Ibukota Dalam Cengkeraman Mafia Tanah

Menguak Pertarungan Korban Mafia Tanah Vs Grup Pengembang

Sabtu, 11/03/2023 13:39 WIB
Ilustrasi: Demonstrasi Melaan mafia Tanah. (Antara via SIB)

Ilustrasi: Demonstrasi Melaan mafia Tanah. (Antara via SIB)

Jakarta, law-justice.co - Jika anda memiliki lahan di wilayah Jakarta dan sekitarnya, jangan lantas tenang. Jaga baik-baik properti anda. Sebab, bukan tidak mungkin kalau lahan milik anda tersebut sedang diincar mafia tanah. Waspadai jika ada pihak yang tiba-tiba mengklaim tanah anda dan memantik sengketa lahan.

Maraknya konflik sengketa agraria atau pertanahan kini tidak bisa dipandang sebagai sengketa organik dua pihak yang memiliki kepentingan atas sebidang lahan saja. Terutama di  kawasan pertumbuhan, seperti di kawasan Ibukota Jakarta dan kawasan penunjang, umumnya sengketa agraria justru merupakan konflik yag diciptakan untuk merebut lahan dari pemilik sah.

Jejaring pemilik kepentingan dalam perampasan lahan ini berkelindan dan membentuk komunitas layaknya mafia. Mafia tanah inilah yang mengatur orkestrasi di balik sengketa tanah. Peranan mereka menjadi pihak yang mengatur bagaimana tanah dirampas dari pemilik yang memiliki hak sebelumnya. Perampasan dilakukan secara terstruktur dan sistematis yang melibatkan pengusaha, preman, hingga pejabat pertanahan dan aparat penegak hukum.

“Mafia tanah itu persekongkolan antara berbagai pihak. Jadi ada persekongkolan aparat, birokrat pengusaha dan melibatkan juga bisa jadi elite politik untuk melakukan pembenaran klaim dan pemalsuan hak. Saking persekongkolannya kuat bisa melibatkan mafia peradilan,” kata Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika kepada Law-justice, Selasa (7/3/2023).

Dampak praktik mafia tanah telah mengakibatkan adanya konflik agraria. Umumnya terjadi antara pemerintah vs. rakyat dan rakyat vs. pengusaha. Menurut laporan KPA, letusan konflik agraria pada tahun 2022 naik dibanding 2021. Sedikitnya 212 letusan konflik agraria di berbagai sektor investasi dan bisnis berbasis korporasi. Jumlah tersebut naik dibanding letusan konflik pada tahun sebelumnya sebanyak 207 konflik.

Konflik tersebut terjadi di 459 desa dan kota di Indonesia. Secara total, letusan konflik berlangsung di atas tanah seluas 1 juta hektar, tepatnya 1.035.613 hektar yang berada dalam status sengketa. Sementara masyarakat yang terdampak konflik agraria setidaknya 346.402 kepala keluarga (KK).

Mafia tanah di kawasan Ibukota Jakarta dan Kawasan pendukung seolah tak tersentuh hukum.  Dalam beberapa kasus mereka bahkan sanggup menunggangi aparat penegak hukum hingga pejabat di Kementerian ATR/BPN.

Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto.

Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto mengungkapkan lima oknum pejabat yang terlibat dalam konflik mafia tanah. "Dari hasil yang saya dapatkan di lapangan ada lima oknum mafia tanah yang bermain," kata Hadi melalui keterangan yang diterima Law-Justice.

Pertama, yaitu oknum pegawai BPN yang sampai saat ini masih terus ditertibkan agar tidak lagi terjerumus kegiatan mafia tanah. Kedua, oknum pengacara. Ketiga adalah oknum PPAT. PPAT sendiri memiliki tugas untuk melakukan sosialisasi program prioritas Kementerian ATR/BPN yakni percepatan pendaftaran tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan menyelesaikan kasus sengketa hingga memberantas mafia tanah. 

Hadi juga membeberkan oknum keempat, yaitu camat sebagai PPAT sementara dan kelima adalah oknum kepala desa. Menurutnya, kelima oknum ini bekerja sama dalam melakukan modus-modus penipuan dan pengalihan hak kepemilikan tanah. 

"Apabila dari lima oknum ini salah satu saja tidak melakukan kegiatan maka sebetulnya mafia tanah ini tidak akan bisa jalan, karena mafia tanah ini tidak bisa jalan sendirian," ungkapnya. 

Sementara merujuk laporan KPA, dengan lebih detail diungkapkan pelaku utama dalam ranah grand design adalah mereka kalangan pengusaha dan petinggi pemerintahan. Dalam praktiknya, mereka berperan memesan serta memenuhi pesanan tanah untuk mencapai ambisi bisnisnya. Adapun tanah yang diincar sudah dibangun oleh masyarakat sebagai tempat tinggal sejak lama. Namun, karena kepemilikan modal dan atas nama pembangunan, pengusaha dapat mengakalinya melalui bantuan elite birokrat.

“Pemenuhan kebutuhan tanah bagi pemodal entah itu di berbagai sektor misal di bisnis properti. Maka hubungan pemodal dengan birokrat untuk mendapatkan hak atas tanah misal HGU atau HGB. Jadi ketika ada proses permohonan atas tanah yang melibatkan modal lebih kuat, maka realitas di lapangan seringkali diabaikan sehingga penerbitan hak atas tanah bagi individu atau sekelompok bisa menyingkirkan hak pihak yang sejak awal punya klaim lebih kuat,” ujar Dewi.  

Setelah pihak pengusaha berhasil tentukan tanah incarannya, barulah pelaku mafia tanah berikutnya beraksi. Mulai dari advokat, pemuka agama, pemerintah daerah, pemerintah desa, Polisi/TNI dan preman adalah pihak yang disebut KPA sebagai mafia di tingkat lapangan. Mereka ini berperan mengeluarkan rekomendasi sesuai dengan kebutuhan pengusaha demi mendapatkan tanah incarannya. Lalu, pihak di level ini juga berperan dalam memberikan izin lokasi sepihak, memalsukan laporan mengenai kondisi penguasaan tanah dan memaksa masyarakat agar berkenan menyerahkan tanahnya dengan cara kekerasan. Untuk peran terakhir, jelas aparat kepolisian dan TNI yang bertindak.

Beralih ke ranah administrasi pertanahan, mafia tanah yang terlibat adalah mereka yang berprofesi sebagai Notaris/PPAT. Mereka bertugas yang mengeluarkan akta tanah, akta jual beli, pelepasan hak palsu, menjamin dan mengesahkan tanda tangan serta menetapkan kepastian tanggal pembuatan surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya.

Seusai beres urusan mengakali administrasi, proses perampasan tanah berlanjut ke unsur pemerintahan. Tidak lain mafia tanahnya adalah pejabat di kantor pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Modus operandi mereka adalah memalsukan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis fisik evaluasi tanah terlantar.

Masuk ke level lebih tinggi, mafia tanah melibatkan pula pejabat tinggi di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Modus mereka ini memberikan keputusan yang sebelumnya sudah dipesan oleh pengusaha. Pada praktiknya, keputusan diberikan meski pada prosesnya melawan hukum atau illegal atau cacat prosedur. Hingga akhirnya terbit hak atas tanah seperti, HGU (hak guna usaha), HGB (hak guna bangunan), HM (hak milik), HPL (hak pengelolaan atas tanah) dan HP (hak pakai).

“Modus umum misalnya menggunakan bukti-bukti hak atas tanah, bisa dalam bentuk tanah girik, tanah eigendom, surat tanda penguasaan tanah. Itu bisa juga dipergunakan untuk mengklaim sebuah bidang tanah,” ucap Dewi.

Ketika persoalan klaim mandek di lapangan, para pemodal atau pihak yang diklaim tanahnya membawa kasus ke meja hijau. Dalam proses ini, mafia tanah yang terlibat berasal dari unsur kepolisian, jaksa, advokat dan hakim. Mereka yang berperan memenangkan gugatan pengusaha atau mengalahkan gugatan masyarakat. Pengadilan disebut dalam posisi yang berpihak pada kalangan yang memiliki modal.

“Melibatkan banyak pihak yang punya otoritas kewenangan modal artinya ada beking modal. Bisa juga modusnya menggunakan jalan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengklaim hak atas tanah yang berujung pada kalahnya si pemilik asli,” tutur Dewi.

Dewi beranggapan mafia tanah bereaksi karena memiliki kekuatan dalam hal modal, akses dan kekuasaan. Orientasi kebijakan agraria pemerintah yang berpihak pada pengusaha untuk pengembangan bisnisnya juga digadang-gadang menjadi musabab menjamurnya praktik mafia tanah. Pada konteks ini, jargon pembangunan ekonomi menjadi alas bagi relasi antara pebisnis dan pemerintah.

“Politik agraria kita yang mengutamakan alokasi dana untuk pengusaha dan perusahaan,” ujar dia.

Bicara soal relasi pemerintah-pengusaha, setidaknya dapat dilihat dengan adanya gagasan Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh pemerintah yang nantinya digarap oleh swasta. Mengacu data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, terdapat 208 Proyek dan 10 Program PSN dengan nilai investasi sekitar Rp5.698,5 triliun. Dari nilai investasi ini memerlukan tanah dalam skala yang sangat luas. Sejauh ini berdasarkan data dari Kementerian ATR/BPN, realisasi pengadaan tanah untuk PSN hingga telah mencapai 23.280 hektar dari target keseluruhan pengadaan tanah seluas 51.104 hektar.

Selain karena politik agraria yang berelasi dengan kepentingan bisnis pengusaha, alasan lain menjamurnya praktik mafia tanah dipicu oleh tidak transparansinya sistem informasi pertanahan. Padahal, keterbukaan sistem informasi pertahanan dibutuhkan agar publik dapat melihat status tanah yang mereka tinggali. Hal ini yang kemudian dijadikan titik masuk mafia tanah untuk memanipulasi informasi dan data pertanahan.

“Sistem pertanahan kita itu bersifat tertutup. Banyak modus memanfaatkan ketertutupan informasi pertanahan soal pemilik tanah, apakah ini sudah ada sertifikat tanahnya. Itu bisa jadi celah karena ketertutupan informasi atas hak tanah.” kata Dewi.

BPN Pintu Masuk Mafia

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan bila persoalan mafia tanah ini menjadi masalah serius. Bahkan Dia menyebut bila Kementerian ATR/BPN justru jadi pintu gerbang masuk dari lolos tidaknya mafia tanah.

"Pintu gerbang dari lolos tidak lolosnya mafia tanah dalam mencaplok, itu tidak berawal dari ranah hukum, tentu pintu gerbangnya ada di ATR/BPN,” kata Guspardi kepada Law-Justice. Meski begitu Guspardi yakin bila Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto mampu memberantas mafia tanah.

Tentu dengan catatan Kementerian ATR/BPN perlu mengedepankan unsur kehati-hatian dalam merubah sertifikat tanah. "Oleh karena itu pintu gerbang ini perlu kehati-hatian dalam merubah sertifikat tanah ini. Bagaimanapun, masalah mafia tanah tidak lepas dari orang dalam. Kalau orang dalamnya kuat, apa pun Insyaallah tak akan terjadi," ujarnya.

Selain itu, Politisi PAN tersebut juga memberikan catatan khusus pada Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI). Hal tersebut terkait banyaknya kasus perampasan tanah rakyat yang diduga melibatkan oknum aparat penegak hukum.

Dimana oknum aparat kepolisian diduga menekan secara paksa para pemilik tanah yang sah agar melepaskan lahan miliknya dengan ancaman akan dipidanakan. "Oknum yang diduga jadi beking harus diusut secara tuntas. Jangan ada kesan, kalau ada keberanian dari masyarakat melakukan pengaduan lalu dikriminalisasi. 

Guspardi menyatakan hal tersebut bisa jadi preseden buruk untuk pemberantasan mafia tanah. Hal tersebut karena orang jadi takut mengadukan permasalahan mafia tanah.

"Jangan sedikit-sedikit dikriminalisasi, aparat penegak hukum harus berpihak kepada masyarakat, berpihak pada penegakan hukum. Jangan terkesan membackup pengusaha besar kemudian menafikan kepentingan masyarakat yang sebetulnya punya hak," ucapnya.

Guspardi menegaskan bila pada hakikatnya  semua orang sama di mata hukum. Aparat kepolisian harus profesional dalam bekerja, transparan dan akuntabel. Ia menyinggung arahan Presiden Joko Widodo kepada Kapolri dan Kejaksaan Agung terkait pemberantasan mafia tanah.  Dimana poinnya, siapapun orangnya, jika terindikasi terlibat dalam mafia tanah harus ditindak tanpa pandang bulu.

"Sesuai arahan presiden kepada Kapolri dan Kejaksaan, siapapun orangnya, apapun institusinya, kalau ada indikasi terlibat harus dilibas. Karena apa? Karena merugikan masyarakat," tegasnya. Politisi asal Sumbar itu menambahkan bila permasalahan mafia tanah sebenarnya ranah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN). 

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan bila persoalan mafia tanah ini menjadi masalah serius. Bahkan Dia menyebut bila Kementerian ATR/BPN justru jadi pintu gerbang masuk dari lolos tidaknya mafia tanah.

Namun dalam hal penindakan kementerian yang dipimpin Hadi Tjahjanto tersebut melibatkan aparat penegak hukum. "Pemberantasan harus dilakukan secara sungguh-sungguh, libas sampai tuntas, ini jadi momentum yang bagus bagi Kapolri melakukan bersih-bersih," tambahnya.

Ia menyatakan bahwa bersih-bersih oknum yang diduga terlibat dalam mafia tanah akan meningkatkan citra dan marwah kepolisian yang belakangan tengah mendapatkan sorotan positif dari masyarakat. Ketegasan itu diharapkan seperti yang dilakukan saat mengungkap kasus kasus besar saat ini yang kerap kali terjadi

"Bapak Kapolri harus tegas dalam menindak oknum polisi yang tidak dapat menjadi penegak hukum Presisi. Jadi kami harap ini diterapkan terhadap para mafia tanah, termasuk oknum aparat penegak hukum di belakangnya," ungkapnya.

Sementara itu Direktur Jenderal (Dirjen) Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP) Kementerian ATR/BPN R.B. Agus Widjayanto menyatakan sesuai dengan yang disampaikan oleh Menteri, pihaknya telah membereskan puluhan kasus mafia tanah selama tahun 2022. 

Agus menyebut bila Kementerian ATR/BPN telah menorehkan capaian signifikan terkait penanganan konflik dan sengketa, khususnya pemberantasan mafia tanah di Indonesia.  "Seperti yang telah disampaikan oleh Pak Menteri, kami telah berhasil menuntaskan 60 kasus mafia tanah pada tahun ini, khusus terkait permasalahan mafia tanah," kata Agus kepada Law-Justice.

Selain itu, ia pun mengapresiasi kerja sama 4 (empat) pilar dalam berbagai penyelesaian setiap konflik pertanahan yang telah dilakukan. Antara lain Kementerian ATR/BPN, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan lembaga peradilan. 

"Kerja sama dan kolaborasi yang baik antara keempat lembaga tersebut akan menjadi kekuatan permasalahan tanah di Indonesia," tuturnya. Agus menyebut jika mafia tanah merajalela, banyak dampak buruk yang akan terjadi di masyarakat. 

Selain tidak terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat, mafia tanah dapat menghambat pembangunan, dan berdampak pada para investor yang telah menanamkan investasinya. “Serta mempengaruhi kepercayaan investor yang akan menanamkan investasinya di Indonesia. Sehingga, praktik ini harus kita bereskan," ucapnya.

Terkait dengan program crisis center BPN soal Mafia Tanah, Agus menyebut program tersebut sampai saat ini terus berjalan. Ia menyatakan bila BPN melakukan kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum untuk bisa membereskan persoalan mafia tanah.

"Jadi ini sinergis dengan penegak hukum dalam memberantas mafia tanah, untuk soal penindakan kita serahkan sesuai dengan ketentuan hukum," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta Dwi Budi Martono memaparkan modus tindak kejahatan mafia tanah yang marak terjadi di DKI Jakarta. Dari sekian banyak modus mafia tanah, mayoritas pelaku menggunakan figur pengganti pemegang hak tanah. "Banyak modus, banyak polemik, tapi mayoritas adalah menggunakan figur," kata Dwi kepada Law-Justice.

Mafia tanah ini biasanya bersikap seakan dirinya sebagai pemegang hak, lalu mendatangi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk melakukan transaksi. "Figur inilah yang akhirnya memindahkan hak seseorang dan melawan hukum," tambah Dwi Budi. 

Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN menciptakan aplikasi Sentuh Tanahku, sehingga para pemegang hak bisa memantau kondisi tanah mereka secara digital.  Nantinya, para pemegang hak bisa langsung mengetahui apabila terjadi transaksi terhadap bidang tanahnya dan bisa langsung membatalkan atau mengambil langkah atas tindak kejahatan tersebut. 

"Kalau ada langkah enggak benar, dia (pemegang hak) bisa blokir. Mudah-mudahan aplikasi ini bisa memitigasi kejadian-kejadian mafia tanah," lanjutnya. 

Pada tahun 2022, Kanwil BPN DKI Jakarta menyelesaikan 5 kasus mafia tanah dari yang awalnya hanya ditargetkan 4. Kelima kasus mafia tanah tersebut meliputi kasus yang menyangkut selebriti Nirina Zubir, kasus di Petogogan, Petojo Selatan, Pegangsaan, dan Kalibata.

Pertarungan Korban Mafia Melawan Grup Pengembang di Ibukota

Eskalasi konflik agraria yang terjadi di sektor perkotaan biasanya berkutat pada sektor properti. Praktik mafia tanah diprakasai oleh kalangan pengembang untuk mengembangkan ekspansi bisnisnya. Masih merujuk laporan KPA, praktik mafia tanah yang berkelindan dengan konflik agraria di sektor properti, sedikitnya mengakibatkan 26 letusan konflik pada tahun 2022 dengan luasan 4.572 hektar dan melibatkan 15.957 KK. Letusan konflik di sektor ini didominasi oleh klaim aset pemerintah di tanah dan pemukiman masyarakat dimana letusan konfliknya mencapai 13 kali. Selanjutnya konflik masyarakat dengan para perusahaan pengembang perumahan sebanyak 8 kali letusan konflik.

“Jadi misal di Jabodetabek, kita tahu siapa yang menguasai tanah. Kurang lebih di Jabodetabek itu 41 ribu hektar hanya dikuasai oleh sekitar 15 sampai 16 konglomerasi kelompok mulai dari Sentul City, Grup Agung Podomoro hingga Grup Agung Sedayu. Itu kan nama-nama besar yang kuasai tanah di Jabodetabek,” kata Dewi.

Menurutnya, para pengembang besar ini diberikan akses dalam kepemilikan tanah oleh pemerintah. Sehingga mampu mencaplok tanah incaran dalam skala besar untuk ekspansi bisnis. Alhasil, terjadi praktik spekulan yakni tanah ditimbun oleh konglomerasi pengembang properti. Tanah yang digunakan untuk pembangunan bisnis properti dipisahkan dengan tanah yang sementera belum digarap sebagai cadangan seperti konsep Bank Tanah pemerintah.

“Nah mafia tanah di sektor properti sering berkelindan dengan praktik spekulan tanah. Jadi banyak perusahaan-perusahaan ini yang sebenarnya menguasai tanah cukup besar di Jabodetabek, tapi sebenarnya tidak dioptimalkan. Jadi misalnya Sentul City itu kan menguasai 15 ribu hektar di Bogor dan Jonggol, tapi kurang lebih hanya 2 hektar saja yang dikembangkan. Nah artinya dia tidak hanya melakukan praktik monopoli atas tanah, tapi juga melakukan praktik spekulan tanah. bisa jadi itu land banking atau bank tanah ala swasta,” beber Dewi.  

“Mafia tanah itu persekongkolan antara berbagai pihak. Jadi ada persekongkolan aparat, birokrat pengusaha dan melibatkan juga bisa jadi elite politik untuk melakukan pembenaran klaim dan pemalsuan hak. Saking persekongkolannya kuat bisa melibatkan mafia peradilan,” kata Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika.

Praktik spekulan tanah seperti ini, kata dia, sudah termasuk memonopoli kekuasaan tanah. Padahal, praktik semacam ini melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU PA). Lagi-lagi, akumulasi kapital disebut menjadi titik pemikiran pengembang untuk menimbun tanah.

“Mereka kuasai tanah dalam jumlah besar dan memonopoli tanah oleh swasta di UU itu jelas tidak diperkenankan di Indonesia. Tapi dalam prakteknya ada monopoli yang dilakukan oleh segelintir perusahaan. Nah anehnya (tanah yang ada) tidak dioptimalkan secara penuh di tengah ada ketimpangan. Jadi kita lihat ada praktik spekulan tanah, jadi kita lihat mereka ada main, punya cadangan tanah besar ketika harga tanah naik, mereka lepas,” ucap dia.  

Adapun pasal pada UU PA yang melarang adanya praktik spekulan tanah tertuang dalam Pasal 13 ayat 2 yang berbunyi: “Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta”. Penjelasan hukum pasal tersebut menitikberatkan usaha mencegah praktik monopoli tanah yang merugikan rakyat.

Dewi juga menyoroti mafia tanah yang melakukan monopoli tanah bukan saja menerabas hukum, akan tetapi menyengsarakan rakyat. “Banyak perusahaan yang sudah memiliki akses dan kepemilikan tanah, padahal problem agrarianya sudah akut juga karena banyak masyarakat miskin yang tinggal di ruang-ruang sisa, tidak punya akses untuk perumahan layak. Alokasi tanah lebih banyak ke developer besar. Dan kalau pemerintah tidak transparan dalam proses itu, tata cara penerbitan ha katas tanahnya, tata cara penertibannya, itu bisa jadi celah suburnya praktik mafia yang sifatnya kolutif dan koruptif,” ujarnya.

Salah satu kelompok masyarakat yang rajin dan gigih membela korban mafia tanah adalah Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI). FKMTI mewadahi warga yang tanahnya diserobot paksa atau diambil-alih oleh kelompok jejaring mafia tanah.

Akhir tahun lalu, puluhan korban mafia tanah dari berbagai wilayah yang tergabung dalam Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) menggeruduk gedung DPRRI. Mereka memaparkan kasus perampasan tanah yang menimpa mereka saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI, pada Senin (14/11/2022), di Gedung DPR RI, Jakarta.

Salah satu korban mafia tanah, Datuk Syahrul Ramadhan Tanjung mengungkapkan, tanah ulayat di wilayahnya, Pasaman Barat, Sumatera Barat, seluas 2.462 hektare telah dicaplok. Dia menjelaskan, ribuan hektare tanah ulayat tersebut semula adalah hutan yang menjadi sumber kehidupan rakyat. Masyarakat bisa memanen rotan dan ikan. Berbagai upaya telah mereka tempuh untuk mendapatkan hak rakyat. Mereka sudah mengadu kepada bupati, gubernur bahkan bersurat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bukannya mendapatkan penyelesaian, rakyat justru dikriminalisasi.

“Kami berharap pimpinan Komisi II DPR RI bisa menyelesaikan persoalan dengan menegur pihak perusahaan,” ujarnya, pada Senin (14/11/2022) sebagaiman dikutip dari Poskota.

Ketua FKMTI SK Budiardjo dalam kesempatan itu menjelaskan,  ada delapan laporan kasus perampasan tanah yang dipaparkan. Selain tanah ulayat di Pasaman Barat, juga ada tanah SHM rakyat Prabumulih untuk proyek tol di Sumatera, tanah SHM Tirta Hartanto di Tangerang, tanah SHGB Hajjah Jubaedah di Jakarta Timur, tanah SHM Didik Karsidi di Jakarta, tanah SHM Lany di Banjar Kalimantan Selatan, tanah Girik SK Budiardjo di Cengkareng dan tanah girik Rusli Wahyudi di BSD, Tangerang Selatan (Tangsel).

“Tanah saya di Cengkareng Timur, Jakarta Barat yang saya beli tahun 2006, dirampas oleh pengembang tahun 2010,” tuturnya.

Korban lainnya, Hajjah Jubaidah, lanjut Budiardjo, Surat Hak Guna Bangunan (SHGB)-nya di Jakara Timur sudah lima kali diagunkan di bank. Anehnya, SHGB masih di bank, bisa dirampas dengan sertifikat yang lokasinya di tempat lain. “Kasus lainnya tanah SHM warga Prabumulih yang terkena proyek Tol Sumatera, hingga kini belum dibayar, karena digugat menggunakan selembar kertas foto kopi,” ungkap Budi.

Budi menambahkan, FKMTI siap adu data alas hak kepemilikan tanah, dan mendesak Presiden bentuk perpu penyelesaikan konflik lahan. Perintah Presiden Jokowi untuk memberantas mafia tanah, hingga saat ini tak dijalankan jajarannya. Masa jabatan presiden tinggal dua tahun, tapi eskalasi kasus perampasan tanah makin naik.

Sayangnya, perjuangan Budi mesti terganjal sejenak. Kini, Budi tengah meringkuk di balik jeruji Rutan Salemba. Dia menjadi pesakitan akibat dilaporkan oleh pengembang anak perusahaan Grup Agung Sedayu, yakni PT Sedayu Sejahtera Abadi (SSA). Budi dan istrinya Nurlaela ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dengan sangkaan Pasal 263 dan 266 KUHP tentang pemalsuan surat.

Yahya Rasyid, Pengacara SKBudiarjo.

“Dengan sangkaan pasal 263 dan 266 tidak ada ayatnya jadi pasal ngambang. Nah yang intinya isi unsur delik 263 dan 266 itu membuat surat palsu, menyuruh membuat surat palsu atau meletakkan surat palsu di atas bukti otentik atau menggunakan. Menurut polisi dituduh menggunakan, padahal tidak pernah sama sekali gunakan surat palsu, justru ini kita tanya kepada polisi yang mana surat yang palsu dan siapa yang suruh dibuat dan digunakan dimana. Polisi tidak bisa menunjukkan,” beber Pengacara Budiarjo, Yahya Rasyid kepada Law-Justice.

Pihak Budiarjo lantas ajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dilaksanakan sidang perdana pada 09 Januari 2023. Pada sidang perdana pun pihak kepolisian dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mangkir, menyusul berkas perkara yang dianggap belum lengkap. Upaya hukum Budiarjo ini kembali gagal karena majelis hakim beralasan berkas perkara sudah dilimpahkan ke kejaksaan.

Tepat sehari berselang dari sidang perdana tersebut, Budiarjo dan istrinya Nurlaela ditahan atas tuduhan pemalsuan surat tanah tersebut. Yahya melihat penahanan ini sebagai hal yang janggal karena tidak sesuai dengan proses hukum yang ada. Upaya sidang praperadilan seolah dinihilkan. “Inilah anehnya peraturan di Indonesia karena praperadilan itu adalah saluran hukum yang harus ditempuh oleh seseorang yang dinyatakan tersangka,” ucapnya.

Babak baru proses hukum berlanjut di sidang pokok perkara yang digelar perdana pada 25 Februari 2023 di PN Jakarta Barat. Yahya mengatakan, pihak yang melaporkan Budi dalam kasus ini adalah Nono Sampono yang merupakan Direktur Utama Agung Sedayu Group. Ia melihat proses hukum yang berlangsung ini juga janggal karena pihak pelapor tidak kooperatif dengan tidak menghadiri persidangan. Dari 5 saksi dari JPU, hanya satu yang hadir di persidangan. 

“Keterangannya banyak tidak tahu jawabannya. Dia hanya diperalat saja. Saksinya Pak Hatmanto dari SSA, legal dari SSA. Ada keunsuran tidak hadir saksi untuk meredam budi dan istri dan semakin lama di penjara,” tuturnya.

Menurutnya, kasus yang mendera Budiarjo tidak hanya bisa dilihat sebagai kasus sengketa tanah biasa. Namun hal ini merupakan wujud pembungkaman atas upaya pembelaan korban mafia tanah. Ada kongkalikong penegak hukum dengan pihak pengembang sebagai praktik mafia tanah. Dalam konteks kepolisian, Yahya menilai kejanggalan proses hukum dimulai dari tidak seriusnya penindakan polisi atas laporan kekerasan kontainer dan perampasan tanah.

“1.000 persen saya menilai ditahannya Budi direkayasa disetting sehingga terjadi pembungkaman agar korban mafia tanah di seluruh Indonesia tidak akan terbongkar. Saya bisa ambil kesimpulan dengan melihat kasus di seluruh Indonesia, itu adalah model mafia tanah dilakukan, memperalat aparat penegak hukum, polisi dan jaksa,” bebernya.

Dijelaskan oleh Yahya kasus ini bermula pada saat SK Budiharjo membeli sejumlah bidang tanah pada tahun 2006. Tanah seluas ribuan meter tersebut dibeli dengan kepemilikan berdasarkan 3 girik: Girik C No. 1906 Luas 2231 m2 An. A. Hamid Subrata, Girik No. C. 5047, Persil 30 b Blok S.II An. Eddy suwito dan Girik No. 391 Luas 1480 m2 dan 6000 m2 An. Hasim Bin Gering. Setelah dibeli, Budiarjo menjadikan tanahnya sebagai gudang tempat penyimpanan kontainer dan bangunan untuk penjaga keamanan.

Persoalan datang ketika pengurusan sertifikat atas tanah tersebut di tahun yang sama oleh penjual (Abdul Hamid Subrata). Disebutkan, pihak BPN mengatakan bidang tanah yang dimaksud sudah masuk dalam Sertifikat hak guna bangunan (SHGB) No. 1633 An. PT Bangun Marga Jaya (BMJ) seluas 112.840 meter persegi. Tidak terima, lantas Hamid ajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Singkat cerita, Hamid menang dalam gugatan itu dan putusan hukum sudah bersifat berkekuatan hukum tetap.

Namun, PT BMJ ajukan gugatan balik atas putusan inkrah tersebut hingga akhirnya Hamid kalah dan berujung penangkapan oleh polisi pada tahun 2008, meski sudah ajukan banding. Yahya Rasyid mengatakan penahanan Hamid ini merupakan permainan dan dijadikan alasan agar kepemilikan tanah bisa beralih tangan sebelum akhirnya antara pihak Hamid dan PT BMJ berdamai.

Padahal, menurut Yahya, kepemilikan tanah sudah menjadi hak Budiarjo sesuai transaksi yang dicatat dalam perjanjian perikatan jualbeli (PPJB) dan sudah dibayar lunas oleh Budi. “Pihak PT BMJ memperalat polisi menangkap Hamid sehingga penahanan itu dijadikan bargaining. Padahal Hamid ini sudah tidak memiliki lagi legal standing untuk melakukan perdamaian karena tanah itu sudah miliknya Budi pada tahun 2008,” ujar dia.

Eskalasi konflik semakin menajam hingga berujung aksi kekerasan. Pada 2010, pihak Budiarjo mengklaim 5 kontainer yang berada dalam tanahnya dicuri dan tanahnya dirampas oleh pihak SSA. “Tanah dirampas. Pintu masuk dan keluar tanah kami dipagar oleh preman, dikawal pasukan Brimob dan terjadi pengeroyokan dan pemukulan yang diduga suruhan anak perusahaan ASG (Agung Sedayu Group),” tulis Budiarjo pada laporan yang Law-Justice terima.

Pihak Budiarjo tidak tinggal diam dengan melaporkan kasus pencurian dan kekerasan ini kepada pihak kepolisian. Namun laporan tidak ditindaklanjuti dan justru berkas laporan Budi dinyatakan hilang oleh kepolisian. Ketika proses hukum di kepolisian mandek, justru pihak pengembang membangun ruko dan perumahan pada tahun 2010.

Upaya hukum Budi atas klaim tanahnya terus berlanjut hingga tahun 2018, di mana perkara dilimpahkan ke Bareskrim Polri. Tetapi proses hukum dihentikan karena pihak kepolisian menganggap bukti tidak cukup, meski ada bukti visum kekerasan, perampasan kontainer dan tanah.

Budiharjo sendiri mengaku saat membeli tanah tersebut tidak mengetahui ada pihak lain atau pun sengketa atas tanah tersbeut. Dia mengaku sudah dihubungi oleh Abdul Hamid sejak tahun 2005. “Saat itu saya masih di luar negeri, Kuala Lumpur. Jadi tawaran tersebut belum saya ladenin,” ujarnya.

Lantas, Budiharjo mengaku kembali didatangi oleh Hamid di tahun 2006. Dia kemudian menghubungi seorang Notaris bernama H Uyun Hadibrata untuk membantu pengurusan transaksi dan memeriksa keabsahan surat-surat tanahnya. “Saya sempat mundur saat tahu masih girik, tetapi diyakinkan akan segera ditingkatkan menjadi sertifikat hak milik. Bodohnya lagi, saya mau saja membayar PPJB kontan. Saya bayar lunas sebelum ada sertifikat. Memang masih disisakan sedikit yang belum saya setor tapi tidak seberapa nilainya,” paparnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum PT Sedayu Sejahtera Abadi (SSA) Haris Azhar membantah pihaknya telah menyerobot tanah di Jalan Kamal Raya Outer Ring Road, Cengkareng Timur, Jakarta Barat atas nama SK Budiarjo dan Nurlaela. Dia menegaskan bila pihaknya siap untuk beradu data dan bukti atas kepemilikan tanah tersebut. "Kami secara tegas menyatakan bahwa klaim tersebut tidak berdasar dan tidak memiliki landasan hukum. Kami siap adu data," kata Haris melalui keterangan yang diterima Law-Justice.

Haris menjelaskan PT SSA membeli tanah atas Hak Guna Bangunan (HGB) No. 1633/Cengkareng Timur seluas 112.840 m2 yang berlokasi di Jalan Kamal Raya Outer Ring Road dari PT Bangun Marga Jaya. Hal itu juga mengacu pada Akta Jual Beli No. 158/2010 tertanggal 9 November 2010 yang dibuat di hadapan Adrianto Anwar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Daerah Kerja Kota Administrasi Jakarta Barat.

Adapun Sertifikat HGB No.1633/Cengkareng Timur, kata Haris, telah tercatat di Kantor Pertanahan Jakarta Barat dan hingga kini tidak sedang digugat, disengketakan maupun dibatalkan. "Dengan ini kekuatan pembuktian dari sertifikat tersebut adalah sah dan kuat," ucapnya.

Menurut Haris, SK Budiarjo dan Nurlaela seharusnya tidak asal menuduh PT SSA sebagai mafia tanah. Haris menyarankan agar keduanya memastikan kembali atas klaim kepemilikan tanah pada pihak yang menjual, yakni Abdul Hamid Subrata.

Dalam putusan Perkara No.: 372/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Brt tanggal 05 April 2010 antara Abdul Hamid Subrata dengan PT Bangun Marga Jaya, keduanya bersepakat damai berdasarkan Akta No. 10 tertanggal 25 Agustus 2010.  Abdul Hamid pun telah menyerahkan surat dan fisik tanah kepada PT Bangun Marga Jaya, sebelum akhirnya tanah itu dibeli oleh PT SSA.

Terlebih, kata Haris, bukti kepemilikan tanah yang dikantongi oleh SK Budiharjo lemah, sebab dia hanya memegang Girik C. 1906 Persil 36.  Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, perolehan Girik C. 1906 Persil 36 bermasalah karena tidak terdaftar dan/atau tidak tercatat pada Buku Catatan Letter C di kelurahan.

Haris berkata objek tanah yang sesuai dengan girik tersebut juga menunjukkan bukan berada di tanah milik PT SSA, melainkan di Kelurahan Kapuk.

"Objek tanah tersebut di Kelurahan Kapuk namun digunakan untuk klaim tanah PT SSA yang berada di Kelurahan Cengkareng Timur dan jual beli baru berupa PPJB dari Notaris bukan akta jual beli di hadapan PPAT," pungkasnya.

Menyikapi hal ini, Yahya selaku pengacara SK Budiarjo menyatakan pihaknya tengah mempersiapkan upaya untuk menggugat secara perdata. “Apapun langkah hukum tengah dipersiapkan. Meskipun ada krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan, namun kami yakin masih ada hakim-hakim jujur yang tidak tersentuh oleh pengaruh mafia tanah,” ujarnya.

Dia tidak menafikan kekhawatiran kalau persidangan kini hanya merupakan bagian dari kerja mafia hukum. “Kita sudah sering dengar, pengadilan justru menjadi final legalisasi mafia tanah. Dengan putusan yang sudah disiapkan dan direkayasa, justru kerap menjadi legalitas baru untuk merampas hak-hak rakyat melawan mafia tanah,” pungkasnya.

Namun, dia menegaskan upaya untuk melawan mafia tanah tidak akan berhenti di putusan pengadilan saja. Dia akan terus, bersama FKMTI, melawan eksistensi mafia tanah. “Jika kali ini pengadilan bisa dibeli oleh mafia tanah, akan ada pengadilan rakyat yang akan membela kebenaran dan keadilan, lebih penting lagi akan ada Pengadilan Tuhan” ujarnya. Dia menambahkan, untuk mencegah infiltrasi dan pengaruh mafia tanah dalam persidangan SK Budiharjo kali ini, dia juga telah melakukan pengaduan ke Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, DPR, dan juga sejumlah tokoh dan media. “Serta paling penting, kami berharap dukungan rakyat Indonesia untuk melawan kezaliman mafia tanah,” tandasnya.

Di sisi lain, Dewi beranggapan kasus antara Budiarjo dan Grup Agung Sedayu ini bisa jadi sarat kepentingan politis. Ia tidak menafikan kasus ini sebagai upaya pembungkaman Budiarjo yang dikenal sebagai pihak pembela korban mafia tanah. Alih-alih penegakan hukum dalam konteks memberantas mafia tanah, namun kasus ini bisa berkutat pada pertarungan dua kekuatan yang memiliki modal.

Perjuangan para korban melawan mafia tanah merupakan modal awal pemerintah untuk bersama-sama dengan seluruh kekuatan yang dimiliki menggebuk mafia tanah. Presiden joko Widodo sudah menyerukan perang terbuka terhadap mafia tanah. Namun, di lapangan penanganannya masih lamban, cenderung stagnan.

Perang melawan mafia sesungguhnya, bukan sekedar mengembalikan keadilan kepada korban yang tanahnya diserobot oleh para mafia. Namun, ada kepentingan lebih besar lagi untuk menjaga wibawa pemerintah dan negara di hadapan rakyat dan jga para investor. perang ini untuk mengembalikan wibawa hukum, mengembalikan kepastian hukum dan  hukum sebagai paglima. Bahwa, tidak ada satu kekuatan mafia yang dapat mendikte kewenangan pemerintah.

Saat ini, korban mafia tanah, termasuk sejumlah tanah milik pemerintah/ BUMN tengah dipersengketakan oleh mafia tanah mengadu nasib mencari keadilan. Jutaan hektar lahan di seluruh Indonesia telah dikuasi secara tidak layak dan ilegal. Mestinya menjadi tugas satgas mafia tanah untuk mengambil alih kembali lahan-lahan tersebut untuk kemudian diredistribusi kepada pemilik sah atau kepada rakyat yang memerlukan. Presiden Jokowi harus membuktikan dengan perbuatan dan bukti di lapangan, negara tidak tunduk pada mafia.

 

Ghivary Apriman

Rohman Wibowo

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar