Penipu Online Jerat Puluhan WNI di Myanmar, Disiksa dan Diperbudak (2)

Sabtu, 29/04/2023 12:40 WIB
Ilustrasi Perdagangan Manusia ( foto: healthmediapolicy.com)

Ilustrasi Perdagangan Manusia ( foto: healthmediapolicy.com)

Jakarta, law-justice.co - Rosa adalah saudara sepupu NIS yang tinggal di Jakarta. Ia berkomunikasi secara intensif dengan NIS, dan terakhir berkontak pada Jumat pagi (28/04).

"Sekarang posisinya benar-benar disekap, karena mereka sudah mogok kerja. Jadi sudah lima hari ini mereka tidak makan dan minum, tapi memang ada bantuan dari orang-orang kerja setempat yang kadang membantu," kata Rosa—bukan nama sebenarnya.

Rosa menambahkan, sepupunya sekarang berada di bangunan berlantai lima. Di kawasan tersebut terdapat sekitar empat gedung serupa. "Dalam satu gedung itu terdapat beberapa perusahaan," katanya.

Dalam cerita NIS kepada Rosa, ia bekerja menjerat korbannya dengan asmara untuk diarahkan kepada investasi palsu. "Kayak lewat kripto, harus deposit ke tempat judi online, tapi sebenarnya websitenya nggak ada," katanya yang membenarkan ini sebagai cara kerja penipuan online dengan metode `jagal babi`.


Sebelumnya, investigasi BBC mengungkap sindikat penipuan online dengan memikat korbannya melalui asmara di Kamboja. Mereka pun merekrut tenaga kerja asal China.

Para pekerja disiksa dengan cara dipukul, disetrum, diikat jika tidak memenuhi target mendapatkan mangsa apa yang disebut penipuan online `jagal babi`. BBC menduga sindikat di Kamboja itu dijalankan pengusaha lokal, Kuong Li, yang memiliki bisnis kasino hingga perhotelan.

Menurut Rosa, ada kemungkinan jaringan `jagal babi` di Kamboja juga ada di Myanmar karena bebas dari razia penegak hukum.

"Sindikat penipuan online itu sangat diuntungkan kalau perang saudara terus terjadi," kata Rosa.


Rosa sengaja membuat akun IG @bebaskankami dalam satu bulan terakhir, untuk mencari perhatian dari warganet termasuk pihak berwenang.

Dalam sebuah video terakhir yang diunggah @bebaskankami, tampak belasan orang dalam satu ruangan dengan wajah putus asa. Mereka memohon kepada Presiden Jokowi, politisi dan tokoh berpengaruh di Indonesia, "tolong pulangkan kami".

https://www.instagram.com/p/CrN_U4ABCdD/

Dalam testimoni korban lainnya juga menyebutkan adanya "korban kejang-kejang karena siksaan."

"Setiap hari kami harus menanggung beberapa hukuman jika kami tidak memenuhi target ini."

`Setiap mau tidur, merasa berdosa`

Ema Ulfatul Hilmiah tak pernah membayangkan suaminya yang berinisial MA akan menjadi korban sindikat penipuan online di Mynamar.

Setelah menganggur selama dua tahun, pada November 2022 MA pergi ke Thailand karena mendapat tawaran bekerja sebagai operator marketing. Tapi MA malah terjebak dalam sindikat perdagangan orang dan berakhir di Mywaddy, sebuah daerah di Myanmar Tenggara yang dekat dengan perbatasan Thailand.

Wilayah itu terimbas perang saudara Myanmar sejak terjadinya kudeta pada 2021 silam.

"Waktu berangkat dari rumah sih senang, akhirnya suami dapat pekerjaan juga. Namun, setelah sampai di Thailand dan dibawa jauh dalam perjalanan di sana, (saya) sudah nggak enak hati," kata Ema kepada wartawan di Bandung, Yuli Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (28/4).


MA tiba di Bandara Bangkok bersama tiga rekannya. Kelak, keempat WNI ini menjadi bagian dari korban penipuan dan perbudakan di Myanmar.

Sama seperti cerita NIS, MA dan tiga rekannya dibawa berkendara selama kurang lebih 13 jam yang berujung di sebuah kawasan asing dengan penjagaan ketat sejumlah pria berpakaian militer dan bersenjata laras panjang.

Di lokasi, MA bertemu dengan belasan WNI lainnya, yang kemudian diketahui berjumlah 20 orang. Hampir semua sama-sama dijebak dengan modus diperkerjakan sebagai operator marketing di Thailand dengan upah dasar sebesar Rp10 juta.

"Modusnya (melalui) hubungan pacaran. Pertama, mereka disuruh cari kontak melalui media sosial seperti Twitter, Facebook. Terus, kenalan, pendekatan, dan lain-lain. Nanti ujung-ujungnya mereka minta transfer untuk ikut investasi," kata Ema menirukan cerita suaminya.


20 WNI tersebut dituntut mencari kontak calon korban dengan target tertentu per harinya. Targetnya adalah warga negara Amerika, Kanada, dan Australia, yang zona waktunya berbeda.

Mereka bisa bekerja selama 18 jam per hari. Jika target harian tidak tercapai, siksaan sudah menanti.

"Hukuman fisik seperti disetrum, apabila selama lima atau tujuh hari dia tidak mendapatkan nomor kontak (calon korban), atau hukuman lari sebanyak 20 keliling, push up 200 kali, squat jump 200 kali, jalan bebek 20 keliling. Itu sering terjadi apabila dalam bekerja tidak mendapatkan nomor kontak," ungkap Ema yang kini merawat seorang anak berusia empat tahun.

Dalam satu percakapan teks, MA bercerita pada Ema bahwa dirinya sedang bersiap kena hukuman setruman.

Mereka juga harus bekerja di ruangan tanpa penerangan sama sekali. Beberapa kali terpaksa merayap dari penginapan sampai tempat kerja yang waktu tempuhnya sekitar lima menit, jika dengan berjalan kaki.

"Rasanya setiap saya mau tidur merasa berdosa selama suami saya di sana karena dia setiap malam melek sampai siang dan terus diperas tenaga dan pikirannya sama perusahaan yang nggak ada akhlaknya," kata perempuan 28 tahun itu sambil terisak yang mengaku terakhir kali berkomunikasi dengan MA Senin malam (24/4).


Korban lainnya, TM, bercerita kepada sahabatnya, Dita Putri, bahwa ia diminta menandatangani kontrak kerja berbahasa China. "Nggak banyak yang bisa diceritain soal si perusahaan," katanya.

Saat ini, Dita masih kesulitan menghubungi kembali TM, dan menduga rekannya itu masih disekap.

Dia dalam kondisi tidak baik karena kakinya bengkak setelah dihukum lari keliling lapangan serta kurang tidur, kata Dita.

Pernah satu kali TM bercerita, telepon genggamnya disita dan diperiksa. Para WNI yang disekap hanya diberi jatah menggunakan alat komunikasi itu dua jam setiap dua minggu.

 

 

Sumber: BBC News Indonesia

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar