Dugaan Rekayasa Kasus Klitih dan Citra Polisi yang Makin Buruk (1)

Selasa, 08/11/2022 10:00 WIB
Pelaku klitih di Yogyakarta ditangkap (BBC)

Pelaku klitih di Yogyakarta ditangkap (BBC)

DI Yogjakarta, law-justice.co - Tuduhan oknum aparat polisi melakukan rekayasa kasus terus bergulir dan mengakibatkan citra kepolisian semakin "terpuruk", pegiat dan pakar kembali menyerukan reformasi total di tubuh kepolisian. Namun staf ahli Kapolri mengeklaim kepolisian telah melakukan "langkah penindakan yang kongkrit".

Polisi diduga salah menangkap dan melakukan kekerasan terhadap lima terdakwa di Yogyakarta dalam kasus kejahatan jalanan "klitih" yang menyebabkan satu orang meninggal dunia pada April silam.

Kini, mereka menghadapi tuntutan 10-11 tahun penjara. Putusan pengadilan terkait nasib kelima terdakwa itu akan digelar pada Selasa (8/10/2022).

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) mencatat beberapa kejanggalan yang memperkuat dugaan kekerasan dan "rekayasa" kasus yang dilakukan aparat polisi terhadap kelimanya.


Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan rekayasa kasus yang dilakukan pejabat kepolisian Ferdy Sambo baru-baru ini, menjadi momentum makin banyak publik yang mengungkap rekayasa kasus yang dialami mereka, dan di sisi lain, memperburuk kepercayaan publik terhadap penegak hukum.

"Turunnya tingkat kepercayaan publik ini bagus, dalam arti kita bisa dorong terus untuk melakukan reformasi kepolisian yang lebih total. Jadi bukan hanya soal citra kepolisian, tapi bagaimana mereka bekerja, cara mereka diawasi, dan wewenangnya, supaya mereka lebih baik fungsinya," ujar Bivitri dikutip dari BBC News Indonesia, Senin (7/10/2022).

Adapun, staf ahli Kapolri mengeklaim citra polisi saat ini sedang "terpuruk karena kasus yang spektakuler yang merembet pada dibukanya semua aib polisi", namun mengeklaim, Kapolri telah melakukan langkah kongkrit menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran.

`Mata saya dilakban dan dipukul`
Lewat panggilan video dari dalam lembaga permasyarakatan (lapas) Wirogunn di Yogyakarta, seorang remaja mengaku mengalami kekerasan dari oknum polisi di Polsek Sewon, Bantul, yang menangkapnya April silam.

"Itu seminggu setelah kejadian perang sarung. Saya itu ditangkap langsung dibawa ke Polsek Sewon. Saya disuruh mengakui tentang kejadian Perang Sarung, saya langsung mengakui kejadian Perang Sarung itu, kok tiba-tiba mata saya dilakban,"tuturnya. BBC News Indonesia tidak mengungkap identitas demi keselamatannya.

Dia lalu merinci kekerasan yang dia alami kala itu.

"Waktu dilakban itu dipukuli, pak. Itu saya ditangkap sekitar jam 12.30 malam lalu [mata] saya diplester, lalu dipukuli sampai pagi," ungkapnya kepada para hadirin dalam konferensi pers yang digelar di Yogya, Senin (7/11/2022) siang.

Dia kemudian mengeklaim bahwa dirinya "dipaksa mengaku" kesalahan yang tak dia lakukan.

Sementara terdakwa yang lain, mengaku dipukul di bagian dada dan perut. Selain itu, dirinya ditodong penyidik dengan senjata api, agar mengaku sebagai pelaku pembunuhan.

"Terpaksa ngakuin karena udah enggak kuat, sempat mau pingsan saya dipukulin."

Mereka, bersama tiga terdakwa lain, mendapat kekerasan dari para penyidik demi mendapatkan pengakuan terkait kasus pembunuhan di kota itu.

Kasus yang dimaksud adalah pembunuhan di kawasan Gedongkuning, Yogyakarta, pada 3 April 2022 dini hari.

Peristiwa itu menewaskan Daffa Adzin Albasith, remaja laki-laki berusia 18 tahun.

Setelah penyidikan dan persidangan bergulir, lima terdakwa menghadapi tuntutan hukuman penjara selama 10 hingga 11 tahun.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar