Dugaan Rekayasa Kasus Klitih dan Citra Polisi yang Makin Buruk (3)

Selasa, 08/11/2022 10:40 WIB
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (aa.com)

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (aa.com)

Jakarta, law-justice.co - Namun pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, mengungkap bahwa kasus yang sebenarnya bisa jadi lebih dari itu.

Rekayasa kasus yang terjadi di Indonesia, menurut Bivitri, sudah "sangat parah" dan "laten".

Dia melanjutkan bahwa rekayasa atau manipulasi kasus adalah "cara yang mudah" bagi kepolisian untuk bekerja.

"Maksud saya melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang tidak punya akses untuk mendapatkan bantuan hukum alias biasanya yang diincar itu orang-orang miskin atau anak-anak," ungkap Bivitri.

"Jadi dianggapnya oleh polisi, `Kita siksa aja biar mereka ngaku`. Mereka tidak perlu ribet melakukan penyidikan dan penyelidikan, bisa langsung diproses. Itu jadi prestasi polisi, mereka dapat kredit bahwa mereka sudah menyelesaikan suatu kasus," jelasnya.

Tak bisa dipungkiri, kata Bivitri, bahwa dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia, pengakuan dari pelaku itu dijadikan alat bukti. Sehingga, banyak penyidik mengambil jalan pintas meminta pengakuan pelaku dengan kekerasan.

Dia melanjutkan, mereka yang biasanya dipaksa mengakui kesalahan yang tak mereka perbuat adalah kelompok warga miskin.

"Dalam beberapa kasus homeless people (gelandangan) yang lagi nongol di pinggir jalan langsung diambil, langsung digebukin, langsung disuruh ngaku," katanya.

"Jadi polanya sama, pasti mencari orang yang tidak mampu dan tidak mendapat bantuan hukum yang cukup sehingga polisi bisa melakukan apa saja," ujar Bivitri Kemudian.

Fenomena rekayasa kasus, bukanlah hal yang baru, kata Bivitri. Pada tahun 1970-an silam, terungkap rekayasa kasus pembunuhan pasangan suami istri yang kemudian memicu dibentuknya mekanisme peninjauan kembali.

Maka dari itu, tegas Bivitri, kepolisian harus betul-betul direformasi

Semestinya, kepolisian berfokus pada fungsinya sebagai penyelidik sehingga mereka tidak menggunakan kekerasan untuk mendapat pengakuan.

Tapi sebaliknya, mereka melakukan penyidikan dan penyelidikan yang profesional.

"Jadi reformasi total ini perlu dilakukan," tegasnya.

Senada, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang kepolisian, Bambang Rukmanto, rekayasa kasus ini tak lepas dari "kultur di kepolisian" dan "pengawasan yang kurang", sementara kewenangan yang diberikan oleh kepolisian sangat besar.

Pengawasan yang kurang, kewenangang yang besar, kata Bambang, akhirnya membuat oknum kepolisian berbuat sewenang-sewenang.

"kemudian ditambah lagi kultur saling menutupi dan seringkali menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi," jelas Bambang.

Sedangkan reformasi kepolisian yang diharapkan membawa dampak yang baik bagi masyarakat, menurutnya, "nyaris tidak ada".

`Tindakan tegas` dan `langkah kongkrit`
Dalam hal salah tangkap, menurut Bivitri kuncinya adalah untuk membuat kepolisian lebih akuntabel dan lebih bisa diawasi.

"Jadi kalau ada kasus seperti ini mereka harus dapat sanksi."

Sayangnya, menurut Bivitri, selama ini tidak ada penindakan bagi anggota polisi yang terbukti melakukan salah tangkap atau rekayasa kasus.

"Pihak polisinya sendiri tidak pernah diusut, siapa yang melakukan penyiksaan. Itu kan harusnya betul-betul dibereskan," tegasnya.

"Misalnya unit mana yang melakukan penyiksaan, harusnya dibongkar, dikasih sanksi, kalau perlu reorganisaso. Pokoknya dituntaskan.


"Itu setahu saja belum pernah terjadi, atau kalau sudah terjadi, belum diumumkan ke publik," jelas Bivitri kemudian.

Akan tetapi tudingan itu ditepis oleh sekretaris staf ahli Kapolri, Irjen (Pur) Aryanto Sutadi.

Dia mengeklaim bahwa Kapolri telah melakukan "tindakan tegas" dan "langkah kongkrit" terhadap anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran.

"Kalau akhir-akhir ini langkah kongkrit yang dilakukan adalah Sambo oknum yang jahat itu, kemudian diproses penyidikan yang paling berat, yaitu tuntutan perencanaan pembunuhan dan kemudian obstruction of justice."

"Termasuk juga orang yang membantu Pak Sambo, itu pun dihukum tegas oleh Pak Kapolri. Semua dipecat walaupun kesalahannya kecil dan kemudian yang lain dikirim ke pengadilan. Itu salah satu bukti nyata," jelas Aryanto.

Sebelumnya, masih menurut Aryanto, Kapolri sudah banyak menindak anggotanya di berbagai daerah di Indonesia yang melakukan pelanggaran, baik etik dan pidana.

"Kurang lebih sudah ada ratusan orang dalam satu tahun ditindak dan dipecat dari polisi, cuma sayangnya selama ini polisi belum mau memberikan data yang transparan setiap dia melakukan tindakan yang tegas, sehingga dianggapnya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh polisi selama ini dibiarkan," bela Aryanto.

Sayangnya, menurut Bambang Rukmato dari ISESS, penindakan itu tidak menimbulkan efek jera.

Rekayasa kasus, menurutnya, masuk dalam unsur pidana, namun seringkali dengan dalih kesalahan prosedur dan kesalahan disiplin, mereka hanya diberikan sanksi ringan atau sedang saja.

"Padahal kalau kita lihat rekayasa sebuah kasus dampaknya sangat besar dan masuk unsur pidana, mereka seharusnya mendapat sanksi berat. Tapi fakta-faktanya kan tidak," cetus Bambang.

Citra polisi `terpuruk`
Lebih jauh, Aryanto menjelaskan citra polisi memang sedang terpuruk karena kasus yang spektakuler yang melibatkan pejabat kepolisian Ferdy Sambo, yang menurutnya, "merembet pada dibukanya semua aib polisi dan kemudian dimanfaatkan oleh kelompok yang tidak suka polisi".

Menanggapi itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengakui bahwa kasus Sambo menjadi "momentum" untuk pengungkapan rekayasa kasus yang lain.

"Publik sekarang jadi berani speak up dan orang yang merasakan ketidakadilan seperti kasus klitih dan kasus sebelumnya baru-baru ini, jadi berani untuk ngomong dan akhirnya terbuka, dan akhirnya mulai turun [citra polisi]."


"Dan buat saya, turunnya tingkat kepercayaan publik ini bagus, dalam arti kita bisa dorong terus untuk melakukan reformasi kepolisian yang lebih total. Jadi bukan hanya soal citra kepolisian, tapi bagaimana mereka bekerja, cara mereka diawasi, dan wewenangnya, supaya mereka lebih baik fungsinya," jelas Bivitri.

Merujuk dua hasil survei baru-baru ini, kepercayaan publik terhadap kepolisian menurun, usai rekayasa kasus yang melibatkan pejabat polisi Freddy Sambo dan Tragedi Kanjuruhan.

Bahkan, citra kepolisian terungkap lebih buruk ketimbang institusi penegak hukum lainnya, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan.


Bambang Rukmato dari ISESS menegaskan untuk memperbaiki citra polisi, perlu dibangun reformasi sistem kontrol dan pengawasan.

Kewenangan yang sangat besar yang diberikan kepada kepolisian, kata Bambang, seharusnya diiringi dengan kontrol dan pengawasan yang baik.

"Tapi problemnya kan kewenangan itu juga meliputi kontrol dan pengawasan juga. Mulai perumusan kebijakan, operasional dan pengawasan, itu kan dilakukan oleh kepolisian sendiri," kata Bambang.

"Makanya kasus-kasus seperti ini terulang lagi."

Dia kemudian melanjutkan bahwa kasus Sambo adalah ,"puncak gunung es" dari problem sistemik di kepolisian.

Selama kepolisian tidak memperbaiki sistem, Bambang meyakini, rekayasa kasus akan terus terjadi.

 

Sumber: BBC

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar