Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Ambang Batas Pencalonan Presiden & Pemilu 2024 yang Diambang Bahaya

Kamis, 30/06/2022 05:40 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Hari-hari terakhir ini kita masih menyaksikan sejumlah elit partai yang wira wiri kesana kemari saling sapa dan saling silaturahmi untuk membentuk sebuah koalisi. Diawali dengan terbentuknya koalisi Indonesia Bersatu, menyusul koalisi semut merah, lalu koalisi Indonesia raya, entah koalisi apalagi yang bakal terjadi.

Para elit partai itu terus bermanuver untuk membentuk koalisi karena suara partai sendiri (kecuali PDIP) tidak mencukupi untuk memenuhi syarat agar bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden pada gelaran pemilu serentak nanti.

Elite partai itu merasa perlu untuk bergerak sejak dini supaya perahu atau tiket pilpres yang dimiliki memiliki nilai jual yang tinggi. Karena kalau ketinggalan membentuk koalisi dan hanya menjadi pengekor partai lain, nilainya akan jatuh tak berharga lagi.

Kesibukan para elit partai dalam membentuk koalisi terjadi karena adanya ketentuan ambang batas 20 persen suara untuk pencalonan presiden dan wakil presiden RI. Ketentuan ambang batas (presidentaial threshold) ini telah memicu kegaduhan karena sarat kontroversi sehingga berkali kali digugat di Mahkamah Konstitusi.

Seperti apa gambaran pro kontra yang terjadi di masyarakat menyikapi persoalan ini ?, Mengapa gugatan ambang batas 20 persen itu selalu digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi ? . Potensi bahaya seperti apa yang kemungkinan bakal terjadi pada pemilu serentak 2024 jika ketentuan ambang batas itu tetap dilegalkan oleh Mahkamah Konstitusi ?

Menuai Pro -Kontra

Presidential threshold adalah ambang batas pencalonan presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) oleh partai politik di Indonesia. Presidential threshold pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta diterapkan dalam Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014 serta pemilu pemilu selanjutnya.

Pada awalnya, Pilpres dengan Presidential Threshold di tahun 2004, 2009 dan 2014 tidak menimbulkan masalah dan tidak menuai kritik keras, sebab pada masa itu sebelum pelaksanaan Pilpres, terlebih dahulu dilaksanakan pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD. Artinya, setiap partai politik, sudah terlebih dahulu mengantongi suara dari pemilu legislatif, yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum Pilpres dilaksanakan, dan perolehan suara tersebut, menjadi tiket untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi jagoannya.

Tetapi soal ambang batas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu kemudian menjadi masalah ketika pemilu legislatif dan eksekutif dilaksanakan pada satu waktu, di jam, hari, bulan, tahun, yang sama. Dengan adanya pemilu serentak ini yang menjadi pertanyaan  dari mana partai tersebut mengantongi suara untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi pilihannya ?. Kiranya inilah yang terjadi di pemilu tahun 2019 yang lalu , dengan adanya pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia.

Masalah kembali muncul ketika pemilu 2024 akan digelar secara serentak sama dengan pelaksanaan pemilu sebelumnya. Artinya  disini tetap mempertahankan Presidential Threshold seperti pemilu sebelumnya.

Pada akhirnya penetapan ambang batas tersebut memunculkan pro dan kontra di masyarakat kita. Mereka yang menyepakati adanya ambang batas 20 persen beralasan demi efektifitas dan stabilitas pemerintahan yang terbentuk nantinya.

Karena sebagaimana diketahui, Sistem presidensial memungkinkan presiden untuk membentuk pemerintahan tanpa melibatkan partai-partai di legislatif yang saat ini menjadi mitra kernya. Namun keadaan ini dapat berakibat pada buruknya hubungan eksekutif-legislatif yang bisa berujung pada kebuntuan atau deadlock dalam penyelenggaraan negara. Untuk mengatasi hal ini makanya dibuat ambang batas pencalonan presiden guna menjamin dukungan kepada presiden di parlemen tetap terjaga sehingga mencegah terjadinya kebuntuan dalam menjalankan pemerintahan yang terbentuk nantinya.

Sebagai gambaran, pengalaman buruk pernah terjadi pada pemilu tahun 2004 yang lalu ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa. Dimana saat itu pemerintahan yang terbentuk mempunyai  hubungan yang tidak harmonis dengan Parlemen yang berlanjut pada masa pemerintahan berikutnya.

Kala itu, tiket untuk kursi presiden dan wakil presiden diperebutkan oleh lima pasangan yang bersaing mencari simpati massa. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) berhasil melenggang ke Istana dengan sokongan tiga parpol kecil, yaitu Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Walaupun keduanya berhasil meraup 60,62 persen suara nasional atas pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, parpol pengusung SBY-JK tak memiliki taji di DPR sehingga kebijakan kebijakan SBY terganjal karenanya.Ada dinamika yang tidak baik dengan parlemen, karena SBY hanya didukung tiga Parpol  sehingga Parlemen tidak bisa di kuasainya.

Hal tersebut telah membuat pemerintahan SBY-JK limbung dan sering terjadi deadlock antara Presiden dan DPR dalam pengambilan kebijakan negara. Bermula dari peristiwa ini maka presidential threshold mulai dinaikan persentase suaranya. Dimana angka 20 persen dianggap ideal oleh mereka.

Karena itu pengusung ambang batas 20 persen tetap menginginkan ketentuan itu terus diberlakukan dan tidak ingin dihapuskan karena menurutnya penghapusan presidential threshold  dikuatirkan akan membuat pemerintah tidak stabil karena “gangguan -gangguan” dari wakil rakyat yang beroposisi dengan pemerintah yang sedang berkuasa.

Selain itu penghapusan ambang batas 20 persen dikuatirkan akan  akan semakin memperkuat politik identitas yang saat ini dinilai merajalela. Sebab dalam hal ini, partai bisa saja mengusung calon presiden dan/atau wakil presiden hanya dengan bermodalkan identitas atau popularitas semata.

Lagi pula kalau penghapusan presidential threshold ini dilakukan maka akan ada ketiadaan batasan calon presiden dalam pemilu sehingga bisa menyulitkan dalam pelaksanannya. Alasan demikian antara lain dikemukakan oleh Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu Bambang Wuryanto :"Kalau itu (ambang batas) nol persen, siapa pun bisa mencalonkan presiden. Kalau semua bisa mencalonkan presiden betapa gaduhnya republik ini, itu satu. Iya toh. Wong sampeyan bisa mencalonkan presiden kok, maka (usulan 0%) itu [bisa bikin] gaduh," tutur Bambang seperti dikutip SINDOnews, Jumat (12/6/2020).

Penghapusan ambang batas, jika dilihat dari satu sisi, memang dapat meningkatkkan partisipasi politik masyarakat dengan banyaknya calon presiden yang menjadi pilihan warga bangsa. Namun, apabila ditelaah lebih lanjut, ketika calon presiden yang diusung dari beberapa partai tidak lolos pada putaran pertama, maka partisipasi pemilih partai tersebut tentu akan berkurang pada putaran kedua.

Dalam hal ini pemilu menjadi tidak efektif karena presiden yang terpilih tidak dapat merepresentasikan calon presiden pilihan rakyat, sehingga hal ini juga bukan merupakan dalih yang kuat untuk menghapuskan ambang batas pencalonan presiden sebagaimana tuntutan mereka mereka yang menggugat ambang batas ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain yang pro ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden, sejauh ini banyak juga yang menolaknya. Mereka yang menolak ambang batas itu menyampaikan argumentasinya diantaranya :

Pertama, Dianggap Menyalahi UUD 1945 tentang Sistem Presidensil yang berlaku di Indonesia. Dalam skema sistem Presidensiil, lembaga Presiden dan DPR merupakan dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi politik yang berbeda dimana antara lembaga eksekutif dan legislatif tidak saling bergantung satu sama yang lainnya. Oleh karena itu tidak seharusnya pencalonan Presiden ditentukan oleh formasi politik parlemen nasional hasil Pemilu Legislatif sebelumnya. Apalagi secara mandat, dari Presiden dan DPR tidaklah sama sehingga tidak mungkin menggabungkan keduanya.

Kedua, Bertentangan Dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dinilai bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.

Artinya setiap partai politik harusnya dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, termasuk partai politik yang baru mengikuti Pemilu tanpa ada kecualinya. Dengan adanya ketentuan Presidential Threshold, tentu membatasi hak masing masing partai untuk mengusulkan calon Presiden, atau terpaksa partai politik baru ikut mendukung pasangan capres dan cawapres yang tersedia tanpa memiliki kekuatan politik untuk menyampaikan kehendak atau aspirasi akibat posisi yang tidak berdaya.

Ke tiga, Menyalahi Hak Warga Negara dalam UUD 1945.  Partisipasi politik warga negara melalui partai politik adalah pertanggungjawaban hak asasi setiap warga Negara, yaitu Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, merupakan pelanggaran terhadap hak-hak warga negara yang tidak seharusnya ada dalam negara demokrasi seperti Indonesia.

Selain ketiga alasan diatas, mereka yang kontra ambang batas seperti di ungkapkan oleh AA LaNyalla Mattaliti Ketua Dewan Pimpinan Daerah Republik Indonesia. Menurutnya ambang batas itu bisa menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi untuk membiayai calon presiden yang akan di usungnya. Karena calon presiden harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membayar ‘mahar’ terhadap gabungan partai-partai tersebut dan itu bisa kelompok oligarki yang mengendalikannya.Lalu Oligarki Ekonomi bisa dengan mudah mengendalikan kebijakan negara melalui Presiden yang berhutang budi kepadanya.

Selain itu Presidential Threshold akan membelenggu partai politik sehingga tidak bisa mencalonkan kader-kader terbaiknya. Karena terpaksa harus bergabung dengan Partai Politik lain, meskipun secara platform perjuangan partai sangat berbeda.

Presidential Threshold juga menghasilkan bagi-bagi kursi maupun jabatan lain untuk parpol koalisi yang terpaksa bergabung dan tidak bisa mengusung kadernya. "Lebih krusial lagi koalisi Partai Politik yang besar ini membuat mekanisme check and balances legislatif terhadap Eksekutif menjadi tidak berdaya. Yang terjadi kemudian DPR RI menjadi stempel kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa," lanjutnya.

Berkali kali Digugat Ke MK

Mereka yang tidak puas dengan adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden 20 persen akhirnya banyak yang melayangkan gugatan ke MK. Menjelang Pilpres 2019 lalu, ketentuan tentang presidential threshold pernah ramai-ramai digugat ke MK.

Cukup banyak orang yang menjadi pemohon dalam gugatan tersebut diantaranya mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, Akademisi Faisal Basri, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay.Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Akademisi Rocky Gerung, Akademisi Robertus Robet, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Sutradara Film Angga Dwimas Sasongko.

Selain itu, ada Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, ekonom senior Rizal Ramli, Profesional Hasan Yahya dan yang lain lainnya.

Ada juga sejumlah perorangan warga negara, di antaranya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Tak ketinggalan anggota DPD RI Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, dan Fahira Idris dan yang lain lainnya.

Semua gugatan yang diajukan oleh para pemohon tersebut di tolak oleh MK. Macam macam alasan yang dikemukakan untuk penolakannya. Sebagai contoh ketika menolak gugatan Busyro dkk, MK menilai gugatan Busro dkk dinilai tidak beralasan menurut ketentuan yang ada. Selain itu, hakim juga tidak sependapat dengan argumentasi pemohon yang menilai bahwa ambang batas pencalonan berpotensi menghadirkan paslon tunggal nantinya.

Sementara itu ketika menolak gugatan Rizal Ramli, MK beralasan karena yang bersangkutan dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonannya.  Alasan yang sama juga disampaikan MK untuk menolak permohonan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, sehingga mahkamah tidak dapat menerima permohonannya. Mahkamah menegaskan, yang bisa menguji aturan tersebut adalah partai politik atau gabungan partai politik bukan yang lainnya. Selain itu juga individu yang dapat membuktikan diri dicalonkan sebagai capres-cawapres atau individu bersama dengan partai politik yang menjadi pengusungnya

"Amar putusan. Mengadili menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (24/2/2022). Namun, empat hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat yang berbeda).Mereka adalah Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Saldi Isra.

Hakim konstitusi Manahan MP Sitompul dan Enny Nurbaningsih berpendapat, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan presidential threshold. Namun, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan harus dinyatakan tidak bisa diterima.

Menurut Manahan, sesuai putusan Mahkamah sebelumnya, ketentuan presidential threshold bertujuan untuk mendapatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan legitimasi yang kuat dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya. Selain itu, ketentuan tersebut juga dalam rangka mewujudkan sistem presidensial yang efektif berbasis dukungan dari DPR sehingga pemerintah efektif melaksanakan agendanya.

Mahkamah juga telah menyatakan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy, sehingga merupakan ranah pembentuk undang-undang untuk menentukan dan/atau akan mengubah besaran persyaratannya. "Karena itu, mendasarkan syarat perolehan suara (kursi) partai politik di DPR dengan persentase tertentu untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 adalah konstitusional," ucapnya.

Adapun hakim konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat pemohon memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan beralasan menurut ketentuan yang ada. Suhartoyo dan Saldi Isra menyatakan, permohonan pemohon mestinya dikabulkan MK.

Seakan akan tidak kapok dengan adanya penolakan MK, gugatan ambang batas pencalonan presiden yang 20 persen itu digugat kembali ke MK. Kali ini yang mengajukan gugatan adalah Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD La Nyalla. Gugatan uji materi dilayangkan pada 25 Maret 2022 .Yusril dan La Nyalla menggugat agar syarat presidential threshold dalam Pilpres dihapuskan alias 0 persen. Gugatan itu bernomor 41/PUU/PAN.MK/AP3/03/2022.

Dalam kaitan tersebut Pemohon berargumentasi bahwa syarat presidential threshold bertentangan dengan sejumlah pasal UU Pemilu khususnya pasal 222.“Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,”.

Hingga saat ini gugatan tersebut belum diputuskan oleh MK. Barangkali tidak ingin hasil gugatannya sia sia seperti penggugat penggugat sebelumnya, pihak penggugat dalam hal ini Ketua DPD La Nyalla Mattaliti sudah menebar “ancaman” lewat pernyataan pernyataannya. Menurutnya, diberlakukannya Presidential Threshold menjadi akar masalah bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu MK harusnya mampu menjaga Konstitusi negara .

“Kekuasaan yang sangat besar kepada partai politik membuat kedaulatan rakyat semakin tak berdaya. Dan ini menjadi pintu masuk oligarki ekonomi yang kemudian mengendalikan kekuasaan sehingga menimbulkan ketidakadilan, dan kemiskinan struktural di Indonesia. Maka dari itu, MK harus menjalankan tugasnya dengan benar untuk menjaga konstitusi,” kata LaNyalla saat menyampaikan Keynote Speech di Focus Group Discussion Universitas Andalas (Unand) Padang, Jumat (17/6/2022).

Pernyataan La Nyalla didukung oleh sejumlah aktivis yang tergabung dalam Komite Peduli Indonesia (KPI), mendukung DPD RI yang secara kelembagaan mengajukan uji materi (judicial review) Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan Presiden ke MK.Dengan tegas, KPI mengatakan MK akan melecehkan lembaga negara dan rakyat  jika menolak gugatan DPD Republik Indonesia.Hal itu disampaikan KPI saat beraudiensi dengan Ketua DPD RI di Ruang  Delegasi, Lantai VIII Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/6/2022).

Tak cuma sampai disitu saja, La Nyalla juga sempat memunculkan wacana people power apabila MK menolak gugatannya.Narasi ini diungkapkan LaNyalla saat Dialog Nasional Peringatan 25 Tahun Mega-Bintang bertema Kedaulatan Rakyat versus Oligarki dan KKN, di Solo, Jawa Tengah, Minggu (5/6/22).LaNyalla mengatakan jika MK menolak, kemudian rakyat ingin people power, maka dirinya tidak berhak menghalanginya.

Apakah dengan adanya “tebar ancaman”tersebut akan membuat MK berpikir ulang untuk tidak mengabulkan permohonan La Nyalla dkk ?. Publik tentu masih harap harap cemas menunggu keputusan MK ini karena akan sangat berpengaruh pada konstelasi politik pemilu 2024 yang bakal menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia ke depannya.

Harap harap cemas terhadap keputusan MK terkait dengan gugatan yang diajukan oleh Yusril dan La Nyalla kiranya masuk akal karena memang akhir akhir ini Lembaga yang menjadi penjaga konstitusi itu banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat karena kinerjanya. Seringnya MK membuat keputusan yang bersifat kontroversial telah memunculkan akronim MK bukan sebagai Mahkamah Konstitusi tetapi Mahkamah Kompromi.

Selanjutnya dengan adanya perkawinan antara adik Presiden dengan Ketua MK Anwar Usman telah memunculkan akronim baru MK sebagai Mahkamah Keluarga dan juga ada yang menyebut Mahkamah Kasur.

Ditengah kondisi MK yang seperti itu masih adakah kiranya harapan Lembaga penjaga konstitusi ini akan mampu memutuskan perkara ambang batas 20 persen pemilihan presiden / wakil presiden secara adil sesuai dengan tuntutan masyarakat Indonesia ?, Masih mampukah kiranya MK menjaga marwah indepensinya ?, Artinya tidak berpolitik praktis sebagaimana dugaan sementara orang saat ini kepada MK ?

Mengendus Potensi Bahaya

Jika nantinya MK tetap “keukeh” dengan keputusannya untuk tidak mengabulkan permohonan dari pemohon terakhir yudicial review ambang batas pencalonan Presiden dalam hal ini Yusril Ihza Mahendra dan La Nyalla Mattaliti, maka potensi bahaya bisa muncul nantinya ketika pemilu 2024 tiba.

Bahaya muncul karena MK dinilai telah memelihara keputusannya yang bersifat diskriminatif terhadap partai politik dalam mengusulkan calon pemimpin bangsa. Pada hal hak untuk mengajukan calon presiden/ wakil presiden tersebut harusnya menjadi hak setiap partai politik sebagaimana amanat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain MK dinilai tidak menghargai adanya keragaman dalam pilihan calon pemimpin bangsa.

Sebagaimana diketahui, soal keragaman pilihan calon Presiden dan Wakil Presiden sudah dikondisikan dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945 yang membahas tentang pemilihan Presiden, misalnya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit telah menentukan bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum”, sehingga seharusnya tidak boleh ada aturan Presidential Threshold yang membatasi partai politik untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sebab berdasarkan UUD 1945, semua partai politik berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang menjadi jagoannya. Tetapi dengan adanya Presidential Threshold 20%, Partai-partai politik seperti dipaksa untuk berkoalisi karena kalau mau mencalonkan kadernya sendiri mandiri karena tidak cukup suaranya. Maka maka akan muncul koalisi “asal asalan” yang sarat dengan praktik politik transaksional tidak sehat yang menghambat munculnya keragaman pilihan calon pemimpin bangsa.

Para ketua partai kelas menengah harus memupuskan harapan, dan hak ketua partainya, untuk dapat menjadi calon presiden yang di usung partainya.Sang ketua umum partai terpaksa melepas hak menjadi capres, karena sistem ambang batas 20 persen, terpaksa mengekor kepada capres pilihan orang-orang kaya. Yang memang selalu dijaga dalam sistem ini hanya hasilkan 2 calon presiden, yang keduanya adalah rancangan orang-orang super kaya.

Memang akhirnya mereka para ketua partai ini akan mendapat mahar yang sangat besar dari orang orang super kaya itu sebagai bentuk balas jasa atas tiket yang disediakan untuk jagoannya. Fenomena demikian akan membahayakan demokrasi di Indonesia karena yang terpilih nantinya bisa presiden boneka yang telah disiapkan oleh pemilik modal yang banyak uangnya. Kalau sudah terpilih tentu saja para calon presiden ini akan lebih banyak mengabdi kepada bandar yang telah mengongkosinya. Relakah rakyat Indonesia menyerahkan nasibnya kepada seorang pemimpin hasil “ternak” para bandar yang telah mengongkosinya ?.

Bagi sang bandar akan lebih hemat kiranya untuk mengeluarkan uangnya kalau calonnya tidak terlalu banyak jumlahnya. Karena bisa saja mereka menanamkan uangnya bukan hanya kepada satu calon saja tapi bisa semuanya.

Sehingga siapapun pemenangnya, ia adalah “orangnya”. Inilah bahaya dari ambang batas 20 persen, pada hal jika ambang batas tersebut dicabut bisa mendorong partai partai untuk melakukan koalisi secara alami untuk memenangkan suara secara merata dari seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan desain konstitusi menghendaki adanya dua putaran Pemilu untuk menyeleksi pasangan calon dengan legitimasi kuat berdasarkan suara pemilih yang merata.

Selanjutnya Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa : Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pasal tersebut dinilai berlawanan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Dikatakan berlawanan karena dalam Pasal 222 UU Pemilu terdapat penambahan kalimat‎: “Yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Pertanyaan yang timbul adalah apakah penambahan kalimat itu bagian yang konstitusional dari UUD 1945 atau upaya menyusupkan kepentingan lain sehingga kompetisi menjadi tidak fair karena mengandung diskriminasi didalamnya ?

Akibat penerapan Pasal 222 tersebut menurut penilaian La Nyalla bisa  sangat berbahaya. "Hal itu bisa terjadi apabila gabungan partai politik yang mengusung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mencapai jumlah kursi DPR 80,01 persen atau 75,01 persen suara sah secara nasional. Sehingga hanya akan ada satu pasangan Capres dan Cawapres yang memenuhi syarat untuk mendaftar," papar LaNyalla.

Mengapa bisa stuck atau lumpuh? Karena UU Pemilu hanya mengantisipasi apabila salah satu dari dua pasangan Capres dan Cawapres berhalangan tetap di tengah jalan atau di tengah tahapan. Dimana tahapan dilanjutkan dengan satu pasang melawan kotak kosong.

Tetapi bila sejak awal yang bisa dan yang memenuhi syarat untuk mendaftar hanya satu pasang calon, akibat pasangan tersebut didiukung oleh gabungan partai politik yang mencapai angka 76 persen suara sah, sehingga dengan ambang batas 25 suara sah, maka tidak ada lagi pasangan yang bisa didaftarkan, di sini akan muncul masalah  tata negara

"Ini menunjukkan bahwa Pasal 222 selain melanggar konstitusi, juga berpotensi menimbulkan persoalan yang tidak mampu dijawab oleh UU Pemilu. Karena UU Pemilu sama sekali tidak mengantisipasi potensi tersebut," tukasnya seperti dikutip media.

Karena sangat mungkin terjadi pasangan calon didukung oleh gabungan partai politik yang mencapai jumlah kursi DPR di atas 80 persen atau di atas 75 persen suara sah secara nasional. Sehingga yang tersisa tidak mencapai 20 persen kursi.

"Begitu pendaftar hanya satu pasang dari awal, maka sesuai UU Pemilu Pasal 229 ayat 2 huruf (a) dan (b), maka KPU akan menolak pendaftaran pasangan tersebut. Artinya apa? Artinya macet. Karena tidak bisa dilawankan dengan kotak kosong. Yang bisa dilawankan kotak kosong apabila salah satu dari dua pasangan calon berhalangan tetap di tengah jalan," jelasnya.

Pasal 222 tidak mengantisipasi apabila dalam Pemilihan Legislatif pada tahun 2024 nanti terdapat partai politik yang meraup atau memperoleh suara sebesar 75,01 persen suara sah secara nasional. Hal ini seperti pernah terjadi pada Pemilu tahun 1997, di mana Golongan Karya saat itu memperoleh suara nasional sebesar 74,51 persen. Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan memperoleh suara 22,43 persen dan Partai Demokrasi Indonesia memperoleh 3,06 persen suara.

Tapi kemacetan tersebut bisa saja menjadi bagian dari skenario untuk memperpanjang nafas bagi pemerintahan yang sekarang berkuasa. Setelah sebelumnya upaya untuk tiga periode gagal karena mendapat tantangan keras dari masyarakat selanjutnya ada upaya untuk menunda pemilu karena alasan wabah virus corona dan yang lain lainnya. Upaya penundaan pemilu itupun nampaknya gagal juga tapi siapa tahu melalui pemberlakuan pasal 222 UU N0. 7/2017 tentang Pemilu ini upaya untuk menunda pemilu bisa terlaksana ?

Modusnya bisa jadi dengan kesepakatan dan kongsi antar-partai politik atau gabungan partai politik sehingga hanya bisa terbentuk satu pasang Capres dan Cawapres saja. Sehingga ditolak oleh KPU karena calon lain yang didaftarkan oleh partai  yang tersisa tidak bisa memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Kalau demikian fenomenanya maka akan terjadi  stuck, macet dan lumpuh sehingga menjadi penyebab pemilu ditunda. Apakah memang begitu skenarionya ?

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar