Misteri Ratusan Triliun Transaksi Mencurigakan di Kemenkeu

Membongkar ‘Komplotan Begal’ di Kemenkeu

Sabtu, 18/03/2023 14:35 WIB
Demonstrasi meminta bongkar mafia pajak. (Kumparan)

Demonstrasi meminta bongkar mafia pajak. (Kumparan)

Jakarta, law-justice.co - Penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dendy terhadap David Ozora berdampak luas. Bukan hanya membuat korban koma hingga lebih dua pekan dan pelaku yang masuk bui. Kasus ini ternyata menjadi episentrum yang membuat tsunami di Kementerian Keuangan. Kejahatan Mario membuka perilaku hedon keluarganya. Bapaknya yang seorang pejabat pajak pun lantas dikuliti.

Kesadisan perilaku Mario dan kelakuan hedon keluarganya yang tak pantas, memantik marah netizen. Lantas, gerakan menguliti keluarga Mario menjadi gerakan menguliti pejabat Kementerian Keuangan. Gerakan ini membuat badai yang memporakporandakan keangkuhan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kerap pamer keberhasilannya dalam reformasi birokrasi. Bahkan, pegawai kementerian keuangan wabil khusus pegawai pajak menjadi ASN dengan tunjangan kinerja terbesar.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan lebih dari 40 rekening berkaitan dengan mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo ayah Mario Dandy yang diblokir pihaknya. "Di atas 40 rekening," ujar Ivan Selasa (7/3/2023).

Ivan menyebut, dari 40 rekening lebih yang diblokir KPK senilai Rp 500 miliar lebih. Menurut Ivan, pihaknya masih akan menelusuri rekening yang berkaitan dengan Rafael Alun. Maka dari itu, kemungkinan nilai yang akan dibekukan bisa bertambah.

"Nilai transaksi yang kami bekukan nilainya debit/kredit lebih dari Rp 500 miliar, dan kemungkinan akan bertambah," kata Ivan.

Dari puluhan rekening tersebut, Ivan menyebut di antaranya merupakan rekening istri Rafael, Ernie Meike Torondek dan sang anak Mario Dandy Satriyo, tersangka penganiayaan David Ozora atau David Latumahina. "Iya RAT (Rafael Alun), keluarga dan semua pihak terkait. Ada beberapa puluh rekening sudah kami blokir," ujar Ivan.

Kasus Mario Dandy tidak hanya menyeret ayahnya, namun juga nama pejabat Kementerian Keuangan lain. Eko Darmanto yang kala itu menjabat sebagai Kepala Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pun ikut diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Eko Darmanto pun pertama kali viral sebab cuitan yang dilontarkan oleh akun Twitter @logikapolitikid yang menyebut pejabat eselon III bea cukai itu memiliki koleksi mobil antik dan motor gede Harley Davidson serta beberapa barang branded.

Butut dari aksi pamer harta tersebut Eko Darmanto lantas dicopot jabatannya sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta. Meski demikian Eko Darmanto menyebut bahwa tidak ada niat flexing atau pamer harta kekayaan dari unggahan-unggahan yang dibuatnya. Alih-alih pamer, Eko Darmanto justru menyebut jika data pribadinya dicuri, lantas dikemas sehingga menjadi viral dan berujung menjadi pencopotan dirinya sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta.

Setelah Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto, Andhi Pramono menjadi nama pejabat Kemenkeu selanjutnya yang terseret kasus dalam momen ini. Andhi Pramono merupakan Kepala Bea Cukai Makassar yang diketahui memiliki harta yang tidak kalah besar. Ada beberapa fakta mengejutkan yang melingkupi Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono ini. Pertama, Andhi diketahui memiliki rumah mewah yang terletak di daerah Cibubur, Jakarta Timur.

Transaksi Mencurigakan Rp 300 Triliun

Rangkaian pengungkapan aliran dana misterius di Kemkeu tak berhenti di trio flexing itu saja. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengungkap ada transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mencapai Rp 300 Triliun.

Transaksi yang fantastis disebutkan Mahfud yakni mayoritas berasal dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Bea Cukai. Dalam kasus tersebut, Mahfud MD mengetuai Tim Penggerak Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dia mengatakan bahwa berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan, pihaknya ditemukan transaksi mencurigakan hingga mencapai Rp 300 triliun di kementerian yang dipimpin oleh Sri Mulyani tersebut.

Perputaran transaksi mencurigakan mayoritas berasal dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Bea Cukai. "Saya sudah dapat laporan yang pagi tadi. Terbaru malah ada pergerakan mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan Kemenkeu yang sebagian besar ada di Ditjen Pajak dan Bea Cukai," jelas Mahfud MD kepada awak media di Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (8/3/2023).

Sinyalemen dari Mahfud ini dibantah oleh  Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Keuangan Awan Nurmawan Nuh menegaskan bahwa transaksi sebesar Rp300 triliun yang diberitakan media massa sebagai pergerakan uang tidak lazim di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai bukan korupsi atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“Jadi prinsipnya angka Rp300 triliun itu bukan angka korupsi ataupun TPPU pegawai di Kementerian Keuangan,” ujar Irjen Kemenkeu di Gedung Djuanda I Kemenkeu, Jakarta pada Selasa (14/03/2023).

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana. (RajaMedia)

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menjelaskan Kementerian Keuangan merupakan salah satu penyidik tindak pidana asal, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan demikian, PPATK memiliki kewajiban untuk melaporkan kepada Kementerian Keuangan setiap kasus yang terkait dengan kepabeanan dan perpajakan.

“Kasus-kasus itulah yang secara konsekuensi logis memiliki nilai yang luar biasa besar, yang kita sebut dengan kemarin Rp300 triliun. Dalam kerangka itu, perlu dipahami bahwa ini bukan tentang adanya abuse of power ataupun adanya korupsi yang dilakukan oleh pegawai dari Kementerian Keuangan. Tapi ini lebih kepada tusi Kementerian Keuangan yang menangani kasus-kasus tindak pidana asal yang menjadi kewajiban kami pada saat kami melakukan hasil analisis, kami sampaikan kepada Kementerian Keuangan untuk ditindaklanjuti,” kata Kepala PPATK.

Kepala PPATK mengatakan laporan tersebut bukan tentang adanya penyalahgunaan kewenangan atau korupsi yang dilakukan oleh pegawai oknum di Kementerian Keuangan, tetapi karena posisi Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal, sama seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.

“Kementerian Keuangan adalah salah satu Kementerian yang kalau kami koordinasikan relatif permasalahan secara internal sangat kecil dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain, sehingga kami sangat confident menyerahkan seluruh kasus-kasus terkait dengan kepabeanan dan perpajakan kepada Kementerian Keuangan untuk ditindaklanjuti. Ini sekali lagi, bukan tentang penyimpangan ataupun bukan tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai Kementerian Keuangan,” ujar Kepala PPATK.

Menanggapi komunikasi antar menteri ini, pengamat politik dari BRIN, Aisah Putri Budiarti, mengatakan adanya jalur komunikasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terlebih, kasus ini menjadi atensi publik dan menyangkut duit pajak yang berasal dari rakyat. Menurutnya, ada kepentingan di balik komunikasi yang terkesan tidak mulus ini.

“Saya kira komunikasi antara Mahfud dengan Sri Mulyani tidak berjalan semestinya berlangsung antar menteri di dalam kabinet. Sudah sepatutnya sejak awal ada koordinasi antara Menkopolhukam dengan Menkeu terkait dengan dugaan kasus pencucian uang ini sebelum dibuka ke ruang publik. Apalagi kemudian pada akhirnya Menkopolhukam menggandeng Menkeu saat konpers lanjutan. Namun tentu menarik untuk dilihat lebih jauh, apakah ada tujuan dan maksud dari Menkopolhukam membuka lebih dahulu ke publik sebelum membicarakannya dengan Menkeu atau ini memang sekedar problem komunikasi,” tuturnya saat dihubungi Law-Justice, Rabu.

Reaksi Sri, kata Aisah, yang mempersoalkan pernyataan Mahfud atas temuan PPATK memang dibuat seperti itu. Sikap Sri sejak menjenguk David Ozora di rumah sakit hingga komunikasi dengan Mahfud ditujukan untuk menyelamatkan harga diri sebagai menteri.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Sri Mulyani nampak terkejut atau tidak siap dengan tindak lanjut dari kasus Mario Dandy bahwa problem pencucian uang nyatanya melingkupi kementeriannya secara fantastis dan melibatkan banyak pegawainya. Hal ini tentu tidak lagi sekedar merusak image lembaga tetapi menunjukan ada yang keliru dalam sistem kerja Kemenkeu yang membutuhkan evaluasi dan reformasi serius,” tutur dia.

Sementara itu menyikapi perkembangan kasus ini, anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mengatakan bila melihat sederet kelakuan pejabat yang tidak punya empati, tidak punya simpati, tidak punya kesetiakawanan sosial terhadap nasib rakyat jelas ini akan mencederai rasa-rasa kesetiakawanan publik.

Menurutnya, logika para pejabat ASN ini seharusnya bisa untuk memahami kondisi publik saat ini karena mereka digaji dengan uang rakyat.

Pada dasarnya pejabat ini digaji dari keringat rakyat, namun di satu sisi ketika rakyat sulit untuk mengakses kesejahteraan, justru para pejabat dan keluarganya memamerkan kekayaan. 

"Pertanyaannya adalah apakah pejabat atau ASN atau PNS ini tidak boleh kaya, ya boleh, kaya tidak dilarang sepanjang sumbernya halal, sepanjang sumbernya legal, sepanjang taat bayar pajak, taat Hukum, taat aturan dan juga yang lebih penting adalah bisa berbagi dengan masyarakat yang lain," kata Didik kepada Law-Justice.

Didik menyatakan bila seorang pejabat juga harus mampu merepresentasikan sebagai sosok yang humanis, kemudian yang agamis, taat kepada tata aturan peraturan perundang-undangan sehingga layak diteladani.

Selain itu, pejabat juga harus mampu menjadi kontrol sosial, sosial kontrol di tengah-tengah masyarakat.

“Inikan seorang pejabat juga harus tahu, bahwa di dalam perspektif tanggung jawab yang ada di dirinya ini juga terkandung tanggung jawab publik,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat tersebut menyebut pada saat awal pertama ketika kasus Rafael muncul, kemudian Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa ada potensi kemudian transaksi yang mencurigakan di kementerian keuangan sejumlah 300 T.

Menurutnya tentu ini menjadi tugas PPATK untuk menjelaskan itu, ia tidak ingin berspekulasi tapi fakta yang dihadapi adalah Mahfud MD di awal menyampaikan hal tersebut pada saat konferensi pers dengan Menteri keuangan kemudian meluruskan.

“Apa yang disampaikan Pak Mahfud dan menyatakan bahwa itu tidak bukan korupsi, itu tindak pencucian uang, kemudian juga terakhir PPATK memberikan keterangan pers kepada kita untuk meluruskan apa yang menjadi diskursus publik,” ungkapnya.

Didik menyatakan itu belum cukup memberikan pemahaman kepada publik secara utuh tentang standing case itu saja. Dia menyebut sebagai anggota dewan, ia juga belum paham sepenuhnya apa sesungguhnya yang terjadi di sana.

“Apakah betul bahwa kemudian hanya itu saja bahkan 300 triliun saja, Apakah 300 triliun itu bentuknya memang uang sebesar itu, apakah itu adalah akumulasi dari transaksi keuangan dan semuanya ini kemudian berpotensi menjadi sebuah tindak pidana, jika kita melihat tugas dan fungsi PPATK,” imbuhnya.

“PPATK di situ secara pokok tugasnya adalah menerima setiap laporan keuangan dari manapun, kemudian PPATK melakukan analisis terhadap transaksi itu, setelah dianalisis kemudian ada indikasi pidananya, maka tugas PPATK adalah menyampaikan kepada penegak hukum dan untuk menyimpulkan apakah itu tidak pidana atau bukan, bukan tugasnya PPATK, bukan tugasnya Pak Mahfud, ini adalah tugasnya aparat penegak hukum,” sambungnya.

Bongkar Komplotan Rafael, KPK Tarik Rem Pakem?

Mendapat umpan lambung dari PPATK, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat. KPK memutuskan membuka penyelidikan untuk mencari unsur pidana yang dilakukan mantan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo. Diketahui, harta Rafael Alun tak sesuai dengan profilnya, yakni Rp 56,1 miliar.

"Baru kemarin sore diputuskan pimpinan ini masuk lidik (penyelidikan). Jadi sudah enggak di pencegahan lagi," ujar Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, Selasa (7/3/2023).

Namun, sayangnya, setelah pemeriksaan terhadap Rafael, KPK terkesan menarik rem pakem. Kasus ini tiba-tiba tak banyak perkembangan di KPK.

Hal ini lantas menimbulkan isyu adanya dugaan konflik kepentingan di balik pengusutan kasus dugaan pencucian uang yang mendera Rafael. Laporan hasil analisis PPATK atas transaksi janggal milik Rafael yang sejak tahun 2013 disampaikan kepada KPK, nyatanya lambat diproses sehingga baru dilakukan pengusutan pada tahun 2023.

KPK pun terkesan melakukan pengusutan kasus ini akibat adanya tekanan netizen atas kasus penganiayaan yang menjerat anak Rafael Alun. Padahal ada uang negara yang berasal dari pajak rakyat yang diduga menjadi sumber korupsi atau pencucian uang dalam kasus ini.

“Yang jadi pertanyaan adalah KPK tidak memproses temuan ini. Karena bicara laporan hasil analisis PPATK itu biasanya PPATK menyampaikan itu ke penyidik bukan ke penyelidik, artinya indikasi adanya tindak pidana. Nah kalau disampaikan ke KPK, berarti tindak pidana asalnya korupsi atau pencucian uang,” kata Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, saat dihubungi Law-Justice, Rabu (16/3/2023).

Agus menekankan potensi konflik kepentingan dapat dilihat dari relasi antara Rafael dan pihak KPK. Dia menyatakan ada relasi antara Rafael dengan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata yang diduga lulus dari pendidikan STAN di tahun yang sama pada 1986. Lebih dari itu, koneksi satu almamater juga melibatkan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, yang menangani langsung kasus Rafael. Dari penelusuran Law-Justice melalui LinkedIn, tercatat Pahala menamatkan pendidikan di STAN pada tahun yang sama dengan Rafael dan Alexander.  

“Yang harus dilihat antara orang yang bermasalah dulu, misal Rafael dengan KPK, apakah ada potensi konflik kepentingan di situ. Itu yang harus ditelusuri karena mengapa proses berjalan lamban padahal laporan sudah diberikan lama. Kalau lama kan kita menduganya apakan ada konflik kepentingan atau tidak,” ujar Agus.

Komisi anti-rasuah baru bergegas mengusut dugaan pencucian uang oleh Rafael pada awal Maret 2023. Pengusutan dimulai dari klarifikasi LHKPN sebesar Rp56,1 miliar yang dinilai mencurigakan hingga akhirnya kasus naik ke proses penyelidikan. Menurut Agus, proses penegakkan hukum ini bukan secara utuh inisiatif KPK.

“Saya rasa itu tidak lepas dari kontrol publik terhadap kasus ini karena lambannya KPK,” ujarnya. 

Dalam pengusutan kasus Rafael ini juga, justru pihak PPATK yang mengambil peran lebih dibanding KPK. Berawal dari laporan ke KPK pada tahun 2013, PPATK setidaknya berhasil mengungkap transaksi janggal yang patut diduga menjadi sumber kekayaan Rafael yang sengaja tidak dicantumkan pada LHKPN setiap tahunnya. Temuan janggal PPATK seputar 40 rekening lebih yang tercatat mutasi rekeningnya pada periode 2019-2023. Nilai transaksi puluhan rekening tersebut lebih dari Rp500 miliar. Belakangan, ditemukan safe deposit box bernilai Rp37 miliar yang disimpan di bank BUMN. 

“Artinya kenapa kaya tidak punya semangat (KPK) menelusuri kasus ini, ada apa sih,” ucap Agus.

Di sisi Kemenkeu, pengusutan kasus Rafael ini pula dinilai berjalan tidak cepat, meski sudah sejak lama dilaporkan oleh PPATK. Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan sudah mendapatkan laporan sebanyak 266 surat dari PPATK sejak tahun 2007 sampai dengan 2003. Adapun untuk laporan atas transaksi Rafael, disebut Sri, masuk pada tahun 2019.

Jika memang terindikasi ada transaksi janggal, kata Agus, sejak saat itu semestinya ada upaya yang dilakukan pihak Kemenkeu. “Menurut saya jadi persoalan tersendiri bagaimana sistem mereka lamban dalam mendeteksi penyimpangan lebih besar padahal informasi-informasi sudah disediakan oleh PPATK. Jika ada mekanisme sanksi disiplin ASN, apakan misalnya Rafael sudah diberikan sanksi administratif, apa demosi, mutasi, kan kita tidak pernah tahu,” ucapnya.

Menurut Agus, dugaan adanya potensi konflik kepentingan juga terjadi di lingkungan Kemenkeu sehingga mengakibatkan lambannya proses terhadap pegawai yang diduga melakukan pencucian uang atau korupsi. Temuan KPK yang mengungkapkan sebanyak 134 pegawai di Kemenkeu memiliki kepemilikan saham di 280 perusahaan mengafirmasi adanya kepentingan tersebut. Kepemilikan saham yang dimaksudkan KPK bukan langsung mengatasnamakan pegawai, namun mencantumkan nama istri pegawai bersangkutan.

“Perusahaan-perusahan yang diindikasikan bergerak di bidang konsultan pajak atas nama istrinya. Kalau bicara aturan, itu kan potensi konflik kepentingannya tinggi, kenapa kemudian sahamnya atas nama istrinya. Berarti ada niat untuk mengaburkan dirinya,” tutur Agus.

Sementara itu, Badiul Hadi dari Seknas FITRA mengatakan ‘pembiaran’ kasus Rafael terjadi karena lemahnya pengawasan yang secara sengaja. Data LHKPN pegawai hanya disebut sebagai pelengkap administratif saja. Padahal kenaikan kekayaan pegawai secara signifikan, sebenarnya dapat dideteksi terlebih dahulu dari sisi Kemenkeu sebelum akhirnya KPK bertindak. Bagian Inspektorat Jenderal Kemenkeu yang disebut bertugas menilai LHKPN pegawainya dianggap telah lalai dalam kasus ini.    

“Inspektorat dapat menilai kewajaran LHKPN, jika inspektorat dalam mekanisme pengawasan yang berjalan efektif tentu kasus ini tidak terjadi. Nah persoalan kualitas dalam LHKPN itu yang saya kira itu bagian yang tidak diawasi secara baik sehingga terjadi penyelewengan-penyelewengan itu,” ujarnya kepada Law-Justice, Selasa (14/3/2023).

Mantan Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menyatakan oknum seperti Rafael tidak mungkin bermainsendiri. Dia mengatakan saat masih aktif sebagai pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael ternyata punya komplotan sendiri di lembaga itu.

Yunus mengatakan kelompok Rafael sudah beroperasi lebih dari 10 tahun, Rafael merupakan salah satu orang dalam komplotan tersebut. Yunus mengatakan pergerakan kelompok ini sebetulnya sudah sempat terendus oleh Satuan Tugas Antimafia Pajak sejak 2010.

“(Rafael) ini termasuk dari anggota kelompok lama sebenarnya. Saya konfirmasi ke teman pajak yang sama-sama di Satgas dulu, ya benar ini masuk kelompok ‘geng lama’ yang masih dibiarkan,” kata Yunus dalam sebuah diskusi dilansir Keuangan Kamis (16/3/2023).

Dia menambahkan kelompok ini beranggotakan sekitar 30 orang yang saling kenal satu sama lain, mereka juga menjalin hubungan baik dengan eks petinggi Ditjen Pajak yang saat ini banyak beralih profesi menjadi konsultan pajak sehingga rawan terjadi kongkalikong.

“Jadi mainnya pada waktu pemeriksaan saling kenal, ada transaksi, ada negosiasi, ada simbiosis,” ujar Yunus.

Yunus mengaku sudah menyerahkan informasi mengenai keberadaan kelompok tersebut kepada pihak kejaksaan, tetapi belum ditindaklanjuti hingga tuntas. Kelompok ini kata dia juga dtengarai merupakan bagian dari peristiwa transaksi janggal Rp300 T di Kementerian Keuangan yang mencuat baru-baru ini.

Modus Pencucian Uang

Koordinator Kelompok Hubungan Masyarakat PPATK Natsir Kongah menyatakan bila dalam hal ini PPATK menerima laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan, ada bank, asuransi, pasar modal, mini remiten dan lain-lain.

Selain itu, ada juga yang menyampaikan laporan itu dari penyedia barang dan jasa, properti, agen properti penjual barang mewah, mobil emas segala macam itu juga wajib lapor kepada PPATK, ada pihak pelapor tadi adalah profesi advokat, kemudian notaris, konsultan keuangan dan lain-lain nah inilah pihak-pihak yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK.

"Laporan apa saja yang disampaikan kepada PPATK, pertama laporan transaksi keuangan mencurigakan, apa yang dimaksud dengan transaksi keuangan mencurigakan, transaksi yang di luar dari profile nasabah, transaksi keuangan mencurigakan itu transaksi di luar dari profil karakteristik nasabah, dilaporkan lah oleh penyedia jasa keuangan bank tadi kepada PPATK, bila ada indikasi itu, maka PPATK analisis, lalu menyampaikan kepada penyidik, itu laporan transaksi keuangan yang mencurigakan," kata Natsir kepada Law-Justice.

Natsir menuturkan bila ada ratusan juta laporan yang ada di PPATK dan di tahun 2022 kemarin ada 1900 lebih hasil analisis yang disampaikan kepada penyidik,baik polisi, kejaksaan, KPK, BNN, bea Cukai dan Pajak.

Menurutnya, itulah sumber informasi yang diolah oleh PPATK termasuk juga gaya hidup yang ada di masyarakat, itu juga sebagai sumber informasi dan juga laporan dari masyarakat.

Natsir menyebut bila PPATK menyediakan platform untuk masyarakat bila ada hal yang ingin disampaikan masyarakat.

Natsir menyatakan bila mengacu pada nilai tambah yang tertera pada undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan pemberantasan tindak pidana pencucian uang ini sangat luar biasa dan sangat efektif.

Kemudian, PPATK membandingkan hal yang konvensional dengan menggunakan undang-undang tindak pidana pencucian uang.

“Kalau konvensional itu contohnya misalnya, kita sering mendengar ya bagaimana pembalakan liar yang terjadi, itu yang selalu ditangkap itu sopir truk, penebang pohon tapi dengan melakukan pendekatan pencucian uang, cara kerjanya follow the money dengan mengejar uang hasil kejahatan itu,” ucapnya.

Menurutnya, siapapun yang terkait itu bisa terkaitkan oleh analisis PPATK dan selama ini ada beberapa orang tidak pernah tersentuh.

Terkait Safe Deposit Box yang ditemukan itu, Natsir menyebut bila itu sebenarnya sejak tahun 2012 sudah ada laporannya dan PPATK sampaikan kepada KPK, Jaksa Agung dan inspektorat. 

Kemudian karena adanya blessing and diguise jadi itu sebagai stimulasi. Untuk itu, PPATK minta kepada seluruh Bank, penyedia jasa keuangan, laporkan terkait dengan transaksi ini, termasuk di dalam UU diatur apa yang disimpan di Safe Deposit Box yang ada didalamnya 37 Miliar. “Jadi bukan disita oleh PPATK itu bukan, jadi PPATK ingin memastikan, karena kewajibannya itu dalam pemeriksaannya itu PPATK ingin memastikan,” ungkapnya.

Pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman.

Sedangkan, Pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman menuturkan ‘mangkraknya’ laporan PPATK di Kemenkeu ditengarai karena adanya masalah integritas. Lebih dari itu, instrumen hukum disebut sebagai penyebab lain di balik lambannya respons Kemenkeu. 

“Kemenkeu dapat laporan dari PPATK untuk penegakkan disiplin PNS dan itu sangat terbatas karena hanya bersifat etik administratif. Kenapa bisa terulang-ulang kembali seperti ini ya sangat mungkin karena faktor jejaring di Kemenkeu sehingga penegakan etiknya menjadi lemah. Yang kedua, bisa jadi kesulitan dalam mencari alat bukti. Sehingga Kemenkeu tidak mempunyai kewenangan untuk tindak upaya paksa,” tuturnya saat dihubungi Law-Justice, Selasa.

Zaenur meyakini tindak pidana asal kasus Rafael ini adalah korupsi. Dugaan tindak korupsi berpangkal pada kekuasaan Rafael yang merupakan pejabat pajak yang bersentuhan dengan pihak wajib pajak. Dalam proses pembayaran dari pihak wajib pajak kepada pihak yang bertugas menerima wajib pajak inilah yang menjadi celah korupsi.

“Korupsi seperti apa, ini kan dugaan, misalnya berasal dari suap, misalnya  seorang wajib pajak memberikan suap kepada petugas pajak dengan harapan bisa membayar pajak lebih murah lebih rendah dari kewajibannya dan kemudian pihak wajib pajaknya bisa mendapat keuntungan karena bayar lebih murah dan si petugas pajaknya bisa mendapat suap,” ujarnya.

Senada, Agus juga menduga adanya permainan yang dilakukan Rafael terhadap proses pembayaran wajib pajak. Ia beranggapan kuat bahwa dugaan korupsi terjadi bukan dari wajib pajak perorangan. “Kalau saya melihatnya dalam konteks wajib pajaknya, kalau wajib pajak personal berapa sih uangnya, tapi kalau bicara sampai miliaran siapa sih yang punya, pastikan korporasi. Bisa dicek background wajib-wajib pajak yang selama ini menjadi kliennya Rafael apakah ada wajib pajak perusahaan,” katanya.

WTP Tak Serta Merta Bersih

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperoleh penghargaan sebagai salah satu Kementerian/Lembaga (K/L) yang memperoleh opini WTP minimal 10 kali dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) atas laporan keuangan yang telah disusun pada Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2022 dengan tema “Mengawal Akuntabilitas Keuangan dan Kinerja untuk Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat” pada Kamis (22/09/2022) di Aula Dhanapala. Penghargaan diterima oleh Sekretaris Jenderal (Sesjen) Heru Pambudi.

Kemenkeu selaku wakil pemerintah juga memberikan apresiasi kepada entitas pelaporan yang memperoleh opini WTP dari BPK RI atas lapkeu yang telah disusun. Penghargaan WTP tahun 2021 diberikan kepada 584 entitas pelaporan (1 BUN, 83 Kementerian/Lembaga (K/L), 34 Provinsi, 89 Kota, 377 Kabupaten).

Dilansir dari situs Kemenkeu.go.id, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sangat mengapresiasi akuntabilitas penggunaan keuangan negara baik APBN maupun APBD yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Hal ini tercermin dengan semakin meningkatnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Tahun 2021 yang diperoleh dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), meski saat itu pengelolaan keuangan negara dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19.

Meskipun demikian, tidak serta merta tidak ada persoalan di Kementerian Keuangan. Di luar badai rekening mencurigakan yang melanda pejabatnya. Dalam IHPS I 2022 Badan Pemeriksa Keuangan terdapat sejumlah catatan yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga triuliunan rupiah.

Berikut ini rekomendasi BPK kepada Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah agar: Menginstruksikan Direktur Jenderal Pajak untuk memutakhirkan sistem pengajuan insentif WP dengan menambahkan persyaratan kelayakan penerima insentif dan fasilitas perpajakan sesuai ketentuan pada laman resmi DJP Online, serta menguji kembali kebenaran pengajuan insentif dan fasilitas perpajakan yang telah diajukan WP dan disetujui, selanjutnya menagih kekurangan pembayaran pajak beserta sanksinya untuk pemberian insentif dan fasilitas yang tidak sesuai.

Memerintahkan Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur/SMI (Persero) selaku Pelaksana  Investasi Pemerintah untuk mengembalikan sisa dana Investasi Pemerintah Pemulihan Ekonomi  Nasional/IPPEN PT Garuda Indonesia/GIAA sebesar Rp7,50 triliun ke Rekening Kas Umum Negara.

Melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum kedaluwarsa penagihan per 30 Juni 2022 dan melakukan tindakan penagihan aktif sesuai ketentuan. Menetapkan kebijakan akuntansi penyajian Investasi Jangka Panjang Non Permanen Lainnya terkait pengelolaan Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada BP Tapera sebagai badan hukum lainnya yang ditunjuk sebagai Operator Investasi Pemerintah (OIP).

Memerintahkan  Tim  Task  Force  Dukungan Percepatan Penyelesaian Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan/PSAP mengenai Imbalan Kerja dan  PSAP mengenai Pendapatan dari Transaksi Non Pertukaran, berkoordinasi dengan Komite Standar Akuntansi Pemerintahan/KSAP untuk memfinalisasi dan menetapkan PSAP yang mencakup seluruh transaksi  pajak, serta PSAP Imbalan Kerja, termasuk pengaturan terkait masa transisi selama proses perubahan peraturan perundang-undangan terkait pensiun.

Menetapkan mekanisme pemantauan dan penatausahaan atas putusan hukum inkracht yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban atau pelepasan aset pemerintah sebagai dasar pelaporan keuangan pemerintah pusat.

Kutipan IHPS I 2022 Badan Pemeriksa Keuangan.

Selain rekomendasi di atas, BPK juga menemukan Pengelolaan insentif dan fasilitas perpajakan tahun 2021 sebesar Rp15,31 triliun belum sepenuhnya memadai. Akibatnya antara lain, terdapat potensi penerimaan pajak yang belum direalisasikan atas pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Non-PC-PEN kepada pihak yang tidak berhak sebesar Rp1,31 triliun, nilai realisasi fasilitas PPN Non-PC-PEN insentif sebesar Rp390,47 miliar tidak valid, nilai realisasi pemanfaatan fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar Rp3,55 triliun tidak andal, potensi pemberian fasilitas PPN DTP kepada pihak yang tidak berhak sebesar Rp154,82 miliar, potensi penerimaan pajak dari penyelesaian mekanisme verifikasi tagihan pajak DTP Tahun 2020 sebesar Rp2,06 triliun, Belanja Subsidi Pajak DTP dan Penerimaan Pajak DTP belum dapat dicatat sebesar Rp4,66 triliun, dan nilai realisasi insentif dan fasilitas pajak PC-PEN sebesar Rp2,57 triliun terindikasi tidak valid.

Selain itu, BPK juga menemukan di luar PEN, adanya kebijakan akuntansi belum mengatur pelaporan secara akrual atas transaksi pajak terkait dengan penyajian hak negara minimal sebesar Rp11,11 triliun dan kewajiban negara minimal sebesar Rp21,83 triliun.

Selain  itu,  pemerintah  belum  memaksimalkan  tindakan  penagihan sehingga terdapat piutang pajak kedaluwarsa sebesar Rp710,15 miliar. Akibatnya antara lain, pemerintah tidak dapat menyajikan sepenuhnya hak negara minimal sebesar Rp11,11 triliun dan kewajiban negara minimal sebesar Rp21,83 triliun dari beberapa transaksi perpajakan, piutang pajak berpotensi tidak dapat ditagih lagi sebesar Rp940,96 juta, serta pemerintah kehilangan hak untuk melakukan penagihan piutang pajak bumi dan bangunan (PBB) yang kedaluwarsa sebesar Rp709,21 miliar.

Perlu tindak lanjut lebih dalam terkaot temuan BPK ini. Apakah sepenunya merupakan prosedural administrasi saja atau memang ada indikasi kesengajaan pejabatnya. Menyitir mantan Ketua PPATK, salah satu permainan pajak adalah dengan mengotak-atik piutang pajak.

Kali ini tsunami skandal keuangan menembus langsung di jantung anggaran pemerintah. Ratusan milyar transaksi mencurkigakan yang terindikasi hasil korupsi dari satu pejabat menengah Kementerian Keuangan telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi Kementerian Keuangan juga APBN sebagai produknya (meskipun secara prosedural harus melalui Presiden dan DPR).

Kejahatan di wilayah Kementerian Keuangan ini, baik pajak, cukai maupun lelang aset, bukanlah kejahatan yang bisa dilakukan seorang diri. Mesti ada jejaring dan supporting sistem agar kejahatan ini berjalan mulus.

Membersihkan Kementerian Keuangan bukanlah hal yang mudah.  Mengingat kewenangannya yang begitu luas, mulai dari memungut pendapatan negara, mengelola keuangan negara, hingga menjadi penyidik untuk pajak dan cukai.

Penegak hukum, baik KPK maupun Kejaksaan Agung, kali ini harus bersikap proaktif dan progresif untuk melakukan rangkaian penegakkan hukum di Kementerian Keuangan. Sementara Presiden an DPR harus melakukan upaya politik untuk menyelamatkan reputasi pemerintah sekaligus meyakinkan kalau lumbung negara ini sudah bersih dari tikus-tikus. Upaya Menteri Keuangan melakukan rotasi jabatan tidak akan banyak pengaruhnya, sebelum dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap aparaturnya.

Triliunan duit rakyat dan potensi pendapatan negara yang diduga telah dibegal oleh oknum pegawai Kementerian Keuangan tentunya bukan nilai yang kecil. Bahkan, jika tidak ada penuntasan yang serius dari Presiden, skandal di kementerian keuangan ini bisa mempengaruhi kesiapan pemerintah dalam melaksanakan Pemilu 2024.

 

Ghivary Apriman

Rohman Wibowo

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar