Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)

Saat Kredibilitas Presiden Jokowi Dipertaruhkan

Minggu, 31/07/2022 19:53 WIB
Salamudin Daeng

Salamudin Daeng

Jakarta, law-justice.co - Kebijakan Subsidi memang tidak bisa dicabut oleh pemerintah, karena hal tersebut telah diatur Konstitusi Negara Republik Indonesia dan juga undang undang. Tapi pemerintah masih bisa mengurangi kompensasi atas selisih harga yang harus digantikan kepada pertanina dan PLN. Saat ini subsidi relatif kecil tetapi kompensasi sangatlah besar terutama untuk solar, LPG, pertalite dan juga listrik. 

Selain itu karena alasan stabilitas ekonomi dan politik lebih diutamakan oleh Presiden Jokowi ketimbang beban keuangan pemerintah yang kian berat dan menumpuk, maka untuk tetap bisa memberikan subsidi dan kompensasi Pemerintah Jokowi akan tetap sanggup dengan syarat sebagai berikut :

Pertama, Pemerintah mengubah semua sistem politik dan regulasi yang terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) agar hasil eksploitasi SDA minimal 75 persen untuk negara. Tambang, sawit, mineral lainnya, hasilnya harus dikelola secara jujur terbuka, sehingga bagian negara menjadi besar.

Dua, Pemerintah mencari uang yang banyak melalui utang, syaratnya pemerintah dipercaya investor. Masalah utang ke depan makin berat dibayar. Pemerintah harus pandai pandai dengan investor dengan menawarkan bunga atau imbal hasil setinggi tingginya. Hanya sekarang ini di tengah kenaikan suku bunga global, cari uang makin sulit. Gak tau pak Jokowi mungkin akan mudah. 

Ketiga, Pemerintah mencari uang yang banyak melalui pajak. Setiap gerak ekonomi penduduk dapat dipajaki besar. Namun syaratnya industri harus tumbuh pesat, pekerjaan formal harus banyak, daya beli masyakat harus naik besar. Barulah pemerintah bisa dapat uang pajak yang banyak. Tapi kalau ekonomi lesu dan masyarakat sebagian besar masih pendapatan pas pasan, tidak bisa mengandalkan pajak. Ini seperti memburu rumput di padang pasir yang gersang. 

 

Dikarenakan subsidi dan kompensasi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) sekarang amatlah besar. Sementara pemerintah takut untuk menguranginya karena alasan takut keributan maka pemerintah masih bisa menertibkan penggunaan BBM subsidi. Proses menertibkan dapat dilakukan melalui sistem pendataan yang benar, yang akurat dan bertanggung jawab. Mengapa? 

Pertama, kuat dugaan penyelewengan besar besaran dalam penggunaan BBM subsidi terutama solar subsidi. Mulai dari pencurian solar, ekspor solar ilegal, penjualan solar subsidi ke industri. Dll. Demikian juga penyelewengan subsidi BBM yang lain. 

Dua, dugaan BBM subsidi  digunakan oleh kegiatan komersial yang gak ada kaitanya dengan tujuan subsidi itu sendiri. Pengguna BBM sebagian besar bukan 100 juta penduduk berpendapatan  terbawah atau 9 persen penduduk miskin Indonesia. Akan tetapi subsidi BBM sebagian besar memang dikonsumsi oleh 15 jutaan pemilik kendaraan roda empat. 

Kemudian, dugaan bahwa bisnis BBM yang ilegal sudah tidak terkendali lagi, merusak dan menimbulkan kerugian negara yang besar. Aparat penegak hukum hingga saat ini belum sanggup melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan ilegal di sektor BBM dan LPG juga listrik. 

Langkah awal untuk mengatasi jebolnya BBM subsidi sebetulnya adalah melalui pendataan yang benar, termasuk bisa dilakukan melalui Mypertamina platform pendataan milik Pertamina. Setelah data rapi maka mulai ambil langkah kebijakan yang tepat. Memastikan bahwa subsidi itu benar benar sesuai peruntukan. Namun entah bagaimana program ini kurang didukung. Ada kesan hendak digagalkan oleh kelompok oligarki tertentu. 

Sementara untuk subsidi dan kompensasi listrik sebetulnya tak harus sebesar itu. Jika dilakukan langkah yang benar dengan melihat beban biaya listrik PLN terbesar datang dari biaya bahan bakar gas dan batubara, maka ini harus ada usaha mengurangi keduanya, tentu saja dengan dukungan kebijakan pemerintah; 

Beban terbesar kedua adalah pada pembelian listrik kepada pihak swasta. Ini bisa direngosiasi. Mengingat PLN sekarang sudah over capacity, listrik yang dihasilkan over supply alias berlebih. Sementara PLN tetap harus bayar pada swasta; 

Beban utang dan bunga kepada bank, ini juga bisa direngosiasi. Mengingat banyak utang PLN untuk bangun pembangkit yang ternyata  pembangkit tersebut tak sepenuhnya menguntungkan. Bank harus ikut urun rembuk atas masalah ini. Untuk listrik masih perlu menekan biaya di PLN melalui langkah yang benar dan dukungan pemeirntah. Karena 2/3 biaya di PLN bersumber atau terjadi karena regulasi pemerintah.

Tapi kalau semua itu tidak bisa dilakukan oleh pemeirntah Jokowi maka pemerintah tetap harus cari uang yang banyak terutama sekarang ini. Kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuan mencari uang. Kalau sudah gak bisa cari uang, maka harga diri akan jatuh. Sudah lazim di negara ini kalau jadi ketua dari suatu gerombolan,  kelompok, partai, bahkan pemerintah sekalipun, memang harus jago cari uang. Kalau gak jago itu muke mau taruh dimane?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar