Petani Justru Tambah Miskin Karena Tembakau, Lalu Siapa yang Untung?

Rabu, 05/10/2022 14:20 WIB
Rokok elektrik (law-Justice/Robnsar Nainggolan)

Rokok elektrik (law-Justice/Robnsar Nainggolan)

Jakarta, law-justice.co - Ada fakta mengejutkan, Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Centre Retno Rustjijati mengungkapkan fakta bahwa meskipun sampai saat ini petani masih menanam tembakau, tetapi luas lahan semakin berkurang setiap tahunnya.

”Pengurangan lahan penanaman tembakau tersebut selama sepuluh tahun terakhir ini karena kualitas dan harga tembakau yang naik turun dan cenderung menurun sehingga merugikan petani,” katanya dalam media briefing bertema `Revisi PP 109 Tahun 2012 Mendesak, Regulasi Lama Sudah Ketinggalan Zaman` yang diadakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, dikutip Rabu (5/10/2022)

Penurunan luas lahan penanaman tembakau juga disebabkan pandemic Covid-19. Bupati Temanggung dikatakan Retno, mengimbau agar petani lebih fokus menanam tanaman pangan.” Tahun 2020 luas lahan penanaman tembakau mengalami penurunan sebesar 4.600 hektare dari luas lahan 18.7000 hektare (2019 menjadi 4.100 hektar,” ungkapnya.

Lalu siapa yang diuntungkan? Dikatakan Retno adalah pedagang, tengkulak, grader dan industry rokok.” Petani tak punya untung dengan Bertani tembakau, petani justru dibebani dengan macam-macam pungutan, Setiap keranjang tembakau dipotong 20% oleh tengkulak untuk sampai ke industry rokok, lalu dipotong kembali oleh grader sebanyak 2 Kg yang peruntukannya tak jelas, pajak penjualan tembakau yang dibebankan pada petani, tranportasi penjualan tembakau juga dibebankan ke petani, jadi dari 1 keranjang tembakau yang disetorkan ke pabrik hanya dibayar kurang dari 50%.

Retno juga mengungkap, petani tembakau kerap mengeluh bahwa hasil panen mereka tidak seimbang dengan biaya produksi.” Misal biaya sekali tanam tembakau Rp30 jut, uang yang kembali ke petani hanya Rp10 juta, petani setiap musim tanam jutru berhutang, dan hutang petani jadi menumpuk dari tahun ke tahun,” ujarnya.

Petani tembakau, dikatakan Retno justru tak punya rumah tinggal yang layak apalagi mampu membeli kendaraan bermotor.” Taka da kata sukses bagi petani tembakau mereka hidup dibawah garis kemiskinan," ungkap dia.

Peran pemerintah, dalam hal kesehateraan petani tembakau kurang signifikan.” Misalnya dalam membantu para petani mengatasi persoalan terkait irigasi, teknologi pertanian dan harga jual yang berpihak pada petani bukan pada pengepul, tengkulak dan grader,” tukas Retno.

"Fakta ini, dikatakan Retno, selama ini terkubur karena industri atau kapitalis sangat mendominasi persepsi publik bahwa jika tidak merokok, maka petani akan kehilangan pekerjaannya," lanjutnya.

 

PP 109 Tahun 2012 Harus Direvisi


Komitmen Presiden Jokowi untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak Indonesia, dari bahaya produk rokok konvensional dan elektronik mendapatkan perhatian khusus dari pegiat kesehatan publik dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nasional. Seperti diketahui bersama, belum ada kejelasan status dari revisi PP 109 Tahun 2012 Mengenai Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Jokowi sudah seharusnya melindungi masyarakat, khususnya anak-anak Indonesia, dari bahaya produk rokok konvensional dan elektronik mendapatkan perhatian khusus dari pegiat kesehatan publik dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nasional. Seperti diketahui bersama, belum ada kejelasan status dari revisi PP 109 Tahun 2012 Mengenai Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.


Seperti diketahui bersama, saat ini belum ada kejelasan status dari revisi PP 109 Tahun 2012 Mengenai Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Berdasarkan perkembangan terakhir, praktis belum ada tindak lanjut signifikan setelah pelaksanaan Uji Publik Perubahan PP 109 Tahun 2012 yang diinisiasi oleh Kemenko PMK RI per tanggal 25 Juli 2022 lalu.

Padahal, revisi regulasi tersebut tergolong krusial dalam upaya Pemerintah RI menurunkan angka perokok konvensional dan elektronik anak, mengingat akan mengatur poin-poin, seperti: (1) memperluas peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, (2) pelarangan penjualan rokok eceran, (3) melarang iklan dan promosi rokok, hingga (4) meregulasi rokok elektronik.

Kini pemerintah RI memang tidak hanya berurusan dengan anak-anak kecanduan rokok konvensional, melainkan juga rokok elektronik. Kehadiran rokok elektronik justru dianggap hanya menambah pekerjaan rumah bagi Kabinet Jokowi-Amin. Terlebih akibat ketiadaan regulasi yang mengontrol produk tersebut.

“Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, Prevalensi Perokok Elektronik Usia 10-18 Tahun telah mencapai 10,9 persen. Hal ini membuktikan selain kecanduan rokok konvensional, sekarang anak-anak kita telah kecanduan rokok elektronik. Kondisi yang makin diperparah dengan tidak jelasnya nasib revisi PP 109 Tahun 2012 yang sebetulnya akan mengatur produk rokok elektronik ke depan. Kami memohon kebijaksanaan Presiden Jokowi untuk segera merevisi PP 109 Tahun 2012 demi menyelamatkan nasib anak-anak Indonesia,” tegas Koordinator Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, Ifdal Kasim.

Citra rokok elektronik yang selama ini dianggap sehat dan aman digunakan oleh publik diduga menjadi satu alasan tingginya konsumsi anak-anak Indonesia menggunakan rokok elektronik. Padahal sejatinya rokok elektronik tergolong produk adiktif dan destruktif yang berbahaya bagi kesehatan publik.

“Klaim bahwa rokok elektronik aman dan sehat tentu hoax. Rokok elektronik mengandung nikotin, berpotensi menyebabkan kecanduan bagi penggunanya. Selain itu, rokok elektronik pun mengandung zat karsinogenik penyebab kanker dan partikel iritatif penyebab peradangan saluran nafas dan pembuluh darah. Sama seperti rokok konvensional, dalam jangka panjang, rokok elektronik berpotensi memicu penyakit seperti asma, PPOK, kanker paru, jantung koroner bahkan stroke,” papar Dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).

Kekecewaan atas tertundanya revisi PP 109 Tahun 2012 juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra. Dihubungi secara terpisah, masyarakat sipil bahkan telah siap untuk mengangkat isu pengendalian tembakau ke Komite PBB agar mendapatkan sorotan internasional.

“Kami bersama jaringan pengendalian tembakau nasional akan membawa kondisi perokok anak di Indonesia ke dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB, pada November 2022. Kami berharap komunitas internasional dapat membantu meyakinkan Pemerintah RI, khususnya Presiden Jokowi, untuk melakukan kontrol ketat terhadap produk tembakau dan tembakau alternatif, minimal dengan melakukan amandemen PP 109 Tahun 2012,” ujar Awi.

Dorongan kepada Presiden Jokowi untuk segera merevisi PP 109 Tahun 2012 juga disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Usman mengingatkan kembali target Presiden yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024, yaitu hendak meningkatkan standar pemenuhan hak atas kesehatan nasional dengan menurunkan angka prevalensi perokok pemula (usia 10-18 tahun) dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen per 2024.

“Jokowi pada periode pertama kepresidenannya gagal untuk menurunkan angka perokok anak di Indonesia. Kemungkinan besar, kegagalan serupa akan terjadi jika pemerintah RI tidak segera merevisi PP 109 tahun 2012. Semoga saya keliru. Jangan sampai Presiden Jokowi terkesan meremehkan permasalahan ini. Visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi hampa jika standar perlindungan hak atas kesehatan tidak meningkat dan anak-anak kita kecanduan merokok,” tutup Usman.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar