"Katanya sekarang revolusi 4.0, tapi pemerintah malah menciptakan Orba 4.0. Polri saat ini malah mundur 30 tahun," kata Haris Azhar.
"Kaya gitu-gitu (dicari kesalahannya) gak bisa dihindari ya, banyak yang dilaporin, kita pun semua juga berpotensi digituin dicari-cari kesalahan pidana," ujar Haris Azhar.
Penyelesaian kasus dugaan korupsi pembangunan Gereja Kingmi di Mimika, Papua tahun anggaran 2015 dinilai belum berjalan sebagaimana mestinya. Pasalnya, sebelumnya pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan kasus yang menelan anggaran sekitar Rp160 miliar ini masih berada di tahap penyelidikan.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan advokasi rakyat, Haris Azhar menemukan adanya fenomena keterlibatan buzzer dalam persoalan sengketa tanah. Demi kemenangan kata dia, sampai bisa melakukan framing terhadap personifikasi seseorang.
"Dalam konteks digital, ada sekelompok orang atau akun atau tagar campaign justru menyerang masyarakat yang mengkritisi negara. Ada kerumunan di dunia maya yang kerjanya menyerang suara kritis masyarakat," kata Haris.
"Temuan TGPF lebih lengkap karena narasumbernya termasuk anggota Polri (termasuk penyidik) dan anggota TNI, di samping keluarga korban dan tokoh agama, tokoh masyarakat," kata Benny.
"UU ini harusnya dianggap tak ada karena naskahnya membingungkan. Prosesnya dipercepat padahal materi belum siap. Otomatis dia tidak memenuhi syarat proses atau formal atau prosedur membahas UU," imbuhnya.
“Arahnya sudah terlihat, di-MK-an semua. Akan banyak yang uji. Rezim senang dengan MK makin memberikan legitimasi pada OmniBus Law ini. Lalu rezim akan mengatakan sudah diuji dan sudah ada keputusan MK,” katanya.
"Pertanyaan saya, naskah akademisnya mana? Konsultasi publiknya mana? Konsultasi tematik yang sektoral yang terkait profesi-profesi tertentu itu ke mana? Itu yang enggak ada," kritik Haris.
"Kok ini malah kepolisian mengagendakan mengubah seragam. Apa nanti diserahkan ke masyarakat, terus masyarakat patungan lagi untuk tujuan mempolisikan masyarakat," ujar Haris.