Penyebab Minyak Goreng Langka Diungkap Ombudsman

Selasa, 15/03/2022 20:42 WIB
Ilustrasi minyak goreng langka (ist)

Ilustrasi minyak goreng langka (ist)

Jakarta, law-justice.co - Akhir-akhir ini, Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng. Lantas, Ombudsman RI mengungkapkan dugaan penyebabnya berdasarkan hasil analisa dan investigasi penyebab kelangkaan komoditas tersebut.

"Ini adalah upaya pengumpulan dan pencarian informasi untuk pemeriksaan oleh Ombudsman pada tahap selanjutnya. Oleh karena itu penyebab kelangkaan ini sifatnya masih dugaan," ungkap Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers, Selasa (15/3/2022).

Dugaan pertama, ada perbedaan data kebutuhan minyak goreng di dalam negeri (domestic market obligation/DMO) yang dilaporkan dengan realisasinya. Yeka mengatakan sebelumnya Kementerian Perdagangan mengklaim berhasil mendistribusikan minyak goreng curah dan kemasan sebanyak 415.787 ton ke masyarakat.

Distribusi minyak itu melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi minyak goreng satu bulan yang hanya mencapai 327.321 ton. Namun kenyataanya, minyak goreng masih langka di pasaran. Menurutnya, hal tersebut bisa saja terjadi karena perbedaan data DMO dengan realisasinya.

"Realisasi DMO hanya akan terkonfirmasi dengan data yang mestinya dikumpulkan dari distributor," kata Yeka.

Kedua, Ombudsman menduga kelangkaan minyak goreng terjadi karena pelaksanaan DMO tersebut tanpa diikuti dengan pemasangan antara eksportir crude palm oil (CPO) atau olahannya dengan produsen minyak goreng. Selain itu, tidak semua produsen minyak goreng mendapatkan CPO DMO dengan harga domestic market obligation (DPO).

"Tidak semua produsen minyak goreng berorientasi ekspor. Sehingga kapasitas produksi minyak goreng diduga mengalami penurunan, untuk menghindari kerugian," imbuh Yeka.

Ketiga, panik beli atau panic buying juga masih terjadi. Yeka mengatakan panic buying masih terjadi meskipun volumenya mulai menurun.

Keempat, rumah tangga atau pelaku usaha UMKM meningkatkan stok minyak goreng, sebagai respon terhadap belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng, terlebih lagi menghadapi puasa dan hari raya.

Kelima, munculnya spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara harga eceran tertinggi (HET) dengan harga di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi.

Yeka mengatakan aktifitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng.

Terakhir, kelangkaan minyak goreng diduga terjadi karena gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan. "Fungsi pengawasan tidak akan berhasil diterapkan ketika disparitas harga terjadi dengan gap yang sangat besar," sambung Yeka.

Melihat kondisi tersebut, Yeka menuturkan Ombudsman juga memiliki rekomendasi agar kelangkaan tersebut bisa teratasi. Seperti, menghilangkan disparitas antara harga DPO, HET dan harga pasar.

Sebagai gantinya, penetapan harga bisa dikembalikan pada mekanisme pasar dengan tetap memberlakukan DMO untuk menjamin ketersediaan minyak goreng.

Adapun opsi yang bisa diambil adalah melepas aturan HET untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium yang saat ini masing-masing seharga Rp13.500 dan Rp14 ribu per liter.

"Minyak goreng kemasan sederhana dan premium ada pasarnya. Kelompok menengah atas tentu memiliki daya beli untuk minyak goreng tersebut," kata Yeka.

Sementara, untuk minyak goreng curah masih diberlakukan HET Rp11.500 per liter. hal ini dilakukan agar masyarakat rentan kemahalan seperti keluarga miskin dan pelaku UMKM masih bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga tersebut.

Yeka menyebut dampak dilepaskan ke mekanisme pasar adalah tingginya harga minyak goreng. Oleh karena itu pemerintah perlu melindungi kelompok masyarakat yang rentan.

"Pemerintah fokus melayani terhadap kelompok masyarakat yang rentan melalui mekanisme bantuan langsung tunai (BLT)," kata dia.

Ia juga mengatakan agar tidak membebankan APBN, untuk keperluan BLT, pemerintah dapat meningkatkan pajak dan levy ekspor produk turunan CPO seperti RBD Palm Olein, RBD Palm Oil, RBD Palm Stearin dan PFAD.

Lebih lanjut, Yeka memaparkan hasil riset yang dilakukan Ombudsman selama kurun waktu Februari hingga Maret 2022, menemukan kebutuhan pasar terhadap penetapan HET minyak goreng semakin meningkat.

Riset yang dilakukan pada 274 pasar di seluruh Indonesia ini mencatat kepatuhan pasar modern pada 22 Februari hanya 69,85 persen, namun pada 14 Maret meningkat menjadi 78,94 persen.

Adapun ritel tradisional dari 57,14 persen menjadi 74,19 persen. Sedangkan di ritel tradisional dari 10,19 persen menjadi 16,67 persen.

Namun, kondisi terbalik pada pasar tradisional. Sebagai pasar paling banyak konsumen ternyata kepatuhannya terhadap HET malah menurun, dari sebelumnya 12,82 persen menjadi 4,25 persen.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar