Bongkar Dugaan Korupsi di Bank Mandiri

Triliunan Dana Bank Mandiri Dibobol, Siapa Tanggung jawab?

Sabtu, 22/04/2023 05:20 WIB
Gedung Kantor Pusat Bank Mandiri, Jakarta. (Katadata)

Gedung Kantor Pusat Bank Mandiri, Jakarta. (Katadata)

law-justice.co - Skandal keuangan yang berpotensi merugikan keuangan negara senilai triliunan rupiah kembali mencuat. Skandal yang melibatkan Bank BUMN ini sebelumnya sempat dilaporkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).  Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) menyatakan tengah menyoroti skandal dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) manipulasi kredit Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance di Bank Mandiri. Kasus ini berpotensi merugikan negara hingga Rp 1,5 triliun.

Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman mengungkapkan dalam kasus ini terdapat dugaan keterlibatan Direktur Utama Bank BNI Roycke Tumilaar. Roycke diduga terlibat skandal kala menjabat sebagai Managing Director Treasure, Financial Institutions & Special Asset Management Bank Mandiri sekitar tahun 2015 silam. Negara ditaksir berpotensi merugi hingga Rp 1,4 triliun.

“CERI telah melayangkan konfirmasi resmi dan permohonan informasi pada 9 Maret 2023 siang kepada Bapak Roycke Tumilaar dan Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha. Namun, hingga siaran pers ini kami tayangkan, belum ada keterangan resmi. Pada Kamis petang, Roycke sempat menghubungi CERI. Tapi setelah dihubungi kembali, belum ada respon,” ungkap Yusri kepada Law-Justice beberapa waktu lalu.

Dugaan Tipikor tersebut sebelumnya telah dilaporkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Monitoring Penegakan Hukum Indonesia (MPHI) ke KPK. Laporan dibuat pada 26 Januari 2023 lalu. Yusri menjelaskan, diduga telah terjadi tindak pidana korupsi, koorporasi, pemberian kredit fikif dan rekayasa pembukuan laporan keuangan kepada PT. Columbia oleh Bank Mandiri. “Analis diduga tidak melakukan crosscheck data perdagangan sehingga keabsahan data pengajuan kredit Sunprima Nusantara Pembiayaan Finance (SNP) dimanipulasi sehingga mengakibatkan kerugian negara Rp 1,5 Triliun,” ungkap Yusri.

“Analis kredit kala itu juga diduga tidak terlebih dahulu melakukan crosscheck data perdagangan ke PT. Columbia untuk melihat data pengajuan kredit Sun Prima Nusantara Pembiayaan, dimana Sun Prima Nusantara Pembiayaan Finance (multi finance) merupakan bagian dari usaha Columbia sebagai penyokong pembelian barang dengan sumber pendanaan dari perbankan dan surat utang dan merupakan toko ritel yang menyediakan pembelian barang rumah tangga secara kredit atau cicil,” ungkapnya.

Seiring dengan turunnya bisnis toko Columbia, lanjut Hengki, kredit perbankan tersebut mengalami permasalahan dan menjadi NPL. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh SNP Finance untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut adalah melalui penerbitan MTN (Medium Term Notes) atau gagal bayar bunga yang diperingkat Pefindo sebagai lembaga rating berdasarkan laporan keuangan yang diaudit oleh KAP Deloitte. Penerbitan MTN tidak melalui proses di OJK. MTN adalah perjanjian yang bersifat privat namun memerlukan pemeringkatan karena dapat di perjual belikan.

“Saat terjadi permasalahan SNP finance mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang PKPU terhadap kewajibannya. Sementara peringkat efek SNP Finance periode Desember 2015 – 201 idA/stable. Pada tahun 2018 peringkat itu turun lagi menjadi idSD (Selektif Default),” ungkap lagi.

PT SNP menurut Yusri juga diduga telah melakukan pemalsuan dokumen, penggelapan, penipuan dan pencucian uang dengan modus menambahkan, menggandakan dan menggunakan daftar piutang fiktif. “Dua akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan PT Sunprima Nusantara Pembiayaan yaitu Akuntan Publik Marlinna dan Merlyana Syamsul diduga melanggar standar Audit Profesional,” tambahnya.

Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman. (Waspada)

Diketahui, analis juga tetap mengajukan usulan NAK tanggal 20 April 2015 pemberian kredit modal kerja sebesar Rp 400 Miliar dengan menerbitkan kolektibilitas Sunprima Nusantara Pembiayaan seolah-olah lancar meskipun tidak mampu bayar pokok dan bunga.

Selain itu, bebernya lagi, Bisnis Unit memanipulasi laporan keuangan kolektibilitas lancar Sunprima Nusantara Pembiayaan. “Pada tanggal 17 April 2015 Komite Kredit kedua atas rekomendasi komite kredit pertama menyetujui pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja sebesar Rp 400 Miliar itu. Lalu VP Commercial Banking Jakarta Tamrin menerbitkan SPPK KMK pada tanggal 8 Juni 2015 sebesar Rp 400 Miliar. Lantas Bank Mandiri bersekongkol dengan Sunprima Nusantara Pembiayaan Finance untuk mengulur waktu penyelesaian masalah kemampuan bayar yang telah terjadi dengan maksud ada pihak lain yang membantu pendanaan,” papar Yusri.

Masih kata Yusri alasan restruktur bulan September 2016 karena ada perbedaan Data CAPS dan BDS walau sejak bulan April 2015 Sunprima tidak mampu menjalankan ke wajibannya sehingga hasil restrukturisasi bulan Deptember 2016 Sunprima tidak membayar angsuran KMK ke bank Mandiri, tetapi memindahkan dana Rp 963,68 Miliar ke rekening perusahaan afiliasi Leo Chandra, PT MDS.

Sebenarnya Bank Mandiri sempat menyikapi kasus ini, saat masih ditangani Mabes Polri. Menurut rilis Rohan Hafas, Corporate Secretary PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Rabu (26/9/2018), Bank Mandiri terlibat dalam permasalahan di SNP Finance bukan semata-mata disebabkan oleh ketidak hati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit. “Apalagi saat ini regulator telah menetapkan rambu-rambu yang sangat ketat bagi perbankan.

"SNP Finance adalah perusahaan pembiayaan yang menjadi debitur Bank Mandiri sejak 2004. Selama belasan tahun menjadi debitur Bank Mandiri, SNP Finance memiliki catatan yang baik dengan kualitas kredit yang lancar,” katanya sebagaimana dilansir Beritasatu. Hal ini juga, lanjutnya, yang membuat banyak bank lain kemudian ikut memberikan pembiayaan kepada SNP Finance.

Kekisruhan di SNP Finance menurutnya disebabkan itikad tidak baik pengurus perseroan untuk menghindari kewajiban mereka. “Buktinya, mereka langsung mengajukan PKPU sukarela, setelah kualitas kredit turun menjadi kol. 2. Modus ini sering dilakukan dengan memanfaatkan celah dari ketentuan hukum terkait Kepailitan,” sambungnya.

Namun, klaim Bank Mandiri yang menyebut sudah mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam memproses pemberian kredit ke PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance), patut diragukan. Sebab, laporan keuangan perusahaan dan jaminan PT SNP berupa data piutang aktif para nasabah diketahui palsu. Namun janggalnya, pengungkapan kepalsuan data sebagai dokumen pengajuan kredit ini bukan berasal dari audit internal Bank Mandiri. Padahal, perusahaan multifinance itu sudah menjadi debitur Bank Mandiri sejak 2004.

Pengungkapan data palsu ini mencuat ketika perusahaan multifinance itu tersandung masalah gagal bayar kredit di Bank Mandiri pada 2018 lalu. Merujuk keterangan dari Bareskrim Polri yang mengungkap kepalsuan dokumen pengajuan kredit itu, tercatat PT SNP memiliki utang sebesar Rp1,4 triliun. Jumlah utang itu merupakan hasil pinjaman sebesar Rp10,52 triliun yang secara akumulatif sejak tahun 2004 hingga 2015.

Laporan Keuangan Bank Mandiri tahun 2018.

Dengan rentang waktu lebih dari satu dasawarsa, agak aneh jika bank pelat merah tersebut tidak dapat mengendus adanya kejanggalan dokumen kredit. Lantas, proses pencairan kredit menjadi suatu hal yang sangat dipertanyakan. Apakah prinsip kehati-hatian yang digemborkan Bank Mandiri memang dilakukan, atau sebaliknya terjadi proses kongkalikong di internal Mandiri.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan proses pemberian kredit seharusnya melalui asesmen yang ketat sesuai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di samping itu, prinsip analisa kredit 5 C (Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral) juga harus menjadi rujukan saat mengukur kelayakan debitur.

“Ketika misalnya ada perusahaan multifinance, performa kreditnya kurang bagus, kemudian strategi bisnisnya tidak sustain. Ataupun juga masuk pada sektor-sektor usaha berisiko tinggi, nah biasanya analis kredit akan memberikan catatan, agar bank bisa hati-hati atau bisa menolak pinjaman kepada perusahaan yang bermasalah,” kata Bhima saat dihubungi Law-justice, Selasa (18/4/2023).  

Merujuk data laporan tahunan Bank Mandiri, dijelaskan proses kredit dan pengelolaan risiko kredit dilakukan secara end-to-end dan terintegrasi dengan beberapa divisi terkait, mulai dari Business Unit, Credit Operation Unit sampai dengan Credit Risk Management Unit. Dalam level front end atau awal proses, calon debitur mengajukan proposal pinjaman yang kemudian akan di-skrining. Pada proses skrining ini, bank menganalisis pinjaman yang disodorkan oleh debitur, sebelum akhirnya pengajuan pinjaman disetujui.

Parameter penyetujuan pinjaman ditinjau atas sejumlah hal; kredit skor, BI checking, nota analisa kredit nilai pinjaman hingga rapat komite kredit. Untuk parameter yang terakhir disebut merupakan komite yang bertugas membantu direksi bank dalam memutuskan pemberian kredit. Artinya, segala proses kredit bermuara pada putusan akhir komite tersebut.

Putusan dalam rapat komite ini diklaim bebas konflik kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat pengambilan keputusan pinjaman kredit. Adanya komite ini juga disebut oleh Bank Mandiri sebagai upaya mitigasi menghindari munculnya tindak pidana korupsi dalam aliran dana kredit.

“Selalu hadir (dalam rapat komite) untuk memberikan pendapat dari sisi legal dan kepatuhan guna memperkuat aspek independensi, menghindari dominasi salah satu unit, menghindari conflict of interest dan memastikan pengambilan keputusan yang objektif dan bebas tekanan,” tulis laporan tahunan Bank Mandiri tahun 2018.

Adapun mereka yang terlibat dalam rapat komite ini terdiri dari direktur umum dan para direktur divisi. Saat kasus PT SNP santer mengemuka pada 2018, jabatan Direktur Umum Bank Mandiri dijabat oleh Kartika Wirjoatmodjo (Tiko), yang kini menjadi Wakil II Menteri BUMN, Erick Thohir. Saat itu, Bareskrim Polri melalui Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) mencium adanya dugaan korupsi dalam pemberian kredit oleh Bank Mandiri. Kepolisian dalam pengusutannya mengklaim telah memeriksa pihak Bank Mandiri, namun tidak ada lanjutan hasil pemeriksaan hingga saat ini.

Kepada Law-justice, Brigjen Golkar Pangarso yang saat itu menjabat Kepala Subdirektorat II Dittipideksus, mengatakan pengusutan dugaan korupsi kasus tersebut sudah masuk tahap penyelidikan.

“Seharusnya kasus tipikor terkait Bank Mandiri masih jalan, mas. Waktu itu BPK sudah sepakat dengan perbuatan melawan hukum yang kita bangun. Dugaan pemberian kredit yang tidak perform,” kata Golkar pada Senin (17/4/2023), yang kini menjabat Widyaiswara Madya Sespim Lemdiklat Polri.

Kami mencoba mengonfirmasi lanjutan pengembangan kasus kepada Dirtipideksus, Brigjen Whisnu Hermawan, namun ia tidak dapat berkomentar secara kontekstual. Saat ditanya, apakah kasus ini mandek atau tidak penyelidikannya, Whisnu bilang, “Di eksus (Dittipideksus), tidak ada (kasus) yang mandek mas.”

Menurut Bhima, potensi penyelewengan kekuasaan dalam pencairan kredit di kasus ini besar terjadi. Polanya berawal dari analisa kredit atas proposal pengajuan pinjaman PT SNP. Proses skrining data termasuk laporan keuangan PT SNP ditengarai tidak dianalisis secara hati-hati.

“Jadi kalau ada fraud, nah itu biasanya dilakukan oleh oknum internal, entah analis kreditnya, kemudian appraisalnya. Di situlah yang sering terjadi kongkalikong sehingga kredit yang jelek diberikan rating yang bagus, diberikan plafon yang tinggi,” ujar dia.  

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira. (detik)

Jika pihak Bank Mandiri mempunyai komite kredit yang konon katanya bebas konflik kepentingan, maka munculnya dugaan korupsi bisa saja menggugurkan klaim itu. Kata Bhima, penilaian kredit terhadap PT SNP sebagai debitur berpotensi terkooptasi konflik kepentingan sehingga terjadi manipulasi penilaian. Soalnya, dengan ada prosedur pakem pemberian kredit dan pengawasan komite kredit, seharusnya data dalam laporan keuangan bisa dideteksi kecurangannya sejak awal.

“Manipulasi ini ada 2 hal, yang pertama pihak analis kredit itu ingin mengejar, yang penting pertumbuhan kreditnya tinggi karena mereka akan mendapatkan bonus,” katanya, “Tapi di sisi lain manipulasi ada yang sifatnya memang hubungan konflik kepentingan atau terjadi gratifikasi. Jadi antara calon (debitur dan kreditur), ini yang perlu diselidiki apakah ada aliran dana suap kepada analis kredit sehingga risiko-risiko tadi tidak tercerminkan dalam laporan (penilaian) atau tidak melakukan pemeriksaan secara hati-hati.”

Dalam kasus ini, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) terpidana kasus kredit fiktif PT SNP Finance, Leo Chandra. Leo Chandra adalah salah satu pemenang saham PT SNP dengan total kepemilkan sebesar 33 persen. Kasus yang membelitnya terkait kredit fiktif kepada 13 bank. Adapun dalam putusan yang dibacakan pada akhir Desember 2021, majelis hakim Agung membatalkan putusan MA Indonesia Nomor 851 K/PID.SUS/2020 tanggal 12 Mei 2020.

Meski PK dikabulkan, Mejelis Hakim Agung tetap menyatakan Leo Chandra bersalah karena turut serta mengabaikan pelaksanaan kewanangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pengawasan terhadap lembaga keuangan. “Menjatuhkan pidana terdahap Terdakwa Leo Chandra oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp10 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” demikian bunyi putusan yang dikutip Bisnis, Selasa (4/1/2022).

Sekadar informasi, Leo Chandra adalah terpidana kasus kredit fiktif PT SNP Finance. Leo sempat divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat membacakan putusan, hakim berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Leo bukan suatu tindak pidana.

Awalnya, status kredit SNP Finance lancar di 14 bank yang menjadi krediturnya tersebut. Proses penyaluran kredit dilakukan dengan standar GCG oleh semua bank. Namun, setahun kemudian, status kredit SNP memburuk sejak 2016. Hal itu dikarenakan, pinjaman yang diperoleh dari 14 bank ternyata tidak disalurkan kepada konsumen SNP, sesuai ketentuan kredit. Diketahui bahwa pencatatan piutang dan posisi kredit SNP Finance tidak cocok pada neraca keuangan. Selain itu, ada ketidakcocokan antara underlying piutang dengan pembayaran dari konsumen akhir SNP.

Setelah diselidiki, Kantor Akuntan Publik yang mengaudit neraca keuangan SNP juga diduga memanipulasi laporan hasil audit. Pada 24 September 2018, Bareskrim Polri telah menangkap pengurus SNP Finance, termasuk Direktur Utama Donni Satria dengan sangkaan melakukan penipuan dengan menggunakan aset piutang fiktif.

Ketua Komisi XI DPR RI Kahar Muzakir mendesak Bank Mandiri memitigasi berbagai risiko di tengah adanya problematika yang terjadi. “PT Bank Mandiri (Persero) Tbk melakukan mitigasi risiko terhadap permasalahan yang saat ini sedang terjadi," kata Kahar kepada Law-Justice.

Selain itu, lanjut Kahar, dalam rangka melakukan restrukturisasi kredit, Bank Mandiri harus menjalankan prinsip tata kelola yang profesional, good governance, kredibel, dan transparan. “PT Bank Mandiri (Persero) sebagai bank dengan menggunakan transaksi inovasi digital, harus menjaga keamanan transaksi bagi nasabah dan perlindungan data nasabah,” ungkapnya.

Pada bagian lain, Legislator Dapil Sumatera Selatan I ini, mengatakan, Komisi XI mendukung upaya Bank Mandiri dalam menjalankan strategi kinerja bisnis 2022 pada ekonomi kredit. “Komisi XI juga mendukung Bank Mandiri memperkuat pertumbuhan business value chain. Bahkan, pihaknya juga mendukung Bank Mandiri yang memaksimalkan potensi bisnis ekosistem Bank Mandiri,” imbuhnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komaruddin mendesak Bank Mandiri agar segera menindaklanjuti setiap permasalahan di Bank Mandiri. Selain mendesak untuk segera tindak lanjuti, bank pelat merah tersebut harus pula menjamin keamanan aset nasabah yang disimpannya. “Terkait kasus ini, Bank Mandiri perlu bekerja sama dengan pihak berwajib dalam proses penyelidikan. Selain itu, Bank Mandiri juga harus segera mengusut tuntas kasus ini. Lakukan investigasi internal untuk mengetahui duduk permasalahan dengan jelas, apakah kehilangan tersebut disebabkan kelalaian atau adanya unsur kesengajaan,” ungkap Puteri dalam keterangan tertulis yang diterima Law-Justice.

Puteri menjelaskan bahwa kewajiban dan tanggung jawab perbankan dalam menjamin aset nasabah telah diatur dengan jelas dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahkan, secara khusus diatur bagi nasabah perbankan dalam Pasal 8 dan Pasal 36 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.

“Pihak Bank Mandiri jelas memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan dana maupun aset nasabah yang berada dalam tanggung jawabnya. Yaitu, selaku kreditur yang menerima dokumen sertifikat rumah milik nasabah sebagai agunan kredit yang diberikan. Karenanya, pihak bank juga wajib bertanggung jawab atas kerugian nasabah yang timbul akibat dugaan kelalaian bank,” tegas Puteri.

Lebih lanjut politisi Partai Golkar tersebut mengimbau agar kejadian ini tidak terus berulang karena persoalan serup. Hal ini penting agar tidak menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan tanah air.

“Hampir setiap tahun, ada kasus yang dilaporkan media. Kejadian berulang seperti ini mengindikasikan manajemen risiko maupun pengendalian sistem intern bank yang belum berjalan optimal dan merata di seluruh kantor cabang. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi pihak Bank Mandiri, di pusat dan kantor cabang, untuk meningkatkan kinerja tata kelola yang baik,” jelas Puteri.

Menutup keterangannya, Puteri mengingatkan masyarakat untuk segera melaporkan kepada pihak berwajib apabila ditemukan hal-hal yang mencurigakan.  “Masyarakat bisa segera mengadukan kepada kontak layanan dari perbankan terkait, maupun melaporkan langsung ke OJK atau pihak berwenang. Karena pada dasarnya, perlindungan konsumen adalah yang paling utama pada industri perbankan yang notabene berbasis kepercayaan,” tutup legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat VII tersebut.

Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komaruddin. (Parlementaria)

Sementara itu, Ekonom Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ (UPN) Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menekankan adanya potensi keterlibatan jajaran pimpinan Bank Mandiri, alih-alih hanya analisis kredit yang berperan dalam proses pencairan dana pinjaman triliunan itu. Keterlibatan ini yang sarat dugaan penyelewengan kekuasaan dan berujung tindak korupsi.

“Jadi si oknum ini bisa dipidanakan meskipun sudah tidak menjabat lagi. Para direksi pembiayaan sampai ke direksi umum, Pak Tiko ini perlu dipantau. Ini kan nilai yang besar enggak mungkin approvalnya di tingkat direksi pembiayaan, pasti ada approval dari direktur utama,” kata dia kepada Law-justice, Rabu (20/4/2023).  

Kata dia, unsur kelalaian dalam verifikasi data laporan keuangan dan data piutang aktif nasabah PT SNP tidak bisa begitu saja meloloskan Bank Mandiri dari dugaan permainan pencairan duit pinjaman. Sebab, Mandiri memiliki rekam jejak sebagai corporate bank yang tentunya menekankan prinsip prudential dalam setiap analisis kreditnya.

“Itu yang perlu diuji. Kelalaian itu karena satu dua orang di level teknis atau ada kesengajaan. Biasanya kalau sudah di manajemen atas ini ada diskresinya pihak direksi. Misalnya awalnya tidak layak dibiayai, tapi karena ada diskresi ini jadi dibiayai,” ucapnya.

Ia menyarankan pengusutan kasus dugaan korupsi bisa dimulai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari bagaimana proses-proses pencairan dana kredit dilakukan. “Bisa memulai pengusutan dari analis kredit yang menilai. Kalau analis kredit pertama ini menilai tidak layak, kemudian masuk ke manajemen (atas) layak, nah di situlah kita bisa melihat adanya dugaan vested interest,” tutur dia.

Law-Justice sempat menanyakan ke KPK ihwal laporan dari Monitor Penegakan Hukum Indonesia (MPHI) yang melaporkan dugaan korupsi oleh Bank Mandiri. Dari surat laporan yang kami terima, tercantum laporan ditujukan ke Deputi Penindakan KPK pada 23 Januari 2023. Namun, kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, laporan tersebut belum diketahui masuk ke KPK sejak kapan. Ia hingga kini belum mendapat informasi adanya laporan terkait.

“Kalau lihat tanggal nya di 23 Januari 2023. Kalau benar dikirimkan ke KPK kemungkinan sudah sampai. Hanya saja, saat itu saya belum Plt Deputi. Jadi saya tidak paham surat tersebut diteruskan ke Direktorat mana,” kata dia, Selasa (18/4/2023).

MPHI dalam laporannya menekankan penyelidikan atas dugaan ketidakhatian Bank Mandiri dalam proses analisis kredit. Dalam suratnya, secara terang-terangan, MPHI menyebut dugaan keterlibatan Royke Tumilaar yang pada kasus ini menjabat sebagai Direktur Treasury, Financial Institutions & Special Asset Management.

Di sisi lain, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman melihat adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), selain melihat potensi korupsi sebagai tindak pidana asalnya. Sebab, patut diduga penyerapan kredit oleh PT SNP tidak dialokasikan untuk mendukung bisnis, namun untuk kepentingan pribadi pimpinan perusahaan sehingga terjadi kredit macet.

“Uangnya ini kan diduga kemana-kemana, dijadikan aset lain dan sebagainya. Karena kalau pembiayaan benar, itu kan pasti tidak macet. Kalau kredit macet ini kan patut diduga ada penyelewengan hasil pinjaman. Itu harus dilacak, kalau ada yang jadi mobil atau aset lain, kan artinya ada pencucian uang,” kata dia, saat dihubungi, Rabu (19/4/2023).

Ia juga dalam posisi menduga kuat adanya persekongkolan di internal Bank Mandiri mulai dari level analis hingga jajaran direksi. Mereka yang duduk di jajaran direksi pun diduga melakukan intervensi kepada bawahannya untuk meloloskan kredit ke PT SNP sehingga menihilkan independensi analisis kredit oleh analis. Namun, kasus ini dapat pula diproses penegakkan hukumnya dengan merujuk Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.

“Kredit macet bermasalah ini jadi perbuatan melawan hukum. Ini bisa ditarik ke belakang, misalnya dulu proses berjalan tidak bener, ada syarat-syarat yang tidak terpenuhi misalnya laporan keuangan yang ternyata bodong, nah kenapa tidak ada verifikasi,” kata dia.

“Jadi, tidak harus ada delik suap (korupsi). Jadi tidak perlu dibuktikan ada suap. Kalau ketemu suap nanti ya itu bonus aja. Tapi rumusan membangun kasusnya adalah berdasarkan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Karena kalau enggak menggunakan pasal itu jadi enggak kena (penegakkan hukumnya). Misal dicari bukti suapnya tidak ada, karena cash and carry.”

Koordinator MAKI Boyamin Saiman. (Deni Hardimansyah)

Pengamat Bisnis, Ibrahim Assuaibi meminta agar otoritas jasa keuangan (OJK) untuk turut melakukan pengawasan lebih intens kepada Bank Mandiri.

Ibrahim menyebut, OJK harus bersikap bijaksana menengahi persoalan tersebut lantaran upaya restrukturisasi kredit yang diajukan debitur karena itu merupakan hal yang wajar.

“Wajar kalau kreditur mengajukan restrukturisasi kredit. Seharusnya OJK bisa turun tangan dalam hal ini,” kata Ibrahim saat dihubungi.

Ibrahim pun menganggap OJK memiliki peranan yang sangat penting dalam memuluskan proses restrukturisasi kredit tersebut. Misalnya mencarikan skema terbaik dalam program restrukturisasi kredit yang diajukan kreditur.

“OJK sangat penting peranannya dan OJK seharusnya bisa mencari satu solusi yang win-win solution,” terangnya.

Untuk klarifikasi kasus ini, kami sudah menghubungi pihak Bank Mandiri. Mulai dari Sekretaris Perusahaan saat ini, Rudi As Aturridha hingga Wamen II BUMN, Kartika Wirjoatmodjo. Namun hingga berita terbit, mereka tidak memberikan tanggapan atas pertanyaan kami.

BPK Temukan Dugaan Penyimpangan Penyaluran KUR

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2021 menemukan realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh Bank Mandiri tidak sesuai ketentuan. Pertama, terkait ketidaksesuaian NIK masyarakat yang termasuk pengusaha UMKM. Keabsahan NIK menjadi skrining awal untuk pendataan siapa saja pengusaha UMKM yang berhak mendapatkan suntikan modal melalui pinjaman.

Dari laporan BPK, ditemukan 255 NIK yang tidak sesuai ketentuan, terdiri dari 49 NIK yang tidak sesuai kode wilayah, terdapat 21 NIK tercatat tidak sesuai kode tanggal lahir dan 30 NIK tidak sesuai kode bulan lahir serta 155 NIK tidak sesuai kode digit terakhir (NIK diakhiri dengan angka 0).

Lain itu, temuan BPK juga menunjukkan anggaran KUR tidak disalurkan secara tepat sasaran. Pasalnya, terdapat pemberian dana KUR kepada 309 debitur dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) aktif Senilai Rp1,28 miliar.

Padahal sesuai ketentuan, penerima KUR ialah mereka pelaku usaha produktif yang didominasi kelas ekonomi menengah ke bawah. Adapun alokasi dana KUR untuk para PNS hingga aparat seperti TNI dan Polri hanya ditujukan bagi mereka yang sudah pensiun.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas portofolio debitur KUR Bank Mandiri per 31 Desember 2021 diketahui bahwa terdapat 693 orang debitur KUR yang berstatus sebagai pegawai negeri yaitu PNS/TNI/Polri. Dari total 693 orang debitur KUR tersebut, terdapat 309 orang debitur yang berstatus pegawai negeri aktif (belum pensiun) atau belum memasuki masa persiapan pensiun pada saat akad kredit fasilitas KUR untuk periode akad kredit tanggal 31 Juli 2019 sampai dengan 31 Desember 2021 dengan nilai plafon kredit sebesar Rp46,63 miliar.

Mendengar adanya penyimpangan alokasi dana KUR, Bhima berpendapat bahwa penyaluran KUR memang pada praktiknya tidak diawasi secara ketat. “Jadi itu ada celah-celah yang dimanfaatkan untuk melakukan penyimpangan KUR,” kata dia.

Ia berpandangan pelaksanaan program KUR ini setengah hati dijalankan, jika merujuk nilai anggarannya. Mengacu data Kementerian Perekonomian, total plafon KUR sebanyak Rp140 triliun ditambah menjadi Rp190 triliun pada tahun 2020. Kemudian pada 2024, total plafon bakal bertambah lagi hingga Rp325 triliun.

Sedangkan, menukil data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), total UMKM di Indonesia tembus 8,71 juta unit usaha pada 2022. Sehingga yang patut ditelisik, apakah dengan anggaran tersebut dapat membantu seluruh para pengusaha UMKM. Padahal, eksistensi UMKM mengambil peran penting dalam roda perekonomian.

“Kalau KUR tidak tersalurkan itu, bukan hanya bank Mandiri, hampir semua lembaga keuangan, kalau untuk UMKM itu malas-malasan. Makanya porsi kredit UMKM itu enggak pernah naik, kecil,” tuturnya.

“97 persen tenaga kerja ada di UMKM, kontribusi PDB UMKM 60 persen. Dan UMKM juga terbukti tahan menghadapi berbagai krisis.”

Oleh karena itu, Bhima menekankan penyaluran KUR seharusnya tepat sasaran dengan fokus ke sektor produktif, seperti pertanian. “Sasaran KUR memang untuk mereka yang tidak tersentuh oleh kredit perbankan sebelumnya. Jadi, itu bisa menyaring bahwa benar-benar tepat sasaran KUR,” tuturnya.

Terkait penyimpangan dana KUR, Achmad menduga celah yang dimanfaatkan adalah manipulasi data. “KUR itu karena bunganya 6 persen saya kira banyak orang yang sengaja ingin mendapatkan KUR. Nasabah yang ingin mendapatkan KUR ini mungkin rela untuk menyuap pihak perbankan agar masuk dalam kategori pembiayaan KUR. Caranya mungkin bisa jadi gunakan profil orang lain.” ujarnya.

Selain dari sisi debitur, penyimpangan juga berpotensi dilakukan pihak kreditur. Modusnya dengan legalitas pengusaha UMKM sehingga seolah berhak mendapatkan bantuan KUR. “Banyak pihak-pihak perbankan memberikan jasa surat keterangan izin usaha industri kecil,” ucapnya.

Dalam kasus kredit fiktif PT SNP, penegak hukum telah menghukum dari pihak PT SNP. Namun, hingga saat ini belum terdengar ada tindak lanjut terhadap laporan dugaan korupsi di Bank Mandiri. Padahal, tidak mungkin PT SNP bisa melakukan pembobolan terhadap Bank Mandiri tanpa campur tangan pihak internal.

Kredit macet bermasalah ini jadi perbuatan melawan hukum. Ini bisa ditarik ke belakang, misalnya dulu proses berjalan tidak bener, ada syarat-syarat yang tidak terpenuhi misalnya laporan keuangan yang ternyata bodong, nah kenapa tidak ada verifikasi. Jadi, tidak harus ada delik suap (korupsi). Jadi tidak perlu dibuktikan ada suap. Kalau ketemu suap nanti ya itu bonus aja. Tapi rumusan membangun kasusnya adalah berdasarkan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Karena kalau enggak menggunakan pasal itu jadi enggak kena (penegakkan hukumnya). Misal dicari bukti suapnya tidak ada, karena cash and carry.

Penegak hukum harus menerapkan delik korupsi dalam menangani kasus-kasus dugaan kredit macet di Bank-Bank plat merah yang merugiokan keuangan negara. bank Mandiri sendiri bukannya tidak pernah menjadi subyek hukum korupsi. bahkan salah satu Direktur Utamanya pernah terbelit kasus korupsi. KPK dan Kejaksaan Agung mesti bersinergi untuk membongkar siapa yang bertanggung jawab atas penganggangsiran duit triliunan rupiah di Bank Mandiri ini.

 

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar