Satgas Pangan : Curang Distribusi Pupuk Biang Lonjakan Harga Beras

Senin, 01/04/2024 14:11 WIB
Ilustrasi: Petani menggunakan pupuk subsidi dari PT Pupuk Indonesia. (Republika)

Ilustrasi: Petani menggunakan pupuk subsidi dari PT Pupuk Indonesia. (Republika)

Jakarta, law-justice.co - Satgas Pangan Polri membongkar biang kerok yang menjadi pemicu lonjakan harga beras belakangan ini. Biang kerok itu adalah kecurangan dalam distribusi pupuk dan bahan bakar minyak (BBM) subsidi.

Kecurangan itu memicu lonjakan biaya produksi beras. Wakil Kepala Satgas Pangan Polri Brigjen Pol. Helfi Assegaf mengatakan dalam lima tahun terakhir ada 47 perkara terkait penyelewengan distribusi pupuk subsidi yang menyebabkan kelangkaan di beberapa daerah.

"Di 2024 saja ada tujuh perkara. Ada di Babel (Bangka Belitung), Kalbar (Kalimantan Barat), Sumut (Sumatera Utara), dan beberapa daerah lain," katanya dalam Apel Siaga Pengamanan Pasokan dan Harga Pangan Jelang Idulfitri di Jakarta, Senin 1 April 2024.

Ia menjelaskan distribusi pupuk sangat berpengaruh pada produksi beras. Saat penerima distribusi pupuk subsidi tidak sesuai dengan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dan pupuk disalurkannya saat sudah musim tanam, maka petani akan membeli pupuk non-subsidi yang lebih mahal.

Akibatnya biaya produksi meningkat dan harga beras menjadi mahal.

"Imbasnya dibebankan kepada konsumen," katanya.

Tak hanya pupuk subsidi, ia mengatakan juga terjadi penyimpangan distribusi BBM subsidi yang menyebabkan kelangkaan. BBM subsidi yang harusnya masuk ke SPBU untuk kendaraan pengangkut hasil pertanian, justru masuk ke pertambangan.

Akhirnya petani menanggung biaya transportasi yang lebih tinggi.

"Akhirnya ini dibebankan juga ke konsumen. Jadi banyak elemen yang mempengaruhi kenaikan harga di petani," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan pemerintah tengah mengkaji revisi harga pembelian pemerintah (HPP) gabah.

Lebih lanjut Arief mengatakan pemerintah harus menjaga harga di tingkat petani maupun konsumen. Harga di petani katanya harus disesuaikan dengan agroinput dan margin yang cukup sehingga petani mau meningkatkan produksi. Namun, harga di hilir atau konsumen juga tetap harus dijaga.

"Jangan sampai di petani tinggi sekali misalnya GKP kemarin sampai Rp9.000, harga berasnya Rp20 ribu, kasihan yang di hilir. Kebalikannya pada saat ini harga beras yang cenderung turun jangan sampai di bawah Rp5.000 GKP-nya," ungkapnya dilansir dari CNN Indonesia.

Arief mengatakan pemerintah tidak bisa menyenangkan semua pihak. Namun pemerintah berusaha menyeimbangkan harga di hulu, tengah, dan hilir.

"Izinkan kami review supaya harga ini juga jangan terlalu jatuh di tingkat petani tetapi di hilirnya harga yang masih bisa diterima masyarakat," jelasnya.

Pemerintah menetapkan HPP lewat Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 6 Tahun 2023 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras. Dalam aturan itu, HPP untuk gabah kering panen (GKP) ditetapkan Rp5.000 per kg di tingkat petani dan di tingkat penggilingan Rp5.100 per kg.

Lalu harga gabah kering giling (GKG) ditetapkan Rp6.200 per kg di tingkat penggilingan dan di gudang Perum Bulog Rp6.300 per kg.***

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar