Muhadjir Soroti Kemiskinan Daerah Tambang, tapi Eksploitasi Tak Surut

Sabtu, 01/04/2023 16:55 WIB
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy (tribunnews.com)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy (tribunnews.com)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mengatakan kekayaan alam di kawasan Maluku Utara tidak berbanding lurus dengan kondisi ekonomi-sosial masyarakatnya. Menurutnya, sumber daya tambang nikel yang dimanfaatkan oleh banyak perusahaan, semestinya dapat berdampak baik bagi kehidupan masyarakat, alih-alih terjadi kemiskinan.

“Mestinya Maluku Utara dengan kekayaan mineral dan pertambangan ini mestinya sekarang ini tidak ada lagi stunting, ruang tidak layak huni, mestinya tidak ada lagi krisis air minum, sudah tidak lagi kesulitan air bersih, ”kata dia dalam kegiatan Roadshow Dialog Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Provinsi Maluku Utara, secara daring, pada Rabu (29/03/2023).

Namun, pernyataan Muhadjir ini tampaknya tidak melihat data dan fakta bahwa kehadiran aktivitas tambang justru menjadi ancaman kehidupan bagi masyarakat di sekitar daerah tambang, seperti mereka yang tinggal di Pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli, Maluku Utara. Eksploitasi tambang oleh perusahaan BUMN PT Aneka Tambang (Antam) di wilayah tersebut telah merusak lingkungan dan alam yang menjadi sumber mata pencaharian warga sekitar, yang bergantung hidup sebagai nelayan dan petani.

Dari temuan Jaringan Tambang (Jatam), operasi tambang Antam di Pulau Gee telah membuat ruang hijau di sana gundul. Lahan pertanian atau perkebunan di lereng gunung beralih-fungsi menjadi wilayah tambang. Ketika musim hujan tiba, limbah tambang dengan gampang mengalir ke wilayah pesisir, bahkan menembus laut yang menjadi wilayah tangkap nelayan. Gerusan eskavator telah membuat permukaan pulau bopeng-bopeng. Pulau yang dulu rimbun, tempat cadangan pangan warga, dan tempat singgah nelayan saat melaut, kini tandus.

Aktivitas penambangan Antam di Maluku Utara, telah berlangsung lama. Pada 1979 hingga 2004, misalnya, PT Antam telah mengeksploitasi sumber daya tambang di Pulau Gebe. Sebagian besar lahan perkebunan yang sudah digarap warga beralih-fungsi menjadi konsesi tambang.

Lepas dari Pulau Gebe, Antam melanjutkan proyek eksploitasinya di Pulau Gee. Pulau kecil yang hanya seluas 171 hektar ini, dikeruk Antam sejak tahun 2003, melalui PT Minerina Bhakti, anak usaha Antam. Akibatnya, pulau yang dulunya rimbun, tempat cadangan pangan warga, dan menjadi tempat singgah nelayan saat melaut, tandus. Tak ada reklamasi apapun, dibiarkan begitu saja.

Lalu, Antam berpaling ke Pulau Pakal, yang bersebelahan dengan Pulau Gee. Operasi tambang dimulai sejak 2010 di pulau seluas 709 hektare. Di saat bersamaan, Antam juga menambang di daratan Halmahera Timur, tepatnya bagian utara Desa Buli, Kecamatan Maba.  

Penambangan telah membongkar isi perut pulau, sehingga kerusakannya tak hanya wilayah daratan (ruang produksi pangan dan air), tapi juga ruang laut (wilayah tangkap nelayan) yang tercemar material tambang.

Kejayaan pala, kelapa (kopra), sagu, dan cengkeh, yang sebelumnya menjadi tulang punggung ekonomi warga nyaris lenyap. Warga kemudian dibuat bergantung pada ekonomi tambang yang rapuh dan sesaat, tak menjamin keberlanjutan dan masa depan anak cucu.

Sementara itu, Muhadjir meminta perusahaan tambang untuk memaksimalkan program CSR-nya guna membantu masyarakat sekitar yang terdampak aktivitas tambang.

“Dengan kehadiran tambang nikel ini supaya betul-betul memberkahi masyarakat Maluku Utara. Jangan sampai rezekinya kekayaannya ada di Maluku Utara tapi yang kaya bukan masyarakatnya,” katanya.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar