Dugaan Rekayasa Kasus Klitih dan Citra Polisi yang Makin Buruk (2)

Selasa, 08/11/2022 10:20 WIB
Pelaku klitih Yogya (Net)

Pelaku klitih Yogya (Net)

Jakarta, law-justice.co - Merujuk pada kronologi versi polisi, kejadian itu bermula dari tawuran antar-kelompok,

Dalam konferensi pers 11 April silam, Polda DIY mengeklaim, awalnya dua kelompok terlibat dalam tawuran "perang sarung". Lima pelaku yang melintas di kawasan lingkar dalam (ringroad) berpapasan dengan kelompok korban yang terdiri dari delapan orang.

Setelah terlibat adu mulut dan saling salip, pelaku mengayunkan gir - bulatan logam pipih yang bergerigi tempat rantai berpaut untuk memutar roda - dan mengenai wajah korban di kawasan Gedongkuning.

Sementara itu, kronologi versi orang tua para terdakwa, empat dari lima remaja memang terlibat dalam "perang sarung".

Namun, setelah tawuran bubar, mereka kemudian mampir di sebuah warung makan, keempatnya lantas pulang ke rumah masing-masing.

Pada 9 April 2022, polisi menjemput kelima pelaku.

Salah satu orang tua remaja itu menyebut putranya dijemput untuk dimintai keterangan terkait "perang sarung" yang terjadi pada 3 April 2022.

Diketahui bahwa ketika menjemput terdakwa, polisi datang tanpa surat rekomendasi, baik dari Polda maupun Polsek.

"Penangkapannya itu enggak pakai surat, langsung ambil aja," ungkap ibu tersebut.

"Tahu-tahu ditangkap, suruh mengakui kalau ikut perang sarung dan ikut mengakui yang terjadi di GedongKuning, padahal anak saya enggak tahu apa-apa."

Sang ibu "yakin 100%" bahwa putranya tak ikut tawuran yang disebut "perang sarung" tersebut.

"Orang motornya saja berbeda dengan yang di CCTV kok," tegasnya.

Orang tua terdakwa yang lain mengaku tak bisa menengok anaknya selama ditahan polisi.

"Saya bisa bertemu dengan anak sesudah sebelas hari [ditahan]. Saya melihat anak saya ibu jarinya itu biru. Saya tanya itu katanya diinjak pakai kursi."

"Sambil ketakutan bilang gitu, penyidik keluar masuk, keluar masuk," ungkap perempuan tersebut.

Alih-alih kembali ke pangkuan, putranya tersebut justru dijadikan tersangka dan kemudian diadili di pengadilan.

Dalam sidang putusan nanti, dia hanya berharap anaknya dibebaskan dari segala tuntutan.

"Harapannya anak saya bebas, karena anak saya tidak bersalah."

Perbedaan bukti dan kronologi
Dalam persidangan sebelumnya, penuntut umum menghadirkan bukti-bukti berupa dua sepeda motor, gir dan talinya, golok, parang, serta rekaman CCTV dari tempat kejadian perkara (TKP).

Namun, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Arsiko Daniwidho Aldebarant mengeklaim kronologi serta bukti-bukti yang ditemukan memiliki perbedaan dengan kronologi yang tercantum dalam surat dakwaan sehingga menimbulkan kejanggalan.

Bukti-Bukti yang memperkuat dugaan salah tangkap, antara lain para terdakwa tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP), bahkan tidak melewati TKP pada saat kejadian perkara.

Selain itu, gir yang dijadikan barang bukti, adalah gir yang sebelumnya disimpan oleh saksi.

Saat gir tersebut ditemukan, dalam keadaan yang kotor oleh oli dan rumah serangga - tidak ada bekas darah. Polisi mengambil tanpa sarung tangan atau alat tertentu.


Ditambah lagi, pengambilan rekaman CCTV dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya dengan cara menyalinnya langsung, bahkan rekaman CCTV di TKP hanya direkam ulang menggunakan ponsel.

Mereka juga bersikukuh bahwa rekaman CCTV tidak dilakukan secara sah menurut Undang-Undang tentang ITE, yang pada intinya, informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keontentikannya, keutuhannya, dan ketersediaannya.

Keganjilan lain adalah menurut mereka, jaksa melakukan analisis terhadap pelaku hanya berdasar pada bentuk tubuh.

Juga, dalam rekaman CCTV yang dihadirkan oleh jaksa, tidak memperlihatkan siapa pelaku sebenarnya, bahkan tidak menjadikan terang perkara ini.

Saksi-saksi yang dihadirkan penuntut umum tidak melihat jelas siapa pelaku, hanya ada satu saksi yang yakin bahwa para terdakwa adalah pelaku.

Ketika dimintai tanggapan, Humas Polda DIY Kombespol Yulianto menjawab bahwa jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat dugaan salah tangkap, "maka prosedur hukumnya adalah mengajukan gugatan ke pengadilan".

"Namanya gugatan praperadilan," jelasnya dalam pesan tertulis.

Lima keganjilan
Adapun, Kepala Staf Divisi Hukum KontraS, Abimanyu Septiadji, mengungkap bahwa pihaknya menemukan lima keganjilan dalam kasus tersebut, salah satunya ketika proses penangkapan hingga pemeriksaaan di kepolisian, seluruh terdakwa tidak diberikan akses bantuan hukum yang memadai.

Padahal, apabila mengacu Pasal 54 KUHP, tersangka atau terdakwa memilikihak untuk mendapat bantuan hukum yang ditunjuk oleh tersangka.

"Kami juga menemukan dalam proses penyidikan dan penyelidikan oleh kepolisian, saksi dan para terdakwa diduga mengalami sejumlah tindakan penyiksaan," ungkap Abimanyu.

"Para terdakwa, mengaku disiksa untuk mengakui perbuatan yang sebetulnya tidak mereka lakukan, yaitu tindak penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang"

Abimanyu menjelaskan ada beberapa "penyiksaan" yang diduga dilakukan oleh anggota kepolisian, antara lain:

  • pemukulan di bagian kepala, pelipis, perut, rahang dan pipi
  • pelemparan asbak, rambut dijambak, ditendang
  • pemukulan menggunakan alat kelamin sapi
  • mata ditutup dengan lakban
  • pembenturan kepala ke tembok
  • penodongan pistol


Tindakan kekerasan dan intimidasi yang dialami para terdakwa tersebut, menurut Abimanyu, dapat dikategorikan tindakan penyiksaan demi "mengejar pengakuan dari tersangka".

Pengakuan inilah yang nantinya digunakan sebagai salah satu alat bukti kejahatan yang dituduhkan.

Selain itu, KontraS juga menemukan bahwa oknum kepolisian tak hanya melakukan kekerasan terhadap para terdakwa, tapi juga kerap diduga melakukan kekerasan terhadap salah satu saksi.

"Saksi tersebut mengaku seluruh keterangan kesaksian dalam berita acara pemeriksaan adalah hasil pengaruh dibawah tekanan penyidik."

"Bahkan dia kerap mengalami tindakan keji seperti pemukulan, dilempar menggunakan aspak, hingga kepalanya dibenturkan ke tembok," ungkap Abimanyu.

Rekaman CCTV yang menjadi petunjuk penyidik, lanjut Abimanyu, tidak secara pasti bahwa benar-benar kelima terdakwa itulah yang melakukan penganiayaan yang berujung kematian.

Keputusan untuk menetapkan kelima remaja sebagai terdakwa, menurut keterangan saksi penyidik di pengadilan, hanya merujuk pada "keputusan tim", namun tidak jelas pertimbangan tim dalam memutuskan para terdakwa adalah pelaku yang sebenarnya.

"Kami menilai keterangan ini penting sebab hal ini semakin menguatkan bukti bahwa sebetulnya kepolisian tidak begitu yakin bahwa para terdakwa merupakan pelaku tindak pidana."

Abimanyu melanjutkan, dalam proses persidangan KontraS menemukan bahwa tidak sedikit keterangan saksi dalam BAP berbeda jauh dengna keterangan yang disampaikan di pengadilan.

Sejumlah saksi menjelaskan kepada majelis hakim bahwa keterangan yang ditulis dalam BAP tidak seluruhnya merupakan keterangan saksi.

Rekayasa kasus bukan kali ini saja terjadi, KontraS mencatat setidaknya ada 27 rekayasa kasus yang dilakukan oknum kepolisian dalam kurun waktu tiga tahun sepanjang 2019-2022.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar