Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Keadilan di Pembunuhan 6 Laskar FPI, Menanti Pelangi di Malam Hari?

Senin, 21/03/2022 05:30 WIB
Wakil Ketua Komisi III/Hukum DPR RI, H.Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III/Hukum DPR RI, H.Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Begitu majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengetuk palu untuk menjatuhkan vonis lepas dari hukuman pidana,dua anggota Resmob Polda Metro Jaya yaitu Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella langsung sujud syukur bersama para pengacara yang membelanya. Kedua polisi yang didakwa melakukan tindakan pembunuhan semena-mena (unlawful killing) terhadap anggota Front Pembela Islam (FPI) itu juga bahkan sempat menitikkan air matanya.

Kedua polisi tersebut merasa bersyukur karena lepas dari jerat hukuman penjara yang selama ini menghantuinya karena disangka menjadi pembunuh laskar FPI ketika sedang menjalankan tugasnya. Majelis hakim menyebut keduanya terbukti melakukan penembakan di Tol KM50 Jakarta-Cikampek sesuai dakwaan jaksa.

“Menyatakan, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagai dakwaan primer penuntut umum dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas,” ujar hakim ketua Arif Nuryanta di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat (18/3/2022). Namun majelis hakim juga menyatakan bahwa penembakan itu merupakan upaya membela diri, sehingga kedua terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.


Seperti apa sebenarnya perjalanan kasus pembunuhan 6 laskar FPI yang mengantarkan keduanya menjadi tersangka ?, Benarkah proses Pengadilan kasus ini sarat dengan kejanggalan kejanggalan sehingga ada yang menilainya sebagai sebagai dagelan belaka ?. Begitu sulitkah upaya untuk menegakkan keadilan pada kasus ini sehingga tak ubahnya seperti menanti munculnya pelangi di tengah malam buta ?

Perjalanan Kasus
Dikutip dari Kompas.com, kronologi penembakan berawal dari absennya Habib Riziek Shihab (HRS) dalam pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan untuk kedua kalinya. Saat itu, Polda Metro Jaya menerima informasi dari masyarakat dan media sosial yang mengatakan bahwa simpatisan HRS akan menggeruduk Mapolda Metro Jaya dan melakukan aksi anarkistis disana.


Polda Metro Jaya pada akhirnya memerintahkan sejumlah anggotanya untuk menyelidiki rencana penggerudukan sesuai informasi yang diterimanya. Kronologi lengkap mengenai penembakan laskar FPI ini pernah disampaikan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 18 Oktober 2021.


Peristiwa penembakan yang terjadi di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek (7/12/2020) itu melibatkan enam anggota laskar FPI dan tiga polisi, yaitu Briptu Fikri, Ipda Yusmin, dan Ipda Elwira. Diberitakan oleh Kompas.com, Sabtu (19/3/2022), baku tembak tersebut awalnya menyebabkan dua laskar FPI, Ahmad Sukur dan Andi Oktiawan tertembak dan meninggal dunia. Polisi kemudian melakukan pengejaran terhadap empat anggota laskar FPI lainnya. Keempat laskar FPI itu berhasil dilumpuhkannya. Mereka di antaranya Akhmad Sofiyan, Luthfi Hakim, dan Muhammad Suci Khadavi dan Muhammad Reza.


Keempatnya dimasukkan ke mobil Daihatsu Xenia dengan nomor polisi B-1519-UTI untuk dibawa ke Polda Metro Jaya. Kendati demikian, polisi tidak melakukan penangkapan sesuai SOP, yakni tidak memborgol tangan keempat laskar FPI yang ditangkapnya. Akibatnya, keempat laskar FPI melakukan perlawanan dan berusaha merebut senjata api milik polisi yang mengawalnya.


Perlawanan yang terjadi di dalam mobil tersebut berujung pada tertembaknya keempat laskar FPI sehingga meninggal dunia. Keempatnya tewas setelah sejumlah peluru menembus di dada kirinya. Jenazah mereka kemudian dibawa ke RS Polri Bhayangkara.


Setelah peristiwa penembakan enam laskar FPI terjadi, proses hukum yang melibatkan tiga pelaku penembakan akhirnya dilakukan juga. Ketiga anggota kepolisian tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Namun penyidikan terhadap salah satu tersangka yakni Ipda Elwira Priadi Z, dihentikan karena pada tanggal 4 Januari 2021 yang bersangkutan meninggal dunia.


Sedangkan penyelidikan terhadap kedua tersangka lainnya tetap dilanjutkan sesuai rencana. Keduanya didakwa melakukan penganiayaan hingga menyebabkan keempat korban laskar FPI meregang nyawa. Dakwaan tersebut dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (18/12/2021). "Akibat perbuatan terdakwa bersama-sama dengan saksi Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Elwira Priadi Z (almarhum) menyebabkan meninggalnya Lutfil Hakim, Akhmad Sofiyan, M Reza, dan Muhammad Suci Khadavi Poetra," ujar jaksa, dikutip dari Kompas.com.


Dengan adanya kasus tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga melakukan penyelidikan untuk mengetahui duduk perkaranya. Diberitakan dalam Kompas.com, hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa ada pelanggaran HAM dalam peristiwa itu lantaran keempat anggota laskar FPI tersebut tewas ketika sudah dalam penguasaan aparat kepolisian negara. Kendati demikian, Komnas HAM tidak menemukan adanya bukti pelanggaran HAM berat sebagaimana disampaikan oleh Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (14/3/2021) lalu dalam siaran persnya.


Taufan mengatakan, berdasarkan Statuta Roma, suatu kasus dapat dikategorikan ke dalam kriteria pelanggaran HAM berat apabila tindakan penyerangan dan pembunuhan merupakan hasil dari sebuah kebijakan atau lembaga negara."Kalau kita lihat kasus (penembakan 6 laskar) FPI apakah ada kebijakan dalam hal ini kepolisian atau lembaga negara ya Presiden begitu? Itu tidak kita temukan," ujarnya.


Dakwaan penganiayaan yang diberikan oleh jaksa kepada tersangka pelaku penembakan empat laskar FPI berujung pada penuntutan penjara selama 6 tahun lamanya. Tuntutan penjara tersebut disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (22/2/2022).


Tuntutan jaksa atas penjara 6 tahun kepada dua anggota kepolisian yang merupakan terdakwa kasus penembakan empat FPI tidak dikabulkan oleh majelis hakim yang mengadilinya. Dalam persidangan yang digelar pada Jumat (18/3/2022), majelis hakim justru menvonis lepas kedua terdakwa. Hakim menyatakan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin bersalah atas tindakan pidana penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia. Kendati demikian, hakim tidak menjatuhkan hukuman penjara bagi kedua terdakwa dan memutuskan untuk melepaskannya.


Adapun jaksa memutuskan untuk pikir-pikir setelah mendengar putusan majelis hakim yang dijatuhkan kepada keduanya. Sementara kedua terdakwa yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Henry Yosodiningrat, menerima putusan hakim yang mengadilinya.

Pengadilan Dagelan Belaka?

Sekretaris Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) laskar FPI Marwan Batubara enggan menanggapi vonis hakim yang melepaskan dua terdakwa kasus penembakan laskar FPI dari tuntutan jaksa. Marwan menilai proses sidang itu hanya dagelan belaka.


"Kita nggak ada tanggapanlah, nggak penting ditanggapi, orang pengadilan dagelan sesat. Jadi, kalau sudah pada awalnya pengadilannya sekadar sandiwara, dagelan yang sesat, ya rasanya nggak relevan kita kasih tanggapan kecuali mengingatkan masyarakat untuk tidak mempercayai sandiwara, dagelan itu," ujar Marwan seperti dikutip detiknews Jumat (18/3/2022).


Tim TP3 sebelumnya juga telah menyatakan persidangan ini seolah-olah merupakan proses hukum acara pidana yang wajar, namun sebenarnya merupakan suatu upaya manipulasi untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya.


“Peristiwa yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa aparat negara yang terlibat dalam kejahatan telah melakukan “crime against humanity”, atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat,” ujar Ketua TP3 Abdullah Hehamahua dalam pernyataan tertulisnya pada Jumat (8/10/2021) seperti dikutip media.


Karena dianggap dagelan maka Lembaga seperti Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU) bersama segenap tokoh, ulama dan advokat menyampaikan mosi tidak percaya terhadap keseluruhan proses persidangan KM -50 termasuk pada putusan yang baru saja dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui majelis hakim yang dipimpin Muhammad Arif Nuryanta.


Putusan yang melepaskan terdakwa dengan dalih alasan pembenar dan pemaaf karena pembelaan terpaksa, dinilainya sebagai putusan yang sesat dan menyesatkan karena tidak sesuai dengan realitas perkara dan mencederai rasa keadilan masyarakat Indonesia.


Dalam siaran persnya, Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPAU) menilai perbuatan Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella tidak memenuhi unsur pembelaan yang bersifat terpaksa, karena berdasarkan fakta hukum dipersidangan yang terangkum dalam tuntutan jaksa IPDA M Yusmin Ohorella terbukti telah melakukan penguntitan (surveilans), sementara Briptu Fikri Ramadhan terbukti tidak memperhatikan asas, nesesitas, dan proporsionalitas dalam menggunakan senjata api saat mengawal korban yang ada dibawah penguasaannya.


Unsur adanya serangan sekejap juga tidak terbukti adanya. Sebaliknya, justru 6 laskar FPI yang merasa keamanan dan jiwanya terancam karena telah dikuntit, dipepet hingga terjadi penangkapan yang mustahil diketahui dilakukan oleh aparat berwenang, karena peristiwa KM 50 terjadi pada dinihari tanggal 7 Desember 2020, dimana petugas yang melakukan penangkapan tidak menggunakan seragam resmi sehingga dapat dipahami 6 laskar FPI merasa mendapat gangguan yang mengancam jiwa dan keselamatan dari orang atau sekumpulan orang yang hendak melakukan kejahatan kepadanya.


“Pembelaan darurat yang melampaui batas” atau noodweer exces dapat dilakukan dengan syarat memenuhi unsur yaitu "Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga". Jika tidak memenuhi unsur itu tidak dapat dilakukan pembelaan darurat yang melampaui batas.

Sebagai contoh yaitu seorang pembegal sedang membegal untuk mengambil barang seorang aparat polisi misalnya, kemudian si pembegal menyerang polisi tersebut dengan pisau yang dibawanya. Di sini polisi itu boleh melawan untuk mempertahankan diri, sebab si pembegal telah menyerangnya. Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga, maka aparat boleh menembaknya. Tapi, jika si pembegal itu dan barangnya itu telah tertangkap, maka polisi tersebut tidak boleh membela diri secara darurat yang melampaui batas dengan memukuli, menganiaya, menyiksa dan menembak mati karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pembegal, baik terhadap barang maupun orangnya;


Dalam kaitannya dengan laskar FPI, pabila santri pengawal Habib tersebut telah ditangkap dan teriak minta ampun, terlebih lagi misalnya santri pengawal tersebut tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan atau menembaknya. Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan "...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga" tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan dalam hukum pidana. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law);


Wajar kalau kemudian Lembaga seperti KPAU, menilai unsur pembelaan terpaksa (noodweer) tidak terpenuhi dan pembelaan darurat (noodweer-exces) dalam kasus ini berkonsekuensi pada tidak ada alasan yang dapat menghilangkan unsur melawan hukum perbuatan yang dapat dijadikan dasar untuk memberikan pembenaran dan/atau permaafan kepada terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella.


Oleh karena itu dengan menuntut terdakwa hanya dengan ketentuan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan apalagi Majelis Hakim mengeluarkan putusan lepas (onslag) terhadap dua terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella, mengkonfirmasi bahwa sidang KM 50 yang dilakukan di pengadilan negeri Jakarta Selatan hanyalah sidang dagelan belaka yang menghasilkan putusan sesat dan menyesatkan karena tidak sesuai fakta.


Sementara itu Eks pengacara Front Pembela Islam (FPI) Aziz Yanuar menyebutkan bahwa sejak awal pihaknya memang sudah menduga bahwa pengadilan tidak objektif dalam menyidangkan kasus unlawful killing ini yang mengadili dua terdakwa.“Jauh hari kita menduga itu sesat dan dijadikan instrumen untuk menjustifikasi dugaan pembunuhan,” paparnya.


Indikasinya, kata Aziz, terlihat dari pengabaian fakta-fakta objektif, misalnya, terkait informasi bahwa ada sejumlah orang yang sempat mendokumentasikan peristiwa di KM 51 Tol Cikampek-Jakarta pada malam ketika 6 anggota FPI tengah meregang nyawa.Namun, mereka mendapatkan paksaan untuk menghapus rekaman di tempat TKP (Tempat Kejadian Perkara.Selain itu, ia juga menyebut tentang tidak adanya rekaman CCTV atau kerusakan CCTV di sekitar lokasi pada malam kejadian yang seharusnya didalami penyebabnya.


Aroma kejanggalan dan ketidakadilan dalam proses pengadilan meninggalnya 6 laskar FPI memang begitu terasa meskipun saat ini vonis lepas kepada para terdakwanya sudah dijatuhkan oleh hakim yang mulia. Namun serangkaian pertanyaan masih menggelayuti publik seputar kasus tersebut dan nampaknya pertanyaan pertanyaan itu akan tetap ada selama keadilan belum ditegakkan oleh aparat hukum yang menanganinya.


Beberapa pertanyaan yang masih terus mengganjal seputar proses penyelesaian terbunuhnya enam laskar FPI itu diantaranya adalah :


1. Mengapa HRS yang telah dijadikan sebagai target utama operasi Pengintaian, Penguntitan dan Rencana Pembunuhan dalam Tragedi KM 50 sejak kejadian sampai saat sidang berakhir tidak pernah dimintai keterangan baik oleh Komnas HAM mau pun POLISI dan JAKSA ?.
2. Terkait dengan dugaan kuat adanya extrajudicial killing atas 6 laskar FPI, sejak awal direkomendasikan agar dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sebagai salah satu bukti upaya melindungi nyawa rakyat terpenuhinya keadilan untuk mereka, namun mengapa pembentukan Tim ini tidak pernah direalisasikan sebagaimana mestinya ?
3. Bagaimanapun rakyat harus mendapat keadilan sebagaimana mestinya. Rakyat tidak boleh kalah dengan penjahat, sekalipun mereka adalah pejabat yang sedang berkuasa. Apakah jaksa akan melakukan upaya hukum kasasi ke MA?.
4. Mengapa Jaksa terkesan enggan untuk memperjuangkan hak hak rakyat yang telah kehilangan nyawa pada hal Jaksa adalah wakil negara untuk bisa memperjuangkan perlindungan terhadap hak setiap warga negara yang dihilangkan nyawanya ?. Apakah karena visi dan misi Jaksa sudah sejalan dengan visi dan misi pengacara yang mendampingi terdakwa ?
5. Pembunuhan yang menurut UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan prinsip-prinsip keadilan yang berlaku, seharusnya diproses melalui Pengadilan HAM. Karena tidak layak kalau kejahatan kemanusian yang sistematik dan brutal tersebut hanya dikategorikan sebagai kejahatan biasa. Mengapa Tragedi KM 50 yang mengakibatkan terbunuhnya enam laskar FPI itu tidak masuk dalam kategori Pelanggaran HAM Berat sehingga seyogyanya diadili di PENGADILAN HAM bukan di Pengadilan Pidana biasa ?.
6. Dikabarkan Komnas HAM telah memeriksa 130 ribu potongan rekaman CCTV, tetapi dari ribuan potongan rekaman CCTV itu mengapa tidak mampu menemukan rekaman sebuah Mobil Land Cruiser Hitam yang hadir di KM 50 yang diduga kuat saat itu ditumpangi oleh DALANG PERISTIWA. Padahal supirnya sudah ditemukan dan diketahui yaitu AKP Widy Irawan dari Polda Metro Jaya. Namun Komnas HAM tidak melaporkan siapa saja Perwira yang ada didalamnya supaya diketahui perannya ?
7. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, pembunuh itu hanya polisi penumpang dari mobil K 9143 EL (menembak mati 2 laskar) dan B 1519 UTI (membunuh 4 laskar), padahal yang terlibat faktanya lebih dari dua mobil. Mengapa jaksa menyembunyikan penumpang mobil B 1839 PWQ dan B 1278 KJL ? Begitu juga mobil “komandan” Land Cruiser. Pada hal bukankah Komnas HAM telah merekomendasi untuk membuka kedok siapa penumpang 3 mobil yang diduga kuat terlibat didalamnya ?
8. Peristiwa pembunuhan laskar FPI berawal penguntitan dan pembunuhan artinya terencana, oleh karenanya pembunuhan ini harus dapat dikualifikasi sebagai pembunuhan berencana, Pasal 340 KUHP semestinya didakwakan pula. Ancaman bagi pelaku menurut pasal ini adalah pidana mati atau seumur hidup, tetapi mengapa ancaman hukuman ini tidak di lakukan Jaksa dalam dakwaannya ?
9. Bagaimana mungkin aparat kepolisian yang menguntit, mengejar dan memepet kendaraan 6 laskar FPI lalu melakukan penembakan terhadap laskar FPI disebut sebagai tindakan membela diri, apakah tidak ada penembakan dengan tujuan untuk melumpuhkannya saja ?
10. Mengapa tidak cukup dua atau lima saja yang ditembak, sehingga ada satu saksi hidup yang bisa menjelaskan keadaan yang sesungguhnya, mengapa harus dihabisi semuanya ?
11. Mengapa Warga masyarakat yang hadir di KM 50 saat kejadian diperiksa HP-nya dan dihapus semua rekaman kejadian yang ada TKP, apakah ini sengaja dilakukan untuk menghilangkan bukti bukti kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya ?
12. Mengapa adanya Satu Saksi Kunci dari PEKERJA DI KM 50 tidak dijadikan Saksi oleh Polisi mau pun Jaksa dalam Sidang, pada hal Saksi Kunci ini saat di KOMNAS HAM, menyatakan melihat langsung ke dalam Mobil Laskar FPI dan sama sekali tidak ada Senpi mau pun Sajam, bahkan sepotong kayu pun tidak ada, yang ada hanya sebuah HT tergeletak dalam mobil dengan dua laskar sedang terluka, sementara empat laskar dipaksa turun dan tiarap di atas aspal jalanan. Kemudian enam Laskar tersebut dalam keadaan hidup dimasukkan ke Mobil Petugas dan dibawa pergi entah kemana ?
13. Mengapa dalam Sidang Kasus Tragedi KM 50 di PN Jakarta Selatan, DAKWAAN JAKSA lebih terlihat sebagai EKSEPSI bahkan seperti PLEDOI bagi TERDAKWA ketimbang sebagai sebuah DAKWAAN, sehingga seusai Pembacaan DAKWAAN dalam Sidang, Para Pengacara TERDAKWA secara terbuka langsung memuji dan berterima kasih kepada Jaksa dan menyatakan tidak mengajukan EKSESPI lagi, karena sudah sepakat dengan isi DAKWAAN JAKSA ?
14. Mengapa Komnas HAM terkesan tidak sungguh-sungguh mengambil seluruh CCTV di sepanjang lokasi kejadian, sehingga ada beberapa CCTV di KM 50 yang dibiarkan diambil dan disembunyikan oleh Pihak POLISI, sehingga saat Sidang di Pengadilan tidak dijadikan BARANG BUKTI sebagaimana mestinya ?
15. Mengapa Komnas HAM juga tidak sungguh-sungguh menjaga Lokasi KM 50 sbg Lokasi Tempat Kejadian, sehingga dengan seenaknya diratakan dan ditutup oleh Pihak Berwenang tanpa ada protes apa pun dari Komnas HAM ?
16. Mengapa Komnas HAM terkesan sengaja membiarkan POLISI melenyapkan aneka Barang Bukti seperti Lokasi Kejadian, CCTV, Mobil Land Cruiser Hitam, HP Para Korban, dll, sehingga PATUT DIDUGA bahwa Komnas HAM dan POLISI “bekerjasama” untuk mengaburkan alat bukti yang ada ?
17. Mengapa POLISI dan JAKSA terkesan sengaja mengerdilkan Kasus KM 50, sehingga adanya kemungkinan pihak lain yang terlibat dalam Kejahatan Kemanusiaan tersebut tidak disentuh atau tidak dimintai keterangannya ?. Padahal patut diduga Kasus Tragedi KM 50 adalah PRODUK PERINTAH JABATAN yang harus menyeret seluruh pejabat yang terlibat secara Horisontal mau pun Vertikal, apalagi sebelum dan sesudah Tragedi KM 50 ada rentetan peristiwa yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan, sehingga semua pihak harus dimintai keterangannya ?
18. Pembunuhan dan penganiayaan dengan kondisi jenazah yang mengenaskan adalah kejahatan yang sangat luar biasa. Pembunuh seperti ini semestinya tidak boleh dibiarkan bebas berkeliaran begitu saja. Nyatanya kedua terdakwa bukan hanya tidak ditahan, tetapi terkesan justru mendapat perlindungan yang luar biasa.Mengapa para pelaku penembakan tidak ditangkap dan ditahan selama proses penegakan hukumnya ?.
19. Menurut Komnas HAM dalam surveilans itu ada surat perintahnya. Jika itu benar, siapa yang memerintahkannya ? Mengapa yang memerintah tidak diungkap dan tidak ditahan juga. Apakah ini semua membuktikan bahwa diduga kuat sidang dan proses penegakan hukum untuk para terdakwa hanya dagelan belaka ?
20. Mengapa pertimbangan keputusan hakim dalam perkara ini terkesan hanya mendengarkan keterangan keterangan dari terdakwa dengan mengesampingkan pertimbangan pertimbangan lain, Komnas HAM misalnya ?. Bukan suatu hal yang berbahaya kedepan jika putusan lebih didasarkan pada keterangan para terdakwa ? , karena keterangan terdakwa jadi salah satu rujukan utama majelis hakim dalam membuat putusannya ?
21. Di dalam hukum pidana dikenal adanya pelaku kejahatan (pleger), penyerta (medepleger) maupun yang menyuruh (doenpleger) serta penganjur (uitlokker). Dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap enam anggota Laskar FPI mungkinkah hanya melibatkan pelaku (pleger) nya saja ?. Apakah mungkin dua terdakwa yang diadili itu sebenarnya hanya dijadikan sebagai tumbal belaka ?.

Kiranya kalau dirunut akan sangat panjang daftar pertanyaan yang terkait dengan proses penegakan hukum atas terbunuhnya enam laskar FPI yang dilakukan oleh aparat negara. Daftar panjang itu sekaligus mengindikasikan adanya rangkaian kejanggalan dalam proses penyelesaiannya.


Namun fenomena ini bisa dipandang berbeda oleh mereka yang mendukung vonis Lepas yang di terima oleh dua terdakwa. Mereka berpandangan bahwa vonis Lepas yang dijatuhkan kepada dua polisi penembak para laskar FPI itu membuktikan bahwa wibawa hukum negeri ini masih terjaga. Menurut pandangannya, hukum memang tak boleh pandang bulu, baik ke orang biasa, pejabat maupun pemuka agama.


Dengan vonis lepas hakim tersebut , menurutnya masyarakat harus tahu bahwa para laskar ini tidak sedang melakukan jihad seperti yang digemborkan oleh kubu mereka. Laskar yang mati dalam baku tembak ini tak lain manusia-manusia korban cuci otak untuk dijadikan tameng para penjahat dibalik topeng agama.


Vonis lepas hakim yang dijatuhkan kepada para terdakwa menurut pandangan kelompok ini bisa memberikan kekuatan moral bagi aparat keamanan negara untuk tidak ragu ragu melakukan tindakan tegas kepada warga negara yang dianggap melakukan tindakan tindakan anarkis yang membahayakan keselamatan aparat negara.
Pro kontra memang akan selalu terjadi dalam setiap penegakan hukum atas sebuah peristiwa, kini masyarakat sendiri yang akan menilainya. Apakah penegakan hukum terhadap meninggalnya enam laskar FPI sudah berjalan sesuai dengan koridor hukum yang seharusnya atau hanya sekadar dagelan belaka.

Pelangi di Malam Buta
Ahli hukum Cicero menyatakan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto). Pernyataan dari Cicero ini sudah sangat sering di kutip oleh para pejabat kita khususnya disaat pandemi virus corona. Dengan dalih untuk melindungi keselamatan rakyat berbagai kebijakan yang bernuanasa kontroversial di ambilnya.


Tidak salah dengan pernyataan Cicero, bahwa keselamatan rakyat harus diutamakan daripada yang lainnya. Demikian juga seharusnya dalam penegakan hukum, dimana rakyatlah yang seharusnya diutamakan untuk memperoleh pelindungan hukum dari negara, yang salah satu fungsinya dijalankan oleh aparat hukum negara.
Namun jika adagium ini diterapkan secara keliru oleh penguasa jahat, maka penguasa itu akan memperalat hukum sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaannya atas dalih "keselamatan rakyat"nya. Sebelumnya Presiden pernah menyatakan bahwa aparat penegak hukum dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya. Jangan sampai pernyataan orang nomor satu di Indonesia ini ditafsirkan berbeda.


Jangan sampai kasus penegakan hukum tewasnya 6 laskar FPI menjadi kelanjutan dari penerapan secara keliru slogan negara tidak boleh kalah dan oleh karenanya "membenarkan" tindakan extrajudicial killing atas 6 laskar FPI tanggal 7 Desember 2020 lalu yang dilakukan aparat negara.Tetapi kalau dicermati dari sisi proses sampai dengan jatuhnya vonis oleh hakim yang mulia, nampaknya fenomenanya memang mengarah kesana.


Terlihat sejak saat proses persidangan, rakyat tidak percaya dan masa bodoh dengan berbagai “fakta persidangan” yang terungkap di hadapan Majelis Hakim Yang Mulia. Berbagai pertanyaan publik atas pembunuhan sadis ini tidak terjawab selama proses persidangan yang dinilai hanya dagelan belaka.


Proses peradilan telah berlangsung dalam bayang bayang tekanan ketidak percayaan publik sehingga banyak yang mengacuhkannya. Momen peradilan yang berlangsung secara jujur, adil, berperasaan dan tentu ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai hanya sekadar utopia belaka.


Pengadilan dinilai tidak mampu mengungkap fakta atau peristiwa yang sebenarnya. Bisa jadi para dalang beranggapan dengan selesainya proses hukum Putusan Hakim PN Jakarta Selatan maka selesai pula kasus hilangnya enam nyawa anak anak bangsa. Sebuah anggapan yang wajar wajar saja sebagai bagian dari upaya untuk menutup jejak kasusnya.


Namun ada kenyataan lain bahwa meskipun saat ini KM 50 sudah habis diobrak abrik dan bukti- bukti telah dihilangkan, tetapi kasus pembantaian ini tidak akan terhenti sampai dengan jatuhnya vonis untuk dua terdakwa. Kasus ini pasti masih akan berlanjut untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Paling tidak kalau bukan hukum di dunia, penegakan hukum yang ada di alam sana yang akan memprosesnya.


Lepas dari itu semua, saat ini diakui atau tidak distribusi keadilan dalam penegakan hukum dalam kondisi negara yang sangat digdaya terhadap rakyatnya tidak hanya sulit tapi juga langka. Sama sulitnya dengan distribusi sembako murah untuk rakyat di tengah pandemi virus corona.


Sulitnya mengharap keadilan bagi mereka yang tidak punya kuasa tak ubahnya bagaikan mengharap munculnya Pelangi ditengah malam buta. Serasa mustahil bisa mewujudkannya kecuali ada mukjizat dari yang Maha Kuasa. Sebegitu parahkah kondisi penegakan hukum yang berkeadilan di negara kita ?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar