Buruh Ungkap Hasil Pilpres 2024 Sebagai Puncak Krisis Rakyat

Minggu, 31/03/2024 18:15 WIB
Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Hasil rekapitulasi suara dari KPU yang menyimpulkan perolehan suara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sebagai pemenang Pilpres 2024 patut dipertanyakan legitimasinya. Sebab, berbagai proses yang telah berjalan, jauh dari kata jujur, adil serta bebas dan mengedepankan kedaulatan rakyat sebagai prinsip utama dari demokrasi politik itu sendiri. Pemilu tahun ini lantas dianggap sebagai proses demokrasi terburuk yang terjadi sepanjang sejarah sejak era reformasi, bahkan menyamai catatan buruk di masa Orde Baru.

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menekankan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan hanya terlibat dalam memanipulasi atau rekayasa perolehan suara dalam politik elektoral, tetapi jauh dari itu kekuasaan politiknya telah digunakan untuk membuat kondisi rakyat kian rentan. Berbagai beleid hukum menjerat rakyat, semisal UU Cipta Kerja yang pada praktiknya membikin lemah posisi buruh lantaran kian rentan di-PHK hingga kesulitan mendapat hidup yang lebih layak akibat upah murah.

Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno yang juga bagian dari Gebrak, menyoroti ekses dari Pemilu telah mengakibatkan kebutuhan pokok melambung. Seperti harga beras premium yang sempat menyentuh angka Rp18.000 per kilogram dari harga eceran tertinggi Rp14.000. Kondisi demikian dianggap tak terlepas dari politik bansos rezim Jokowi semasa kampanye yang diduga untuk pemenangan Prabowo-Gibran.

“Dengan kondisi ini, target untuk mencapai kemiskinan ekstrem 0% menjadi sulit. Terlebih kelompok miskin banyak yang jadi petani di mana kondisi naiknya harga beras tidak membuat daya beli petani naik. Pemilu 2024 adalah puncak dari krisis yang telah menjerat rakyat selama satu dekade terakhir,” kata Sunarno dalam keterangannya, Minggu (31/3/2024).

Rentannya situasi buruh karena upah murah, kata dia, berdampak pada pemenuhan kualitas pendidikan keluarga. Sejumlah buruh berkeluarga dalam posisi sulit untuk menyekolahkan anaknya sampai level perguruan tinggi, seiring kenaikan biaya pendidikan setiap tahun di sejumlah PTN maupun PTS.

Kerentanan rakyat juga tampak pada adanya konflik agraria. Selama sembilan tahun terakhir (2015-2023) sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta hektar yang berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani, buruh tani, nelayan dan masyarakat adat. Dalam kurun waktu yang sama, 2.442 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria.

Kata Sunarno, krisis agraria yang terjadi adalah kenyataan ironis bagi rakyat mengingat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah melalui reforma agraria adalah janji utama rezim pemerintahan Jokowi. Penyelesaian konflik agraria dengan prinsip pemulihan dan pengakuan hak atas tanah rakyat yang selama ini memperjuangkan keadilan agraria adalah satu dari banyak pekerjaan utama reforma agraria.

“Ke depan, situasi tersebut akan semakin kronis sebab berbagai regulasi dan kebijakan telah dikunci untuk melanjutkan praktek-praktek investasi bagi program strategis nasional dan badan usaha skala besar yang sepanjang 10 tahun terakhir banyak menggusur dan merampas tanah rakyat,” katanya.

Atas problematika yang dihasilkan rezim Jokowi yang kemungkinan besar bakal dilanjutkan di era Prabowo, Gebrak mendesak oposisi yang kuat dan berkualitas di parlemen untuk melakukan kontrol terhadap berjalannya rezim pemerintahan ke depan. Terpenting, kata Sunarno, rakyat mesti bersama melawan rezim yang hanya berpihak pada kepentingan politik praktis dan pebisnis.

“Menyerukan kepada seluruh elemen gerakan sosial untuk terus kritis dan melawan berbagai bentuk ketidakadilan, dan kebijakan yang merampas hak rakyat Indonesia, dan bertentangan dengan Undang-Undang 1945,” tukas Sunarno.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar