Ronny P. Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Relevansi Subsidi BBM

Rabu, 10/08/2022 13:51 WIB
BBM subsidi (Tempo)

BBM subsidi (Tempo)

Jakarta, law-justice.co - Belakangan sering kita membaca berita tentang keluhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal besarnya subsidi energi yang dikeluarkan pemerintah. Saya menduga curhatan Jokowi tersebut terkait dengan niat pemerintah mengubah harga acuan BBM dalam APBN (ICP) dalam rancangan APBN perubahan.

Namun, pemerintah, DPR, dan Pertamina tidak bisa begitu saja menaikkan harga jual BBM, terutama varian pertalite dan solar subsidi, hanya karena kenaikan harga temporal minyak dunia. Kenaikan harga kontrak bulanan minyak dunia belum bisa dijadikan patokan untuk menetapkan harga tahunan minyak dunia di APBN (Indonesia Crude Price).

Karena itu, pemerintah, DPR, dan Pertamina sebaiknya tidak reaktif atau bahkan mencoba-coba untuk memanfaatkan situasi global dengan melupakan peran konstitusional yang melekat pada BUMN Pertamina.


Beberapa catatan perlu diperhatikan terkait dengan masalah ini. Pertama, harga varian pertalite dan solar subsidi saat ini berpatokan pada harga ICP di APBN, yakni USD 63 per barel. Dengan patokan itu, tentu hasilnya harga jual solar subsidi menjadi Rp 5.000–5.150 per liter sebagaimana harga hari ini. Begitu pula harga existing pertalite. Selama harga ICP di APBN USD 63, pemerintah, DPR, dan Pertamina harus menerima apa pun risikonya.

Apakah kemudian selisihnya harus ditambal dengan penambahan subsidi pemerintah atau harus ditanggung Pertamina, bergantung kesepakatan politik di DPR. Atas nama konstitusi yang memayungi setiap kesepakatan anggaran di APBN, akan menjadi tidak konstitusional jika pemerintah atau Pertamina membebankan selisihnya kepada masyarakat Indonesia, terlepas dari apa pun status ekonomi dan segala embel-embel sosialnya.

Kedua, kenaikan harga saat ini, tampaknya, bukanlah kenaikan permanen. Sebagaimana diketahui, ada faktor fundamental berupa perang Rusia-Ukraina yang melatari kelangkaan suplai minyak dunia.

Tidak ada yang benar-benar bisa memprediksi ke mana arah perang tersebut dan kapan ujungnya. Meskipun sinyal ke arah titik temu belum terlihat, keseimbangan permintaan dan penawaran minyak dunia mulai terbentuk.

Harga patokan minyak Amerika, West Texas Intermediate (WTI), belum lama ini mulai tembus ke bawah USD 100 per barel. Jadi, fluktuasi temporal harga minyak dunia tersebut tidak bisa disandingkan secara kasar dan serampangan dengan patokan harga ICP di APBN. Sebab, harga ICP adalah harga rata-rata untuk satu tahun, yakni akumulasi harga rata-rata selama dua belas bulan dibagi dua belas bulan. Itulah harga ICP APBN.

Ketiga, jika ternyata di bulan September atau Oktober nanti tren pergeseran harga memang ke atas, katakanlah bertahan di atas USD 100 dan diproyeksikan tetap di kisaran tersebut untuk jangka waktu yang lama, tentu pemerintah bisa mengajukan perubahan harga ICP dalam APBN perubahan dan mengakomodasi kepentingan Pertamina, tapi tidak harus menghilangkan subsidi secara total. Yang jelas, pemerintah maupun Pertamina tidak bisa berpatokan pada kenaikan harga temporal di bulan-bulan tertentu saja, tapi pada proyeksi tren dan kecenderungan harga tahunan, karena perhitungannya untuk sebuah negara, bukan untuk sebuah pom bensin yang berbisnis harian.


Keempat, justru di saat seperti inilah sebenarnya peran publik Pertamina sangat dibutuhkan. Toh saat situasi terkendali, harga berada di dalam rentang proyektif APBN, tak ada yang mempermasalahkan berapa besar keuntungan yang diraih Pertamina dari selisih harga domestik dan harga global. Contohnya, saat harga terjun bebas di awal pandemi yang sampai menukik ke kisaran USD 20.

Karena itu, di saat situasi harga tinggi seperti hari ini, pemerintah dan Pertamina semestinya menggunakan logika dan perspektif yang sama di satu sisi dan perspektif Pertamina yang memiliki peran konstitusional sebagai BUMN di sisi lain. Karena peran konstitusional itu, Pertamina tidak bisa semudah itu mengedepankan pertimbangan untung rugi. Ada kepentingan publik di depan kepentingan bisnis.

Dan terakhir adalah soal daya beli. Dua tahun belakangan, supply dan demand berantakan. Konsumen atau masyarakat maupun sebagian besar produsen kelas menengah tertimpa beban pandemi yang luar biasa berat.


Kini bahkan ditambah pula dengan inflasi yang tinggi, terutama pada komoditas pokok seperti minyak goreng, cabai, dan telur. Pemerintah justru harus memutar otak agar daya beli kembali pulih dan kapasitas produksi nasional kembali normal.

Nah, bagaimana jika harga BBM varian pertalite atau solar subsidi justru dinaikkan dengan lompatan harga yang signifikan? Jawabannya sangat jelas, inflasi akan semakin menjulang dan perekonomian nasional akan kembali terancam terperosok ke zona merah.

Konsumen industri untuk solar akan kelimpungan, boleh jadi berujung pada pengurangan tenaga kerja. Dan, kelas menengah pengguna pertamax untuk mobil semimewah hasil kreditan akan mengurangi konsumsi. Pendeknya, perekonomian nasional akan mendapat tambahan beban.

Ini jelas bukan risiko yang kecil bagi Indonesia yang notabene sedang berjuang memulihkan roda perekonomian nasional. Dan, lebih dari itu, pemerintah tak bisa begitu saja berpandangan negatif atas besaran subsidi hari ini.

Justru bagi rakyat kebanyakan, dalam keadaan serbasulit seperti hari ini, subsidi adalah bentuk kehadiran negara di tengah masyarakat. Jadi aneh jika pemerintah alergi pada subsidi di saat rakyat membutuhkannya. 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar