Liputan Investigasi dari Morowali (1)

Lingkungan Dirusak, Cuan Digasak?

Sabtu, 25/03/2023 14:12 WIB
Kawasan Industri IMIP. (Kab Morowali)

Kawasan Industri IMIP. (Kab Morowali)

Jakarta, law-justice.co - Kehadiran industri di suatu kawasan mesti diiringi dengan kesiapan kawasan tersebut untuk menerima dampaknya. Apalagi jika kawasan yang menjadi lokasi industrialisasi ini sebelumnya merupakan kawasan hijau dengan populasi yang minim. Hadirnya industrialisasi akan membawa keniscayaan rusaknya tatanan lingkungan dan juga sosial ekonomi. Apakah pergerakan ekonomi yang dihasilkan dari industrialisasi itu seimbang dengan kerusakan yang dihasilkan?

Law-justice bekerja sama dengan Jaringan Tambang (JATAM) melakukan investigasi ke Morowali untuk menilik langsung dampak maraknya pertambangan dan industrialisasi nikel di kawasan ini.

Aktivitas pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah mulai secara besar-besaran berlangsung sejak 2007. Mulanya PT Bintang Delapan Mineral (BDM) yang mengeruk sumber daya nikel hingga akhirnya eksploitasi tambang bertransformasi lebih luas menggandeng korporasi dari Tiongkok (Tsingshan Group) dalam skema konsorsium yang membentuk Indonesia Morowali Industrial Park atau PT IMIP pada 2013. Sejak saat itu, korporasi meraup keuntungan, sedangkan masyarakat sekitar merasakan dampak, mulai dari ekonomi hingga kesehatan.

Bupati Morowali Taslim mengemukakan pertumbuhan investasi Kabupaten Morowali sampai dengan tahun 2022, sudah mencapai Rp96 triliun dan tumbuhnya investasi ini juga telah memberi dampak kepada daerahnya.

“Berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meningkatkan penerimaan pendapatan yang diproyeksikan pada 2024 mencapai angka Rp 1,9 triliun,” ungkap Taslim saat membuka Musrenbang Kabupaten di Ruang Pola Kantor Bupati, Kamis 16 Maret 2023.

Namun, angka-angka tersebut tidak serta merta bisa diterjemahkan sebagai telah hadirnya kesejahteraan bagi warga Morowali. Maraknya pertambangan nikel dan investasi masif di sektor hilir, menjadi faktor yang dominan dalam pertumbuhan investasi tersebut. Hanya dalam hitungan dekade saja, kawasan pantai dan pegunungan telah bersulih menjadi kawasan industri.

Sementara itu, ekonom senior Faisal Basri meyakini, Indonesia tidak menikmati nilai tambah dari hilirisasi nikel. “Mungkin ada nilai tambah, tetapi sangat kecil. Angka moderat yang saya tawarkan maksimal 10 persen saja yang dinikmati oleh republik. Sisanya dinikmati oleh China,” ujarnya kepada Law-Justice.

Dia menguraikan, nilai ekspor nikel secara statistik kurvanya memang naik tajam. “Namun, coba diteliti lagi, itu transaksi siapa dengan siapa?” ujarnya. Dia menjelaskan secara kongkrit, transaksi itu terjadi antara perusahaan China di Indonesia dengan perusahaan China di China.

Dia menjelaskan nilai tambah pengolahan tambang itu secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: Nilai tambah dinikmati oleh Pengusaha berupa laba, Pekerja berupa upah, Bank berupa bunga, Pemilik tanah berupa sewa; dan Royalti dan pajak yang masuk sebagai penerimaan negara.

Dengan pola hilirisasi nikel saat ini, maka nilai tambah itu dinikmati oleh China dengan penjabaran sebagai berikut Perusahaan tambang (lokal) bayar royalti, smelter tidak, pengusaha smelter (asing) dapat laba, tidak bayar pajak badan karena dapat tax holiday (sampai 25 tahun). Seluruh labanya dibawa pulang. Perusahaan tambang bayar pajak ekspor, perusahaan smelter tidak. Hampir seluruh produksi perusahaan smelter diekspor.  Harga produk tambang yang dibeli perusahaan smelter sangat murah, Laba lebih besar ketimbang smelter di negara asalnya. Karena itu perusahaan asing berbondong-bondong masuk.

Perusahaan tambang bayar PPN, perusahaan smelter tidak. Semua barang yang diimpor oleh perusahaan smelter bebas bea masuk.  Perusahaan smelter bebas membawa puluhan ribu pekerja asing walaupun sedang pandemi COVID-19 tidak dengan visa pekerja sehingga tak bayar pajak dan pungutan.

Padahal pemerintah selalu menyatakan akan ada kenaikan pendapatan yang signifikan dari industrialisasi smelter nikel ini. Hilirisasi nikel ini sebenrnya juga tidak lepas dari fenomena global yang tengah gencar mengkampanyekan penggunaan kendaraan electric (electric vehicle/EV). Indonesia, terutama di kawasan Morowali sebagai penghasil nikel, ketiban pulung.

Kutipan pemaparan Ekonom Faisal Basri

Nikel yang sebelumnya diekspor dalam bentuk bijih atau ore, kini oleh pemerintah harus dilakukan pemurnian dulu. Ore ini mesti diproses dalam smelter. Kebijakan inilah yang membuat maraknya industrialisasi di Morowali, sebab di sinilah pusat smelter nikel terbesar. Sejumlah kawasan industri pun telah dibangun.

Tim dari law-justice melakukan investigasi langsung ke salah satu kawasan industri IMIP. Kawasan ini dibangun di Kecamatan Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah. Kebanyakan penduduk di Bahodopi merupakan warga transmigran yang berasal dari sejumlah daerah di Pulau Jawa, Bali hingga NTB. Sejak gelombang awal transmigrasi pada periode 1992-1993, mereka saban hari bergantung hidup sebagai nelayan dan petani.

Dalam laporan Jaringan Tambang (Jatam), terdapat 2 desa yang terdampak betul, yakni Desa Fatuvia dan Bahomakmur. Terjadi perubahan ekologis secara pesat di desa yang belum pernah ada sebelumnya. Sungai-sungai ditimbun sebagai jalur hauling untuk kegiatan transportasi hasil tambang, tutupan hutan dibongkar, dibabat dan digali untuk mencari deposit nikel.

Kegiatan sektor pertambangan yang terjadi di Morowali akhir akhir ini juga mendapatkan sorotan dari sejumlah pihak. Mantan Bupati Morowali yang kini menjadi Anggota DPR RI Anwar Hafid turut memberikan komentarnya terkait kegiatan pertambangan di Morowali. Anwar mengatakan bila pemerintah pusat perlu untuk turut aktif dalam memantau aktivitas pertambangan di Morowali. Hal tersebut menjadi sangat penting karena beberapa waktu lalu ada 4 pekerja yang tewas karena tertimbun longsor.

Ia juga mendesak kepada korporasi tambang yang berada di Morowali untuk memperhatikan lingkungan dan keselamatan pekerja.  "Harapan saya perusahaan harus memperhatikan aspek keselamatan kerja dalam beroperasi dan juga aspek lingkungan," kata Anwar kepada Law-Justice.

Politisi Partai Demokrat tersebut juga memberikan sorotan kepada pemerintah pusat yang belum memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan terkait. Ia juga menegaskan bila dirinya sudah berulang kali mendapatkan kasus kecelakaan tambang di Morowali namun tindakan dari pemerintah masih cenderung minim. "Tentu dalam hal ini pemerintah pusat harus turun tangan," tegasnya.

Ia juga meminta pemerintah baik pusat dan daerah agar melakukan pengawasan yang ketat terhadap seluruh aktivitas pertambangan Morowali. Menurutnya, aspek lingkungan dan keselamatan pekerja harus menjadi salah satu prioritas pemerintah memantau sektor pertambangan di Morowali.

"Saya akan sampaikan ke pemangku kepentingan agar melakukan pengawasan yang ketat di semua perusahaan tambang, khususnya yang ada di Morowali dan Morowali Utara," ungkapnya.

Anggota DPR RI Anwar Hafid 

Hal senada disampaikan juga oleh Kepala Riset Jatam, Imam Shofwan. Dia  mengungkapkan dampak aktivitas tambang PT IMIP telah memarjinalkan kehidupan para nelayan di Desa Fatuvia. Tambang yang membutuhkan tenaga uap dari PLTU dan pasokan energi batubara telah mencemari laut yang menjadi sumber nelayan dalam mencari ikan. Akibatnya, nelayan terpaksa merogoh koceknya lebih dalam agar dapat membeli bahan bakar solar untuk melaut lebih jauh demi menemukan ikan.

“Karena limbah dari PLTU dibuang langsung ke laut, air laut yang dicemari limbah dari PLTU jadi panas. Air lautnya panas, ikan tidak ada di situ, praktis pekerjaan mereka sebagian nelayan tidak bisa lagi di situ,” kata Imam saat berbincang dengan Law-justice, Selasa (21/3/2023).

Ruang hidup untuk mengais rezeki yang dirampas akibat aktivitas tambang, tidak hanya dirasakan oleh para bapak yang tidak bisa melaut di perairan biasanya, namun dampak juga dirasakan oleh para ibu. Kata Imam, biasanya para ibu di Desa Fatuvia mengandalkan nutrisi untuk keluarganya dari kerang-kerang yang kerap ditemukan di pinggir pantai. Tidak hanya sebagai sumber pangan, tangkapan kerang juga digunakan untuk penghasilan tambahan yang biasanya dijajakan ke warga desa. Aktivitas menangkap kerang, kini tidak bisa dilakukan seiring terjadinya alih fungsi pantai akibat aktivitas tambang.

“Itu habis direklamasi. Karena butuh banyak ruang, IMIP mereklamasi pantai-pantai tempat mama-mama mencari kerang untuk tambahan penghasilan itu,” ujar dia.

Sementara itu, di Desa Bahomakmur, aktivitas pertanian lumpuh. Aktivitas tambang membuat tanah garapan para petani tidak subur. Alhasil petani tidak bisa bergantung hidup kembali dari menanam padi. Kenyataan demikian terjadi sejak tahun pertama IMIP beroperasi.

“10 tahun terakhir di Bahomakmur, petani-petani transmigran yang datang itu enggak bisa tanam padi. Sungai-sungai yang jadi sumber irigasi bagi mereka itu rata-rata kalau musim hujan tercemar karena lumpur-lumpur bekas ngeruk nikel itu mengalir ke sungai. Jadi sungainya menjadi kuning, kalau kena padi jadi langsung mati,” kata Imam.  

Lain itu, mereka yang tinggal di sekitar aktivitas tambang IMIP berada di bawah bayang-bayang penyakit. Debu dari hasil tambang terbawa angin sehingga dihirup warga dan berakibat penyakit pernafasan. Imam mengatakan, penyakit ISPA seolah menjadi penyakit harian yang diderita warga. Siklus penularannya bergantian, bermula dari orang tua hingga menjalar ke anak.

“Seng-seng (rumah) juga jadi cepat rusak, motor enggak ada yang bersih, pagi dicuci, siang kotor lagi karena debunya demikian pekat, debu campur asap bahkan di daerah dekat IMIP itu sering terjadi hujan di sekitar situ. Kita curiga itu hujan asam,” kata Imam.

Selain dari aktivitas tambang yang bersumber dari pabrik smelter, polusi udara yang paling kentara berasal dari pembuangan limbah PLTU. Perusahaan membangun PLTU tepat di belakang pemukiman warga. Saat ini sudah dibangun 3 PLTU dengan kapasitas lebih dari 1.000 megawatt di desa. Jumlah PLTU akan bertambah 10 PLTU lagi.

Akrobatik pembangunan pendukung industri tambang juga dilakukan perusahaan dalam soal menyetok batubara. Stockpile atau tempat penyimpanan batubara dibangun di seberang PLTU yang berada dalam kawasan desa. Adapun PLTU dan stockpile dibangun tanpa adanya pertimbangan risiko kesehatan bagi warga pada awalnya.

“Baru dipasang paranet atau jaring. Dulu sebelum diprotes warga tidak ada jaring pengaman sama sekali,” kata Imam.

Di sisi lain, masyarakat yang hilang mata pencahariannya, dikatakan Imam, terpaksa banting setir menjadi buruh tambang. Namun, menjadi buruh tambang bukan persoalan mudah. Terdapat sederet kualifikasi, yang paling menentukan adalah batasan usia dan pendidikan. Mereka yang dianggap tidak dalam usia produktif dan minim pendidikan, secara otomatis gugur.

“Yang ada orang dipaksa bekerja di tambang. Tapi itu untuk orang muda dan untuk orang-orang di bawah 40 tahun. Rata-rata orang di Bahomakmur dan di Fatuvia, enggak cukup pendidikan. Yang dapat pekerjaan justru orang-orang dari luar yang lebih punya akses pendidikan,” ujarnya.

Masuknya pendatang dari luar membuat ruang hidup warga asli desa semakin terancam, menyusul daya tampung desa yang terbatas. Bangunan semi permanen dipaksakan pembangunannya untuk menampung buruh migran. Lantas, padatnya jumlah buruh yang masuk desa menjadi masalah keamanan.

“Itu kan kampung terus ada investasi triliunan, daya tampungnya enggak memadai, 60 ribu orang baru datang ke sana untuk bekerja. Mereka tinggal di ruang-ruang sempit di kos-kosan bedeng yang 3x6 meter ditinggali 5-6 orang. Itu juga menyebabkan problem turunan, keamanan di kampung itu jadi bahaya. Sebelum ada aktivitas tambang, mereka tinggal motor tinggal handphone, itu aman-aman saja, sekarang tidak bisa begitu,” ucap Imam.

“Kondisi hidup di wilayah itu sudah enggak layak untuk ditinggali. Baik untuk karyawan atau penduduk sekitar situ. Sedemikian masifnya aktivitas tambang enggak pernah libur 24 jam 7 hari enggak ada setopnya,” imbuhnya.

Munandar seorang tokoh muda Morowali dan mantan karyawan PT. IMIP mengakui, kota kelahirannya telah berubah drastis, pendapatan daerah meningkat dan lapangan pekerjaan juga berlimpah. ”Sebagai warga lokal memang bersyukur, pendapatan masyarakat memang meningkat, memang benar, sangat cukup untuk masyarakat. Tapi jelas ada perubahan budaya, yang dulunya hanya buruh kasar, petani dan nelayan, dengan adanya pabrik, dari yang awalnya mereka kaget lama-lama mereka menikmati, terutama menikmati dari segi upah,” katanya kepada Law-Justice.

Munandar juga mengungkap, banyak warga yang menggunakan ijazah paket untuk memenuhi standar pabrik tanpa latar belakang pendidikan yang cukup. ”Wajar jika mereka hanya menjadi buruh kasar yang disuruh-suruh bukan tenaga ahli yang memiliki skill di pabrik tambang, kebanyakan yang ahli adalah tenaga kerja asing, akan tetapi mereka menjadi seperti itu karena tuntutan keadaan juga, pada akhirnya mereka merasa diperbudak dan dieksploitasi di pabrik tambang karena minimnya skill mereka,” lanjut lulusan Pascasarjana Politik Universitas Nasional Jakarta ini.

Hal ini disebabkan, pekerjaan sektor tradisional seperti nelayan dan bertani sudah mulai sulit. ”Terutama dengan adanya pabrik, tangkapan ikan mereka jadi minim, pohon pala atau cengkeh juga dikeruk hingga rusak. Ekosistem lingkungan menjadi terganggu, masyarakat sudah tidak bisa lagi bergantung pada alam untuk hidup, mereka akhirnya tak punya pilihan untuk bekerja di pabrik tambang karena tidak ada pekerjaan lain untuk bertahan hidup,” ungkapnya.

Pakar Lingkungan Mahawan Karuniasa mengatakan kunci terbesar dalam pembangunan yang tidak mencederai lingkungan adalah dengan mengedepankan identifikasi daya dukung suatu wilayah sebelum melakukan aktivitas. 

Sehingga, aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia,misalnya pertambangan, tak akan sampai merusak lingkungan yang ada. Mahawan menyatakan terdapat beberapa dampak yang muncul dari aktivitas industri pertambangan terhadap lingkungan.

“Yang pertama, kita bicara tentang tutupan lahan. Jika awalnya itu adalah lahan pertanian, maka sudah pasti akan mengurangi produksi pertanian,” kata Mahawan kepada Law-Justice.

Lebih berat lagi, jika awalnya lahan tersebut adalah hutan. Maka akan berdampak pada ekosistem hutan. Hal tersebut mencakup biodiversiti dan berbagai fungsi hutannya dan bisa dikatakan flora dan fauna-nya terganggu. Yang kedua adalah kedalaman tanah, yang berkaitan dengan aliran sungai dan tata air.

“Artinya, jika ada penggalian dalam suatu wilayah, baik ratusan atau ribuan hektar maka akan mempengaruhi tata air yang ada di wilayah tersebut,” ucapnya.

Untuk mengatasi dampak ini, Mahawan menyebutkan ada tiga komponen yang harus dijadikan tumpuan utama. Pertama populasi. Dimana saat ini, seluruh dunia saat ini sudah mencapai sekitar 8 miliar jiwa. Di Indonesia sendiri sudah lebih dari 270 juta orang. Semakin banyak orang, maka permintaan akan mineral semakin meningkat, untuk memenuhi alat yang dapat membantu aktivitas manusia. “Misalnya, kalau untuk nikel digunakan sebagai baterai. Jadi kalau ingin mengurangi dampak, maka harus mengontrol populasi,” urainya.

Kedua, kebutuhan individu, dimana semakin sejahtera individu tersebut maka konsumsi produk yang mengandung bahan tambang juga meningkat. “Dari dua alasan ini, dapat saya katakan, keputusan Indonesia untuk tidak mengekspor nikel sudah tepat. Karena menjaga sumber daya alam kita agar tak cepat habis yang akan menekan upaya pembukaan tambang baru. Jadi bukan melakukan eksploitasi untuk memenuhi keinginan manusia tapi mengelola sesuai dengan daya dukung,” urainya lagi.

Ketiga, perkembangan teknologi yang memiliki dua sisi. Satu sisi, dengan teknologi maka akan semakin mudah manusia melakukan penambangan. Sisi kedua, dengan teknologi yang tepat, penggunaan mineral bisa diefisienkan. “Sebagai catatan, seharusnya penambangan itu dilakukan dengan mempertimbangkan daya dukung. Karena semua aktivitas pada dasarnya akan berdampak pada lingkungan,” ungkapnya.

Sebagai contoh, membuka lahan untuk sawah saja sebenarnya berdampak pada lingkungan. Atau membuka lahan untuk perumahan. “Jadi kuncinya memang kemampuan untuk mengidentifikasi daya dukung sumber daya alam Indonesia. Tak hanya pertambangan saja, tapi juga untuk semua sektor kegiatan manusia. Jangan sampai melebihi daya dukung wilayah tersebut. Untuk kasus pertambangan di pulau kecil, tentunya perlindungannya harus lebih ketat. Karena daya dukung pulau kecil tentunya lebih sensitif,” pungkasnya.

Pakar Lingkungan Mahawan Karuniasa 

 

Dirkriminasi Perempuan Dalam Tambang

Dari penelusuran Law-justice di kawasan pemukiman sekitar PT IMIP ditemukan adanya dugaan penyelewengan perusahaan yang tidak memberikan hak reproduksi bagi pekerja perempuan. Mereka tidak diberikan hak cuti sesuai UU ketenagakerjaan selama 3 bulan (1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan pasca melahirkan). Cuti hanya diberikan seadanya dan setelahnya para ibu dituntut untuk bekerja, meski masih dalam masa nifas. Lebih dari itu, ditemukan juga dugaan adanya praktik prostitusi terselubung. 

Perempuan terpaksa menghadapi beban ganda akibat beratnya roda kehidupan berjalan. Perempuan yang menggunakan hak reproduksinya menghadapi kesakitan berlipat akibat perusahaan tambang enggan menerapkan regulasi tetang pekerja perempuan dengan benar.

Seperti kisah Yuti (30) pekerja perempuan dari salah satu smelter nikel. Janda dengan dua putera berusia 7 dan 6 tahun nekat melamar menjadi pekerja tambang di pusat industri nikel di Bahodopi, Morowali. Perempuan asal Bungku Kota ini memutuskan untuk pindah ke Bahodopi meninggalkan kedua anaknya kepada orang tuanya yang sudah sakit-sakitan. Yuti bertekat untuk sukses meraup gaji besar untuk mencukupi kehidupan keluarganya.

Akses transportasi dan jarak yang jauh membuat Yuti memilih nge-kos di area dekat pabrik tempatnya bekerja, menurutnya lebih baik mengirit hidup ketimbang habis gajinya untuk bolak balik Bungku Kota-Bahodopi. Tapi Yuti tetap resah, sebab biaya hidup di Bahodopi begitu tinggi.  Agar diketahui, UMR di Morowali sebesar Rp UMR 3,647,000 sedangkan Yuti mengaku dirinya mendapatkan gaji Rp5 Juta per bulan. “Gaji dengan biaya hidup masih kejar-kejaran, kadang saya masih hutang pinjam untuk mencukupi kehidupan keluarga,” ujarnya saat Law-Justice menyambangi kediamannya di Desa Keurea Kecamatan Bahodopi, Rabu (15/3/2023).

Yuti bercerita awal masuk perusahaan tambang tahun 2017, dia diminta mengerjakan semua pekerjaan juga mengalami mutasi berkali-kali. ”Kadang di control room, kerja lapangan, mengecat gedung, atau pekerjaan apapun sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Namun, sekarang saya spesifik di control room,” ungkapnya.

Kuota untuk pekerja perempuan masih minim. Yuti mengungkap di perusahaan tempatnya berkerja porsi perempuan cuma seperempat dari total pekerja. ”Perempuan di tempat kerja saya sedikit, untuk lokal pekerja sini hanya diberi urusan teknis dan hanya menurut perintah dari atasan berwarga negara China, kami berkomunikasi menggunakaan translator,” ungkapnya.

Perempuan, kata Yuti dianggap sama dengan pekerja laki-laki, tidak ada ruang aman bagi perempuan di perusahaannya hal ini membuat perempuan rentan menjadi korban pelecehan seksual. ”Ruang ganti pakaian tidak ada kami harus kamar mandi untuk berganti pakaian kerja, kamar mandi juga jauh, tidak ada ruang aman untuk perempuan, padahal itu hak perempuan, perusahaan juga tidak menyediakan ruangan khusus untuk perempuan,” ungkap dia.

Ketua Serikat Pekerja Morowali Katsain mengungkap perempuan belum dianggap sebagai penggerak ekonomi strategis, perempuan di industri tambang masih dianggap pelengkap saja. “Kenyataannya disini perusahaan tidak menjaga dari unsur pelecehan seksual, harusnya disediakan sekat antara perempuan dan laki-laki, bus pengangkut pekerja menuju lokasi tambang yang kami temukan kerap terjadi Tindakan pelecehan seksual,” ditemui Law-Justice, Selasa (14/3/2023).

”Kami mendorong terus agar perusahaan melindungi hak perempuan. Dari segi fasilitas, untuk mencegah tindakan pelecehan seksual dengan memberi ruang aman bagi perempuan di sektor tambang, perusahaan harusnya bertanggung jawab akan hal itu,” tandasnya.

Katsain juga mendorong agar hak reproduksi atau hak maternitas perempuan di sektor tambang dipenuhi oleh perusahaan. ”Cuti haid, melahirkan hingga menyusui tidak ada, artinya perusahaan tidak peduli pada hak dasar perempuan pekerja tambang, ini sangat tidak manusiawi!” tukas dia.

Menanggapi hal ini, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah mengatakan perempuan yang bekerja di daerah tambang biasanya mereka yang sebelumnya bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam, misal bertani. Operasi tambang telah menggusur lahan bertani mereka sehingga lambat laun mengakibatkan pemiskinan. Jika tidak cukup kualifikasi bekerja di perusahaan, maka perempuan putar otak untuk memenuhi kebutuhan dengan segala cara dan hal ini juga dipikul oleh anak.

“Akhirnya seperti di Morowali, mereka menjadi pekerja. Pendekatannya menjadi uang, kalau dulu misalnya saya punya tanah, kalau mau makan saya cukup memetik sayur, beras dari panen. Tapi ketika menjadi buruh nilainya menjadi uang, dia harus membeli beras dia harus membeli cabai, sayur karena tidak punya tanah,” kata Siti kepada Law-justice, Rabu (22/3/2023).  

Bicara adanya anak yang menjadi PSK, menurut Siti, hal itu tidak bisa dilihat dari kemauan anak saja yang ingin membantu keluarga. Namun, hal itu bisa terjadi karena efek tekanan hidup yang menuntun orang tua berpikir tidak panjang. Sehingga ada relasi kuasa antara anak dan orang tua.“Ketika ada industri pertambangan dimana semakin banyak orang datang dan itu laki-laki dan juga ada bentuk pemenuhan seksual, maka itu anak perempuan tidak mampu menolak misal dijerat atau dijual oleh orang tuanya,” tutur dia.

Dalam pandangan Siti, pemiskinan akibat tambang juga bisa mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya dalam usia dini. Perkawinan dini di mata orang tua dianggap dapat mengalihkan beban hidup. “Misalnya salah satu cara keluarga yang mengalami pemiskinan, hal yang perlu dilakukan adalah mengurangi anggota keluarga. Anak perempuan dinikahkan lebih cepat meski masih di bawah umur,” ucapnya.

Merujuk laporan Jatam, kebanyakan anak gadis di Morowali meminta pada orang tuanya untuk menikah lebih cepat. Umur mereka rata-rata masih belia, mulai dari 14 hingga 17 tahun, sudah menikah. Mereka berharap keadaan ekonomi orang tuanya akan sedikit berkurang ketika mereka menikah. Dalam pikiran para perempuan muda itu, suami akan memberikan nafkah dan menghidupi mereka. Sementara itu, anak–anak perempuan lainnya memilih pergi merantau ke Kota Bungku menjadi pembantu rumah tangga dan penjaga toko.  

Sementara itu Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi menyebut bila Pemerintah Daerah (Pemda) menjadi pihak yang paling bertanggung jawab masalah kerusakan lingkungan akibat tambang.  Pasalnya, pemerintah daerah lah yang mengeluarkan dan memberikan izin penambangan tersebut terjadi.

"Tentu pemerintah daerah karena izin tambang dikeluarkan dari mereka. Perlu ditegakan aturannya, hutan kita dijaga, dilindungi. Pertambangan silahkan saja tapi harus dengan sesuai peraturan yang ada," kata Ashabul kepada Law-Justice.

Politisi PAN tersebut menerangkan pelaku industri pertambangan ini pun perlu adanya perhatian lebih terhadap ekosistem lingkungan yang ada.

Selain itu, industri pertambangan juga perlu memperhatikan kondisi sosial dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berada di daerah tersebut.  "Bencana alam itu ada dua faktor yaitu karena siklus alam dan ulah manusia yang berkorelasi dengan bencana seperti pengrusakan hutan, dan tambang," ujarnya.

"Kalau dilakukan dengan serampangan dengan tidak bertanggung jawab akan mengakibatkan bencana, menimbulkan banjir dan sebagainya," sambungnya.

Ia menuturkan bila dalam hal ini pemerintah dan sektor industri perlu memperkuat sinergitas dengan akademisi.  Sebab kata dia, selain hal ini menjadi bagian dari pengabdian masyarakat di kampus, juga lingkungan kampus memiliki akademisi hebat.

"Salah satu bidangnya adalah pengabdian kepada masyarakat. Jadi keterlibatan kampus itu sebagai unit pengabdian masyarakat dibidang kebencanaan," tuturnya.

 

Rawan Konflik Kepentingan dan Ladang Korupsi Baru

Cikal bakal berdirinya PT IMIP atas kerjasama antara PT BDM dan Dingxin Group tidak terlepas dari peranan pemerintah, baik daerah maupun pusat. Sejak adanya peraturan melarang ekspor konsentrat atau ore nikel secara mentah ke luar negeri, setiap perusahaan diwajibkan membangun kegiatan prosesing hilir yang setara dengan smelter atau pabrik feronikel. Merujuk laporan Jatam, dari sekitar 200 jumlah perusahaan pemilik IUP di Morowali, hanya satu perusahaan yang menyatakan kesediaan untuk membangun pabrik yaitu joint venture antara PT BDM dengan Dingxin Group melalui perusahaan PT Sulawesi Mining Investment (SMI). Pembangunan smelter oleh PT SMI berlangsung penuh dengan keistimewaan dari pemerintah, mulai dari pengurangan pajak (tax holiday) hingga termasuk soal kemudahan dalam akses perluasan dan lahan serta fasilitasi buruh murah.

Nilai investasi PT SMI sebesar 960 juta Dolar AS yang dibagi untuk pembangunan smelter secara 2 tahap. Seiring bisnis yang berkembang, maka PT SMI melakukan ekspansi dengan menggagas pembentukan IMIP. Pada tanggal 9 April 2013, Menteri Perindustrian Saleh Husin meresmikan peletakan batu pertama Kawasan IMIP di Bahodopi. Pada saat itu, ia memberikan apresiasi terhadap PT IMIP beserta group yang telah membangun dan mengembangkan kawasan industri berbasis nikel di lokasi terpencil dan minim infrastruktur. Proyeksi kawasan IMIP disebut sebagai tempat pengolahan barang setengah jadi berbasis nikel dengan nilai investasi 600 juta dolar AS.

Kepala Riset Jatam, Imam Shofwan

Kepala Riset Jatam, Imam Shofwan memetakan adanya konflik kepentingan para pejabat dalam industri tambang nikel yang berasal dari lingkar Istana Negara. Mereka yang bermain di bisnis batubara menggunakan jalur masuk bisnis kendaraan listrik yang kini digaungkan pemerintah sebagai solusi transportasi ramah lingkungan. Batubara sendiri berperan dalam memasok energi PLTU sebelum akhirnya PLTU mendukung aktivitas pertambangan nikel dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik.

Setidaknya, ada empat sosok pemain batubara, mulai dari Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Menparekraf Sandiaga Uno, hingga mantan Presiden Jusuf Kalla.

“Luhut itu punya PLTU di Palu jadi supplier listrik yang di Morowali, Baik Luhut dan Sandiaga adalah pemain batubara. Aku yakin mereka terlibat di situ supplier batubara,” ujarnya.

Perusahaan Luhut, PT Toba Bara Sejahtera Energi Utama Tbk, yang punya konsesi batubara di Kalimantan Timur ini mulai ekspansi bisnis mobil listrik. Bisa dilihat dari kerjasama antara Toba Bara dan Gojek yang akan bikin motor listrik bernama Electrum dengan nilai investasi Rp17 triliun dalam lima tahun ke depan.

Kemudian, Sandiaga lewat perusahaannya, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk, yang mulai masuk ke bisnis bahan baku mobil listrik. Di Morowali, perusahaan Sandiaga beroperasi di bawah bendera Merdeka Tsingshan. Dengan modal kerjasama sebesar 90 juta Dolar AS, rencananya akan memproduksi acid, iron dan metal.

Adapun tangan pemerintah daerah dalam membantu realisasi gagasan IMIP melalui PT SMI dapat dilihat dari sejumlah regulasi yang dikeluarkan oleh Bupati Morowali saat itu, Anwar Hafid. Salah satunya seperti Surat Keputusan Nomor: 590.4/SK.006/DESDM/XI/2013 tentang Izin Usaha Penambangan Operasi Produksi untuk Pengolahan dan Pemurnian Mineral kepada PT SMI.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyatakan bila pemerintah harus menindak tegas oknum yang bermain di sektor pertambangan.  Selain itu ia juga menyoroti terjadi tarik menarik kepentingan dalam pembentukan satuan tugas (satgas) pemberantasan penambangan ilegal (PETI).

Buktinya hingga hari ini satgas tersebut belum terbentuk meskipun perkiraan anggota dan rancangan Keputusan Presidennya sudah disiapkan sejak beberapa bulan lalu. Mulyanto mengatakan bila Presiden Jokowi harus segera bersikap. Semakin lama satgas ini dibentuk maka semakin besar kerugian negara yang harus ditanggung.

Jokowi harus berani bersikap mengatasi tarik menarik kepentingan ini. Ia harus berani mengambil keputusan atas nama kepentingan rakyat, bukan malah tunduk pada maunya mafia penambangan ilegal.

"Sudah menjadi rahasia publik terjadi perang bintang di antara para pembeking tambang ilegal ini. Sekelas gubernur dan bupati saja sudah pasrah. Karena itu sudah waktunya presiden ambil sikap. Jangan membiarkan urusan pembentukan satgas penambangan ilegal ini terbengkalai terlalu lama," ujar Mulyanto kepada Law-Justice.

Mulyanto berharap satgas ini mampu mengungkap dan menangkap para pembeking tersebut. Nantinya, satgas tambang ilegal ini akan diberi payung hukum berupa keputusan presiden (keppres).

Mulai 29 Maret 2023, pembahasan rancangan keppres sudah dibahas dengan anggota tim satgas. Selain itu, draft rancangan keppres juga telah disiapkan.

Untuk diketahui, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut potensi kerugian negara akibat pertambangan tanpa izin (PETI) atau tambang ilegal tembus Rp 3,5 triliun sepanjang 2022. Politisi PKS tersebut menyatakan bila memberantas oknum di industri pertambangan ini jangan hanya sekedar jargon belaka.

Pasalnya, hal ini berkaitan dengan citra pemerintah dalam mengatasi mafia tambang untuk itu satgas yang dibentuk oleh pemerintah harus segera bisa menindak tegas mafia tambang. "Urusan mafia tambang ini jangan ditunda-tunda. Karena ini menyangkut marwah pemerintah, bangsa dan negara. Masa pemerintah kalah dengan maunya mafia. Ini harus dilawan dengan membentuk satgas pemberantasan penambangan ilegal," tegasnya.

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia pola-pola korupsi di sektor ekstraktif termasuk tambang nikel secara umum berkutat pada sejumlah hal; Penyalahan aturan dalam pemberian izin; pengawasan yang lemah, pelaporan volume dan kualitas batu bara yang tidak sebenarnya; pembebanan biaya produksi dan rantai biaya yang tidak wajar; transaksi antar perusahaan afiliasi yang tidak wajar (transfer pricing); kewajiban dan pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang yang tidak sesuai dengan dampak.

“Korupsi di sektor ini umumnya erat dengan peran dari swasta. Dalam hal ini, korporasi tambang yang menyuap pihak-pihak di pemerintahan maupun legislatif yang punya kuasa atas perizinan di berbagai tingkat proses perencanaan tambang. Untuk izin lokasi, yang kewenangan untuk mengeluarkannya dipegang oleh kepala daerah, menimbulkan relasi transaksional yang koruptif antara korporasi yang ingin dengan mudah mendapatkan izin meskipun lokasinya tumpang tindih dengan misalnya hutan, yang sebenarnya tidak dapat dijadikan lokasi tambang tanpa sebelumnya mengurus izin pelepasan kawasan hutan,” kata Yassar saat dihubungi Law-justice, Kamis (23/3/2023).

Sementara itu, dalam konteks modus permainan pembayaran pajak, data ICW menemukan bahwa dalam pelaporan produksi dan penjualan yang seharusnya dilakukan oleh pemilik izin tambang untuk menyetorkan royalti dan pajak kepada negara, banyak ditemukan indikasi manipulasi data. Secara keseluruhan, nilai indikasi kerugian negara mencapai Rp133,6 triliun, yang berasal dari kewajiban pajak sebesar Rp95,2 triliun dan royalti  sebesar Rp38,5 triliun selama periode 2006-2016. Sedangkan pada tahun 2019 tercatat kerugian negara paling besar berasal dari sektor pertambangan dengan nilai Rp5,9 triliun.

Terkait relasi bisnis pemerintah-korporasi, Yassar menuturkan memang dikenal apa yang disebut dengan state capture. Yakni kondisi dimana elit bersama kalangan oligark mencoba untuk mempengaruhi kebijakan negara ataupun regulasi untuk kepentingan pribadi maupun bisnis mereka. Dalam hal ini, bukan tidak mungkin keberadaan para pejabat publik yang tercatat memiliki afiliasi bisnis atau pemegang saham di perusahaan energi kotor dan secara bersamaan memiliki wewenang besar untuk membentuk hukum negara, akan memasukkan muatan-muatan pasal yang pada akhirnya akan menguntungkan mereka.

 “Apabila ingin mengambil contoh, keberadaan UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang disusul dengan Perppu merupakan dua contoh dari fenomena state capture tersebut” ucapnya.

Pemerintah yang hanya fokus pada orkestrasi investasi, mencoba membuai publik dengan arus investasi yang masuk untuk hilirisasi nikel. Adanya fakta kerusakan lingkungan dan struktu sosial masyarakat tampaknya belum menjadi prioritas bagi pemerintah.

Dugaan adanya konflik kepentingan sejumlah pejabat danorang dekat istana tentunya menjadi indikator baru bahwa urusan nikel dan hilirisasi ini hanya meguntungkan segelintir orang saja. Sementara, sejumlah potensi kerugian termasuk adanya potensi kehilangan pendapatan negara dalam jumlah yang fantastis pun seolah tak dipersoalkan pemerintah.

Sementara itu berdasarkan pengamatan di lapangan, abainya pemerintah terhadap dampak lingkungan, sosial dan ekonomi warga sekitar turut mempercepat kerusakan lingkungan dan struktur kemasyarakatan. Pemerintah daerah pun seakan tergagap dengan masuknya arus  investasi yang masif, sehinggaterkesan tak siap untuk menerima arus indutrialisasi dan maraknya migrasi yang masuk.

Jika pemerintah tidak segera tanggap dengan fenomena ini, bisa diprediksi ke depan bukan cuma lingkungan saja yang rusak. Namun, juga struktur sosial masyarakat lokal. Serta tak kalah pentingnya adalah potensi timbulnya ladang baru korupsi. Triliunan sumberdaya kita diangkut ke luar negeri, sementara lingkungan dan masyarakatnya dirusak.

Ghivari Apriman

Rohman Wibowo

Devi Puspitasari

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar