Soal JHT, Puan Semestinya Dorong Hak Interpelasi

Kamis, 17/02/2022 15:04 WIB
Kepala Badan Pengkajian Strategis Partai Buruh Said Salahudin (antara)

Kepala Badan Pengkajian Strategis Partai Buruh Said Salahudin (antara)

Jakarta, law-justice.co - Tanpa langkah konkret untuk menyoalnya, kritik Puan Maharani terhadap penerbitan Permenaker JHT (jaminan hari tua) hanya akan dianggap sebagai sebuah kelatahan politik. DPR tidak cukup bekerja dengan narasi, tetapi juga harus disertai aksi. Kalau ada kebijakan pemerintah yang dipandang melawan konstitusi, hal itu semestinya diproses lewat penggunaan hak interpelasi.

"Kritik Ketua DPR Puan Maharani terhadap pengaturan tata cara pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (Permenaker 2/2022) menurut saya jauh dari memadai," kata Kepala Badan Pengkajian Strategis Partai Buruh Said Salahudin melalui keterangan persnya, Kamis (17/2/2022).Dia

Menurutnya, sebagai pimpinan legislatif semestinya Puan paham bahwa fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah tidak cukup disampaikan lewat kritik. Sebab kritik itu domainnya rakyat, bukan levelnya Wakil Rakyat. Dalam skema demokrasi, tugas parlemen bukan mengkritisi, tetapi mengoreksi.

"Jadi, kalau Permenaker 2/2022 dianggap perlu diperbaiki, maka dalam merespons beleid itu Ketua DPR seharusnya lebih mengedepankan mekanisme yuridis konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945," lnjutnya.

Dia mengatakan, dalam norma tersebut tegas dinyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya DPR diberikan hak oleh konstitusi untuk antara lain mengajukan Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait suatu kebijakan penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

"JHT jelas persoalan yang penting, strategis, dan berdampak yang luas karena selain menyangkut nasib ratusan juta buruh, ada dana kelolaan senilai 372,5 triliun rupiah disitu," kata Said.

Dia mengaku heran karena mengapa tidak hak konstitusional itu saja yang digunakan oleh Puan dalam menyoal Permenaker 2/2022? Sebab, katanya, sebagai Ketua DPR, posisi Puan sangat strategis untuk menginisiasi penggunaan Hak Interpelasi terkait kebijakan JHT.

"Kalau dalam pelaksanaan Hak Interpelasi itu ditemukan adanya motif atau kepentingan tertentu dari Menteri Tenaga Kerja atas penerbitan Permenaker tersebut, maka DPR tidak saja harus mendorong pencabutan aturan tersebut, tetapi juga perlu merekomendasikan kepada Presiden untuk memberhentikan bawahannya itu," tutupnya.

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar