Andi W. Syahputra

Selain Gugatan, Pecat Direksi-Dewas Pertamina Menjadi Salah Satu Opsi

Senin, 06/03/2023 12:20 WIB
Sebanyak 14 orang dilaporkan tewas akibat kebakaran hebat Depo Pertamina Plumpang terjadi karena terbakarnya pipa penerimaan BBM di Integrated Terminal BBM Jakarta, Plumpang,, Jakarta Utara, Jumat (3/3/2023). Lebih dari 45 mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk memadamkan api yang saat ini masih terpantau membubung tinggi. Robinsar Nainggolan

Sebanyak 14 orang dilaporkan tewas akibat kebakaran hebat Depo Pertamina Plumpang terjadi karena terbakarnya pipa penerimaan BBM di Integrated Terminal BBM Jakarta, Plumpang,, Jakarta Utara, Jumat (3/3/2023). Lebih dari 45 mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk memadamkan api yang saat ini masih terpantau membubung tinggi. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - “Saya sudah pernah copot Direksi Pertamina. Kalau perlu mencopot, saya lakukan lagi.”

Ungkapan itu disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Tohir saat menwacanakan pencopotan Direksi Pertamina usai insiden kebakaran Depo Pertamina Pelumpang, Jum’at (3/3/2023).

Tim Investigasi Polri masih fokus merampungkan penyelidikan atas insiden kebakaran yang memakan 19 korban jiwa, 49 luka-luka itu (Kompas, 5/3/2023). Sementara laporan sementara hasil investasi Tim Polri itu menyebut sebab insiden kebakaran karena akibat alasan teknis.

Jelas lazimnya setiap kesalahan dengan alasan teknis kerapkali terkandung unsur kelalaian di dalamnya. Mustahil pipa meledak terkena petir apabila alat pengaman petir berfungsi dengan baik.

Standart operational procedure adalah standart kerja yang mesti dipatuhi oleh siapapun dalam melakukan pekerjaan guna menciptakan keselamatan, kesehatan dan kenyaman kerja.

SOP mengharuskan adanya pemeriksaan secara rutin berkala guna memastikan alat bekerja dengan baik. Kebakaran besar yang terjadi bukan saja masuk kategori kerusakan lingkungan pemukiman semata yang diakibatkan unsur kelalaian dari pihak Pertamina.

Kelalaian tersbut mesti punya konsekuensi adanya pertanggung jawaban korporasi yang tak bisa diabaikan begitu saja. Lantas siapa yang pantas dimintakan pertanggung jawaban pidana? Direksi dan Dewan Pengaws adalah pihak yang patut dipersalahkan dan dituntut di muka Pengadilan.

Unsur teknis atau kelalaian yang menjadi sebab terjadinya kebakaran dapat melekat pada organ-organ korporasi mulai dari Dewan Pengawas, Direksi hingga pekerja. Dalam praktik, unsur kesalahan tersebut terkadang muncul dari kerja sama secara sadar atau tidak sadar dari mereka yang terlibat operasional korporasi.

Maka tindakan mereka berupa kelalaian atau kesalahan teknis dapat menimbulkan konsekuensi pidana. Unsur pidananya muncul lantaran mengakibatkan selain kematian 19 jiwa warga dan 49 luka-luka, kerusakan lingkungan dan pemukiman juga kerugian korporasi yang cukup besar.

Oleh sebab itu, warga kawasan pemukiman Plumpang yang terdampak punya legal standing untuk melakukan gugatan pidana maupun perdata kepada Pertamina.

Hal itu perlu dipertimbangkan mengingat Pertamina tetap melekat tanggung jawab sosial maupun pertanggung jawaban pidana korporasi atas kegiatan usahanya terutama operasional di lingkungan kawasan dekat pemukiman padat warga.

Gugatan hukum warga itu guna selain memastikan hak-hak hukum mereka terpenuhi juga sesuai hukum keperdataan yang mengatur tentang ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum.

Artinya, suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu satu pihak atau lebih baik perorangan maupun korporasi yang telah mengakibatkan kerugian pihak lain iakibat atas kelalaian atau kesembronoan (pasal 1365, 1366 BW/KUHPerdata).

Sedangkan gugatan pidana lantaran ketentuan pertanggung jawaban pidana korporasi sudah diatur dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”.

Jadi jelas Ketentuan Pasal 48 KUHP tersebut menegaskan bahwa keddukan korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah diterima.

Maksud pasal 48 itu pertanggung jawaban pidana korporasi dapat dimintakan apabila Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/ atau adanya kelalaian dari korporasi sehingga membiarkan terjadinya tindak pidana.

Van Bemmelen, berpendapat kelalaian dari korporasi, adalah pengetahuan maupun Tindakan bersama dari sebagian besar anggota Direksi dapat dianggap sebagai kesengajaaan dan kelalaian dari korporasi itu.

Jika mungkin sebagai kesalahan ringan atau kesengajaan bersyarat. Selain itu, kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat membentuk kesalahan besar dari korporasi itu sendiri (J.M. Van Bemmelen, 1986) Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Jan Remmelink.

Menurutnya, korporasi akan selalu dikatakan berbuat atau tidak berbuat, melalui atau diwakili oleh perorangan padahal terhadap korporasi, unsur kelalaian dapat diadakan dengan terpenuhinya unsur- unsur delik yang dilakukan oleh sejumlah orang yang berbeda.

Unsur-unsur ini harus memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga dapat digabungkan yang secara keseluruhan akan memenuhi pola tindakan yang digambarkan dalam suatu delik (Jan Remmelink, 2003).

Singkatnya, kesalahan korporasi dapat dijeratl berdasarkan kesengajaan atau kelalaian yang terdapat pada orang-orang yang menjadi pengelolanya. Sudah barang tentu kesalahan tersebut tidak bersifat individual, karena berkaitan dengan suatu badan yang sifatnya kolektif.

Sejatinya prinsip pertanggung jawaban pidana korporasi yang dilekatkan pada Direksi dan Dewan Pengawas akibat kelalaian dalam pengelolaan mesti dipahami karena mencakup 3 (tiga) prinisp dasar, yakni prinsip tanggung jawab sosial, prinsip tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab politik.

Secara keseluruhan Direksi maupun Dewan Pengawas mesti tanggung jawab atas insiden sebagai tanggung jawab kolektif kolegial tanpa butuh pembuktian unsur kesalahan (principle strict lialibility).

Prinsip itu juga melekat pada prinsip tanggung gugat oleh korporasi sebagai wujud pertanggung jawaban terjadinya insiden kebakaran yang mengakibatkan tak hanya kerusakan lingkungan kawasan pemukiman tapi juga memakan korban 19 jiwa meninggal dan 49 luka-luka.

Setidaknya realisasi strict liability mesti dipatuhi karena alasan; pertama, Direksi dan Dewan Pengawas mesti patuh pada pertanggung jawaban pidana maupun perdata korporasi. Kedua, pembuktian kesalahan (mens rea) atas insiden kebakaran tersebut agak sulit.

Ketiga, besarnya kadar bahaya sosial berupa kerusakan pemukiman dan menelan 19 nyawa dan 49 warga luka-luka. Dengan demikian, warga kawasan pemukiman Plumpang yang terdampak punya legal standing untuk melakukan gugatan kepada Pertamina.

Oleh karenanya kita dapat belajar dari kasus Lindenbaum vs Cohen yang kerap digunakan dalam kasus hukum keperdataan. Dalam kasus itu pertanggungjawaban ada akibat adanya perbuatan melanggar (fault) baik karena lalai atau tidak.

Bagaimana pun, Direksi maupun Dewan Pengawas tak bisa menghindar dari jeratan hukum. Logika doktrin Business judgement rule sebagai pembelaan agar Direksi maupun Dewan Pengawas terlindungi dan luput dari jeratan tuntutan hukum dinilai tak berlaku lantaran Direksi maupun Dewan Pengawas dinilai tak punya itikad baik, korporasi dikelola secara tidak baik dan penuh kehati-hatian.

Buktinya, sepanjang Maret sepanjang tahun 2021 hingga Maret 2023 telah terjadi kebakaran hebat pada banyak kilang Pertamina terutama kilang Bqalongan, Cilacap, Balikpapan dan Pelumpang.

Oleh sebab itu, ungkapan Menteri BUMN, Erick Tohir, yang berkeinginan untuk mencopot semua Direksi Pertamina harus disertai pula dengan penggantian Dewan Pengawas dalam satu paket.

Ungkapan itu tentu tak cuma retorika semata tapi mesti dibuktikan sebagai keseriusan dalam penyelesaian dan maupun law of enforcement insiden kebakaran tersebut. Wallahu’alam bi sawab.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar