerentanan buruh inilah yang akan diusung pada aksi May Day, 1 Mei 2023 nanti. Gebrak menuntut pencabutan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada buruh, mulai dari UU Ciptaker hingga Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tersebut. 

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar