Perhatian! Ini Tanda-tanda Dunia Bakal Jatuh ke Jurang Resesi

Selasa, 04/10/2022 11:57 WIB
Ilustrasi resesi ekonomi (suara)

Ilustrasi resesi ekonomi (suara)

Jakarta, law-justice.co - Belum lama ini, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani memprediksi ekonomi dunia bakal jatuh ke jurang resesi pada tahun depan.

Kata dia, hal ini lantaran suku suku bunga acuan bank sentral di sejumlah negara semakin tinggi.

Ani, sapaan akrabnya, memastikan kebijakan itu akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, sehingga ancaman resesi semakin sulit dihindari.

"Kenaikan suku bunga cukup ekstrem bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023," tutur Ani dalam konferensi pers, Senin (26/9).

Tidak hanya Sri Mulyani, Bank Dunia (World Bank) juga memproyeksi sejumlah negara resesi pada 2023.

Dalam laporan Global Economic Prospect June 2022 (GEP), Bank Dunia menjelaskan tekanan inflasi yang begitu tinggi di banyak negara tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.

Sejumlah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang diprediksi ikut terseret ke dalam jurang resesi akibat inflasi yang terus meningkat.

Lantas apa saja tanda-tanda negara mengalami resesi?

Berikut penjelasannya seperti melansir cnnindonesia.com:

1. Dolar AS Menguat

Dolar AS berperan besar dalam ekonomi global dan keuangan internasional. Penjelasan sederhananya dapat dilihat dari dampak kebijakan bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed).

Ketika The Fed menaikkan suku bunga acuan seperti yang dilakukan sejak Maret lalu hingga saat ini, maka investor di seluruh dunia akan lebih tertarik pada dolar AS.

Dalam iklim ekonomi apa pun, dolar AS dipandang sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang.

Dalam kondisi yang tak stabil seperti pandemi atau perang, investor bahkan memiliki lebih banyak insentif untuk membeli dolar, biasanya dalam bentuk obligasi pemerintah AS.

Penguatan dolar menjadi keuntungan bagi warga AS yang bepergian ke luar negeri, tetapi membebani hampir semua orang karena nilai tukar mata uang lain anjlok.

Nilai poundsterling Inggris, euro, yuan China, yen Jepang dan lainnya jatuh sehingga membuat negara-negara mengeluarkan biaya yang lebih mahal untuk mengimpor barang-barang penting seperti makanan dan bahan bakar.

Penguatan dolar juga menciptakan efek destabilisasi untuk Wall Street karena banyak dari perusahaan S&P 500 melakukan bisnis di seluruh dunia.

Menurut perkiraan dari Morgan Stanley, setiap kenaikan 1 persen indeks dolar berdampak negatif 0,5 persen pada pendapatan S&P 500.

2. Daya Beli Konsumen AS Turun

Penggerak utama ekonomi AS adalah belanja. Namun, tingkat belanja konsumen mulai menurun setelah kenaikan hampir semua barang selama dari satu tahun. Ditambah lagi, upah tidak ikut naik.

Suku bunga The Fed yang meningkat mendorong tingkat hipotek ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade dan mempersulit bisnis untuk tumbuh.

Sementara itu, konsumen mendapatkan pukulan dari suku bunga pinjaman yang tinggi dan harga yang tinggi, terutama dalam hal kebutuhan seperti makanan dan perumahan.

3. Bisnis Mulai Terguncang

Bisnis telah berkembang pesat di seluruh industri untuk sebagian selama sebagian besar masa pandemi Covid-19.

Sebagian besar bisnis mampu membebankan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen untuk melindungi margin keuntungan.

Namun, keuntungan sangat besar yang diperoleh suatu perusahaan mungkin tidak akan bertahan lama.

Pada pertengahan September lalu, salah satu perusahaan yang kekayaannya menjadi seperti penentu arah ekonomi mengejutkan investor.

FedEx yang beroperasi di lebih dari 200 negara secara tak terduga merevisi prospeknya dan memperingatkan bahwa permintaan melemah serta pendapatan kemungkinan akan turun lebih dari 40 persen.

4. Pasar Saham Turun

Pasar ekuitas berkembang pesat pada 2021 dengan S&P 500 melonjak 27 persen berkat aliran uang tunai yang dipompa oleh The Fed.

Tetapi ketika inflasi terjadi, The Fed mulai menaikkan suku bunga dan melepaskan mekanisme pembelian obligasi yang telah menopang pasar.

S&P 500, ukuran terluas dari Wall Street dan indeks yang bertanggung jawab atas sebagian besar 401(k)s AS turun hampir 24 persen untuk tahun ini.

Tak hanya itu, Ketiga indeks utama AS juga berada di bear market setelah turun setidaknya 20 persen.

Pasar obligasi yang biasanya aman bagi investor ketika saham dan aset lainnya menurun, juga mengalami kemunduran. Kondisi ini juga disebabkan oleh kebijakan The Fed.

Inflasi bersama dengan kenaikan tajam suku bunga oleh bank sentral, telah mendorong harga obligasi turun yang menyebabkan imbal hasil obligasi naik.

Imbal hasil obligasi Eropa juga melonjak karena bank sentral mengikuti jejak The Fed dalam menaikkan suku bunga untuk menopang mata uang mereka sendiri.

5. Kondisi Ekonomi Berbenturan dengan Kebijakan

Negara-negara di dunia dengan berjuang dengan lonjakan harga yang sebagian besar disebabkan oleh covid-19 dan gangguan perdagangan yang diciptakan oleh invasi Rusia ke Ukraina. Ketika Barat memotong impor gas alam Rusia, harga energi melonjak dan pasokan berkurang.

Namun kondisi ini juga kerap berbenturan dengan kebijakan yang ditentukan pemerintah, misalnya Inggris.

Perdana Menteri Liz Truss yang baru dilantik mengumumkan rencana pemotongan pajak besar-besaran yang oleh para ekonom.

Singkatnya, pemerintahan Truss mengatakan akan memangkas pajak untuk semua warga Inggris untuk mendorong pengeluaran dan investasi dan, secara teori, melunakkan pukulan resesi.

Tetapi pemotongan pajak tidak didanai, yang berarti pemerintah harus berhutang untuk membiayainya.

Keputusan itu memicu kepanikan di pasar keuangan. Investor di seluruh dunia berbondong-bondong menjual obligasi Inggris hingga menjatuhkan poundsterling ke level terendah terhadap dolar dalam hampir 230 tahun terakhir.

Warga Inggris yang sudah berada dalam krisis biaya hidup dengan inflasi 10 persen, sekarang panik atas biaya pinjaman yang lebih tinggi yang dapat memaksa jutaan pembayaran hipotek bulanan pemilik rumah naik ratusan atau bahkan ribuan poundsterling.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar