Ini Sebab Kenapa Taiwan Ngotot `Lepas` dari China

Kamis, 04/08/2022 10:20 WIB
Nancy Pelosi saat berkunjung ke Taiwan (Reuters)

Nancy Pelosi saat berkunjung ke Taiwan (Reuters)

Jakarta, law-justice.co - Akhir-akhir ini, Taiwan menjadi sorotan setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat, Nancy Pelosi berkunjung ke pulau itu pada Selasa (2/8).

Kunjungi Pelosi ke Taiwan memantik murka China. Beijing menganggap tindakan itu sebagai pelanggaran atas kedaulatan dan integritas teritorial China.

Tak hanya itu, China melakukan sejumlah tindakan merespons kunjungan Pelosi, yakni dengan mengirimkan pesawat tempur di Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan, pun melangsungkan latihan militer di dekat pulau itu.

Lalu, apa yang menyebabkan Taiwan ngotot menyatakan masih pisah dari China?

Seperti melansir cnnindodnesia.com, Taiwan menjadi bagian dari China sejak abad ketujuh, seperti dikutip dari Britannica. Namun, Taiwan sempat menjadi bagian dari wilayah Jepang setelah Perang Sino-Jepang pada 1895.

Meski begitu, kekalahan Jepang di Perang Dunia II membuat Taiwan kembali menjadi bagian dari wilayah China.

Pusat Strategis dan Studi Internasional (CSIS) melaporkan bahwa pada 1 Desember 1943, pemimpin China, Amerika Serikat, dan Inggris menandatangani `Deklarasi Kairo.` Dalam deklarasi itu, ketiga pihak menyepakati bahwa "seluruh wilayah yang diambil Jepang dari China, seperti Manchuria, Taiwan, dan Kepulauan Penghu, harus dikembalikan ke China."

Sementara itu, dua partai politik utama tengah memperebutkan kekuasaan China kala itu, yakni Partai Nasionalis (KMT) dan Partai Komunis China (PKC).

KMT sendiri merupakan warisan dari Dinasti Qing, sementara PKC didirikan pada 1921 dan membawa agenda revolusi komunis China.

Keduanya sempat damai pada 1928, kala mereka berupaya menyatukan China. Namun, pertarungan antara KMT dan CCP terus berlangsung hingga Perang Dunia II.

Amerika Serikat, yang mendukung KMT, mencoba menengahi konflik KMT dan CCP pada 1945. Namun, KMT dan CCP seringkali berkonflik dan melakukan pelanggaran gencatan senjata, membuat AS mengabaikan upaya perdamaian keduanya pada 1947 dan menarik pasukan mereka dari China untuk mendukung KMT.

Perang antara KMT dan CCP terus terjadi sampai pada 1 Oktober 1949, pemimpin CCP Mao Zedong mengumumkan pembentukan Republik Rakyat China (RRC) di Beijing.

Sementara itu, generalissimo dari KMT, Chiang Kai-Shek, mundur dari Beijing dan mengungsi ke Taiwan. Ia membawa dua juta pasukan KMT dan pendukung partai itu.

Militer KMT kemudian mendeklarasikan Taipei sebagai ibu kota Republik China (ROC).

Sejak 1949 sampai Perang Dingin, Taiwan mendapatkan pengakuan internasional sebagai ROC, terlebih kala itu AS meluncurkan kampanye anti-komunis.

Namun pada 1971, RRC mendapatkan cukup suara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membubarkan Taiwan sebagai ROC, pun mengakui RRC sebagai perwakilan China di PBB.

Pada 1979, AS kemudian memutuskan mendukung kebijakan Satu China dan mengubah pengakuan diplomatik dari Taipei ke Beijing. Meski begitu, AS menerapkan Undang-Undang Hubungan Taiwan pada tahun yang sama.

Sebagaimana diberitakan Reuters, dalam aturan tersebut, keputusan AS menjalin hubungan diplomatik dengan Beijing tak lepas dari harapan bahwa masa depan Taiwan bakal diselesaikan dengan cara damai.

Aturan itu juga mengharuskan Washington untuk membantu Taiwan membela diri seandainya China menginvasi pulau itu.

Hubungan antara Taiwan dan China sempat membaik pada 1990-an, tetapi kembali bermasalah setelah Chen Shui-bian terpilih menjadi presiden Taiwan pada 2002.

Chen Shui-bian sendiri mendukung kedaulatan Taiwan dan pengakuan kemerdekaan Taiwan secara formal. Chen sendiri merupakan tokoh Partai Progresif Demokratis (DPP).

Sementara itu, DPP dan KMT memiliki pandangan yang berbeda dengan masa depan Taiwan. Kala DPP mendukung Taiwan merdeka, presiden yang didukung KMT, Ma Ying-jeou, menginginkan hubungan yang lebih dekat dengan China.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar