Warga Sri Langka Terancam Mati Kelaparan, Krisis Makin Parah

Jum'at, 20/05/2022 18:20 WIB
Sri Lanka tetapkan status darurat (bbc)

Sri Lanka tetapkan status darurat (bbc)

Jakarta, law-justice.co - Situasi di Sri Lanka kian parah. Warga harus bersiap mengalami kekurangan pangan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang masih terjadi hingga kini.
Hal ini disampaikan langsung Perdana Menteri (PM) Ranil Wickremesinghe, dikutip Jumat (20/5/2021). Sebelumnya, keputusan Presiden Gotabaya Rajapaksa pada April 2021 untuk melarang impor semua pupuk kimia secara drastis mengurangi hasil panen, dan meskipun telah dibatalkan, tak diikuti pembelian yang substansial.

"Meskipun mungkin tidak ada waktu untuk mendapatkan pupuk untuk musim Yala (Mei-Agustus) ini, langkah-langkah sedang diambil untuk memastikan stok yang cukup untuk musim Maha (September-Maret)," kata Wickremesinghe dalam sebuah pesan di Twitter.

"Saya dengan tulus mendesak semua orang untuk menerima gawatnya ... situasi ini," tambahnya soal ancaman krisis pangan di negara itu.

Hal ini membuat marah warga. Mereka menilai pernyataan pemerintah tak manfaat sama sekali.

"Tidak ada gunanya berbicara tentang betapa sulitnya hidup ini," kata A.P.D. Sumanavathi, wanita berusia 60 tahun yang menjual buah dan sayuran di pasar Pettah di Kolombo, dikutip dari Reuters.

"Saya tidak bisa memprediksi bagaimana keadaannya dalam dua bulan, pada tingkat ini kita bahkan mungkin tidak berada di sini."

Hal sama juga dikatakan Mohammad Shazly. Ia sendiri telah tiga hari mengantre di depan sebuah toko yang menjual tabung gas untuk memasak, yang harganya melambung tinggi.

"Hanya sekitar 200 silinder yang dikirim, padahal yang datang sekitar 500 orang," kata supir paruh waktu itu.

"Tanpa gas, tanpa minyak tanah, kita tidak bisa berbuat apa-apa."

"Pilihan terakhir apa? Tanpa makanan kita akan mati. Itu akan terjadi, 100%," tegasnya.

Krisis ekonomi Sri Lanka muncul akibat pandemi Covid-19 yang menghantam ekonomi di negara pariwisata itu. Masalah diperparah dengan kenaikan harga minyak, ketergantungan pada impor, dan utang yang menggunung.

Inflasi bahkan diyakini bisa naik lebih jauh ke 40% dalam beberapa bulan ke depan. Di April, inflasi mencapai 29,8% dengan harga makanan naik 46,6% year-on-year (yoy).

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar