Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Mencermati Penyelesaian Kasus Hukum Melalui Restorative Justice

Senin, 17/01/2022 01:20 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Kesungguhan Polri untuk menyelesaikan kasus kasus hukum yang merebak di tanah air melalui mekanisme restorative justice sepanjang tahun 2021 patut untuk di apresiasi. Seperti dinyatakan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, tahun lalu tak kurang dari  11.811 perkara telah berhasil diselesaikan melalui mekanisme ini.

Keberhasilan menyelesaikan kasus dengan model restorative justice  tersebut telah menyumbangkan kontribusi yang signifikan bagi upaya untuk mengurangi jumlah orang yang dikirim ke bui. Hal ini menjadi berita yang sangat menggembiraka sekali ditengah kondisi dimana selama ini over kapasitas penghuni penjara di Indonesia telah menjadi masalah klasik yang tak kunjung usai.

Seperti apa model penyelesaian restorative justice yang saat ini begitu getol di upayakan oleh jajaran Polri ?, Apa yang menjadi kendala penerapan pendekatan ini sehingga perlu dibenahi jika pendekatan restorative justice ini serius untuk di terapkan oleh Polri ?

Memahami restorative justice

Dalam konsep negara hukum (rule of law), undang-undang menjadi kiblat dalam menangani segala permasalahan hukum baik ketika pelanggaran hukum materiil maupun formil terjadi. Segala pelanggaran atas hukum harus diperangi karena hukum harus ditegakkan apapun yang terjadi. Hal ini sejalan dengan adagium yang sering digunakan sebagai dasar argument system Negara hukum yaitu iat justicia ruat coelum, meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan tanpa kompromi.

Dengan adagium itu secara sekilas terlihat hukum begitu kokoh dan ideal sekali. Namun seringkali pepatah ini justru membuat keadilan menjadi hal yang sulit ditemukan di dalam hukum itu sendiri. Hukum seolah menutup mata terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya menjadi bagian dari misi penegakan hukum itu sendiri. Keadilan dalam hukum menjadi sempit akibat dari topeng tujuan kepastian hukum mengesampingkan aspek kemanfaatan dan keadilan yang sebenarnya justru lebih bersifat substansi.

Saat ini penyelesaian permasalahan pelanggaran hukum pidana materiil, di Indonesia telah diatur prosedur formalnya melalui Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum di negeri ini. Namun prosedur dalam hukum formil tersebut seringkali digunakan sebagai alat represif semata dan mengabaikan nilai-nilai keadilan bahkan sifat hukum sebagai tindakan preventif juga cenderung tidak diperhitungkan lagi.

Keadaan tersebut memposisikan system pemidanaan tidak lagi bernilai sebagai sebuah system yang memberikan efek jera bagi para pelanggarnya meskipun yang bersangkutan sudah dimasukkan ke bui.  Disini justru  penjara menjadi wadah atau tempat belajar bagi para pelaku kriminal  untuk mengasah kemampuannya sehingga menjadi lebih sakti.  

Di samping berbicara melalui sisi terpidana, kepentingan korban tindak pidana juga tidak terlalu diuntungkan selain mendapatkan kepuasaan atas hukuman yang didapat si pelaku setelah berhasil dimasukkan ke bui. Hanya kepuasan atas terbalaskan dendam yang sebenarnya bukan merupakan suatu solusi. Karena seringkali dilupakan kepentingan yang benar-benar krusial bagi si korban, apakah sudah terpenuhi ?.  Misalnya ketika si pelaku dihukum hukuman penjara dan denda, uang denda itu tidak serta merta diberikan kepada korban, namun diserahkan pada Negara sehingga si korban tidak mendapatkan ganti rugi.

Padahal korbanlah yang paling dirugikan dalam perkara ini. Dasar inilah yang kemudian membuat konsep Restorative Justice menjadi harapan baru dalam system penegakan hukum di Indonesia dan diharapkan akan bisa mengakhiri kemarau keadilan yang selama ini sudah begitu lama terjadi. Lalu apa itu restorative justice yang saat ini begitu getol di perjuangkan oleh Polri ?

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang selama ini berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku yang biasanya melaui jalur mediasi.

Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi. Restorasi disini memiliki makna yang lebih luas, meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku sehingga kalau biasanya dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya ganti rugi atau atau restitusi maka dalam konteks restorative justice tidak sekadar hanya sampai disitu melainkan bagaimana memulihkan hubungan antara korban dan pelaku supaya tidak ada lagi perasaan dendam atau sakit hati.

Pemulihan hubungan tersebut bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku melalui proses dialog atau mediasi. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya sesuai dengan yang mereka ingini.

Proses penyelesaian masalah yang melibatkan pelaku dan korban ini menjadi penting karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada mereka untuk bisa berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka sendiri.

Selama ini memang muncul kesan dimana partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.

Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya bisa berujung pada pemidanaan sang pelaku sampai masuk bui atau membayar ganti rugi.

Selama ini dengan proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan yang akan dijatuhkan nanti.

Hal ini disebabkan karena  tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya tanpa ada peluang untuk berdialog atau berhubungan dengan korbannya baik melalui dialog atau mediasi.

Oleh karena itulah pentingnya pendekatan restorative justice,  suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Hambatan Pendekatan restorative justice

Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun perdamaian telah terjadi. Menurut persepsi penegak hukum, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian telah disepakati.

Menurut beliau, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila perdamaian telah disepakati ?  Bukankah tujuan penegakan hukum bukan sekadar untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil saling menghormati ?

Tentang persoalan ini  Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir”  mengisahkan pengalaman menariknya terkait dengan pendekatan restorative justice ini. Dibawah ini adalah kisahnya :

“hampir 40 tahun lalu-ketika itu saya belum lama memperoleh gelar Sarjana Hukum- saya ditugasi mengajar pada kursus perwira di Pusat Pendidikan Infantri Bandung....Ketika membahas mengenai sifat-sifat dan tata cara penegakan hukum pidana, seorang peserta menceritakan pengalaman dan sekaligus meminta pendapat saya.

Perwira Komandan Batalyon yang bersangkutan menceritakan pengalamannya menghadapi pertikaian fisik antara dua kelompok masyarakat tradisional di suatu tempat. Mula-mula, dalam rangka memulihkan ketertiban dan penegakan hukum, para perusuh ditangkap dan ditahan. Tetapi masalah menjadi lebih meluas dan rumit. Kedua pihak yang bertikai dengan ancaman kekerasan “mengepung” kantor tempat tahanan dan menuntut kawan-kawan mereka dibebaskan, di pihak lain pertikaian berjalan terus.

Untuk mengatasi persoalan, Batalyon mengambil kebijakan mengusahakan perdamaian antara kelompok yang bertikai. Dengan menyediakan berbagai makanan termasuk menyembelih hewan, kedua kelompok diundang. Kedua kelompok menerima undangan tersebut, melalui upacara tertentu kedua kelompok berdamain, yang ditahan dilepaskan, dan proses hukum dihentikan.Setelah bercerita, Perwira Komandan Batalyon tersebut kemudian bertanya, apakah tindakan kami salah, tidak meneruskan proses hukum tersebut, sedangkan yang terjadi adalah suatu tindak pidana?”

Jawaban dari pertanyaan tersebut mungkin beragam, ada yang sepakat bahwa hal itu bisa dibenarkan, ada juga yang tidak setuju jika proses hukum dihentikan. Namun Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL sendiri menjawab bahwa, salah satu tujuan hukum pidana ialah tegaknya ketertiban dan perdamaian, kalau dengan cara-cara yang ditempuh telah melahirkan ketertiban dan perdamaian, maka tujuan pemidanaan telah tercapai sehingga tidak lagi diperlukan proses pemidanaan lagi.

Pembenahan Aspek Yuridis

Selain hambatan yang berasal dari aparat penegak hukum yang sangat formalistik sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, penerapan pendekatan restorative jutice juga terkendala oleh belum jelasnya ketentuan tentang  kewenangan penegak hukum termasuk aparat kepolisian untuk mengalihkan perkara keluar sistem peradilan pidana untuk ditangani subsistem lain diluar sistem peradilan pidana melalui mekanisme diversi atau bertindak sebagai mediator untuk mendamaikan pelaku dan korban melalui mekanisme mediasi.

Sejauh ini yang dijadikan alasan untuk  penghentian penyidikan yang dilakukan penegak hukum mengacu pada ketentuan Pasal 109 ayat 2 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan hal-hal yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menghentikan penyidikan adalah tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum

Alasan penghentian penyidikan demi hukum ini pada prisipnya sejalan dengan alasan penghentian penuntutan yang diatur secara limitatif dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP), daluwarsa penuntutan pidana (Pasal 78 KUHP), tidak adanya pengaduan dalam delik aduan (Pasal 72 KUHP) dan affdoening buiten procces, yaitu batalnya hak untuk melakukan penuntutan karena adanya pembayaran denda yang setinggi-tingginya secara sukarela pada pelanggaran-pelanggaran (Pasal 82 KUHP).

Selain bersandar pada KUHAP, sandaran lain untuk menghentikan suatu perkara mengacu kepada diskresi yang dimiliki oleh pihak kepolisian. Ketentuan Pasal 18 ayat 1 Undang Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian mengatur mengenai diskresi diterjemahkan sebagai kewenangan yang dilaksanakan bilamana seorang petugas Kepolisian  yang bertugas seorang diri ditengah-tengah masyarakat harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan dan keamanan umum atau apabila diperkirakan akan timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.

Dalam kondisi  seperti itu tidak mungkin baginya untuk meminta petunjuk atau pengarahan terlebih dahulu dari atasannya sehingga ia harus mengambil keputusan sendiri.

Diluar dua sandaran hukum tersebut, praktis polisi tidak memiliki dasar yang kuat apabila hendak melakukan penghentian penyidikan atas suatu perkara baik atas dasar diskresi maupun kewenangan menghentikan penyidikan.

Ruang untuk melakukan diversi maupun mediasi penal juga tidak diatur undang-undang. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian besar anggota kepolisian memandang bahwa setiap perkara yang ditanganinya harus dilanjutkan prosesnya ke tahap penuntutan kecuali dalam hal-hal yang memang diatur menurut hukum.

Untungnya diluar keterbatasan mengenai landasan hukum tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah berpikir lebih maju.  Kapolri menyatakan bahwa pendekatan restorative justice menjadi salah satu program kerja yang dicanangkan untuk mengikuti dinamika perkembangan dunia hukum yang mulai bergeser dari positivisme ke progresif.

Sebelumnya, pendekatan restorative justice mencuat lewat surat edaran nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021.Dalam telegram itu, Kapolri Listyo memberikan sejumlah pedoman agar penanganan kasus berkaitan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menerapkan penegakan hukum yang memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Pimpinan Korps Bhayangkara itu menekankan agar  hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum. Sehingga, dalam prosesnya dapat mengedepankan restorative justice. Penekanan dari Kapolri ini sepertinya memberikan amunisi baru bagi jajaran kepolisian untuk tidak ragu ragu menerapkan pendekatan restorative justice dalam menjalankan tugasnya.

Implementasi  restorative justice sesungguhnya juga sudah ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama. Pancasila sebagai sumber hukum dan dasar falsafah masyarakat Indonesia mengisyaratkan penyelesaian konlik dengan musyawarah untuk mencapai tujuan kehidupan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu di beberapa daerah Indonesia yang masih menerapkan hukum adat juga ditengarai cara penyelesaian sengketa melalui restorative ustice. Kiranya inilah  yang menjadi urgensi untuk segera diterapkannya konsep Restorative Justice pada setiap penanganan kasus pelanggaran tindak pidana yang nilai kerugiannya tidak begitu besar.

Ke depan kiranya penting untuk mengoptimalkan  wewenang yang dimiliki oleh penyidik untuk dapat memberikan ruang kepada pelaku tindak pidana dan korban untuk melakukan pedamaian atau mediasi penal.

Apabila pada tahap mediasi penal telah disepakati adanya perdamaian maka kesepakatan inilah yang dapat dijadikan alasan oleh penyidik untuk menghentikan penyidikan, terlebih lagi ini dilakukan oleh masyarakat adat yang mana negara mengakui keberadaan dari hukum adat yang ada di Indonesia. Bentuk pelaksanaan konsep Restorative Justice bisa dilakukan dengan mengadakan mediasi antara tersangka dan korban untuk merundingkan kesepakatan bersama dalam menyelesaikan perkara.

Diluar potensi pelaksanaan pendekatan restorative justice sebagaimana dikemukakan diatas, kendala yuridis kiranya tetap harus diselesaikan dengan segera.  Secara yuridis Undang-undang yang ada  belum secara jelas mengatur mengenai kekuatan hukum atas kesepakatan perdamaian antara pelaku dan korban dan kewenangan masing-masing subsistem baik di dalam maupun diluar sistem peradilan pidana untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam hal terjadinya tindak pidana.

Selain itu masih ada ketidakjelasan kualifikasi tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Meskipun Kapolri sudah memberikan penekanan  bahwa  restorative justice harus dikecualikan terhadap perkara yang berpotensi memecah belah, SARA, Radikalisme, dan Separatisme.

Oleh karena itu apabila pendekatan keadilan restoratif ini ingin diterapkan, beberapa hal yang patut menjadi perhatian antara lain adalah perlunya aturan hukum yang secara tegas mengatur mengenai kekuatan hukum atas kesepakatan perdamaian antara pelaku dan korban dan kewenangan masing-masing subsistem baik di dalam maupun diluar sistem peradilan pidana (polisi, jaksa, hakim, lembaga adat, masyarakat) untuk menerapkan pendekatan tersebut.

Selain itu perlu ada kejelasan juga mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan restorative justice.  Penting juga untuk mengharmoniskan aturan hukum terkait kelembagaan, hukum pidana materil maupun hukum pidana formil nya. Sehingga keragu raguan petugas di lapangan tidak terjadi dalampelaksanannya. Demikian juga  subjektivitas penegak hukum dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif  juga dapat dihindari kemungkinan terjadinya.

Kesungguhan Polri untuk menyelesaikan kasus kasus hukum yang merebak di tanah air melalui mekanisme restorative justice sepanjang tahun 2021 patut untuk di apresiasi. Seperti dinyatakan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, tahun lalu tak kurang dari  11.811 perkara telah berhasil diselesaikan melalui mekanisme ini.

Keberhasilan menyelesaikan kasus dengan model restorative justice  tersebut telah menyumbangkan kontribusi yang signifikan bagi upaya untuk mengurangi jumlah orang yang dikirim ke bui. Hal ini menjadi berita yang sangat menggembiraka sekali ditengah kondisi dimana selama ini over kapasitas penghuni penjara di Indonesia telah menjadi masalah klasik yang tak kunjung usai.

 

 

 

 

Ke depan kiranya penting untuk mengoptimalkan  wewenang yang dimiliki oleh penyidik untuk dapat memberikan ruang kepada pelaku tindak pidana dan korban untuk melakukan pedamaian atau mediasi penal.

Apabila pada tahap mediasi penal telah disepakati adanya perdamaian maka kesepakatan inilah yang dapat dijadikan alasan oleh penyidik untuk menghentikan penyidikan, terlebih lagi ini dilakukan oleh masyarakat adat yang mana negara mengakui keberadaan dari hukum adat yang ada di Indonesia. Bentuk pelaksanaan konsep Restorative Justice bisa dilakukan dengan mengadakan mediasi antara tersangka dan korban untuk merundingkan kesepakatan bersama dalam menyelesaikan perkara.

Diluar potensi pelaksanaan pendekatan restorative justice sebagaimana dikemukakan diatas, kendala yuridis kiranya tetap harus diselesaikan dengan segera.  Secara yuridis Undang-undang yang ada  belum secara jelas mengatur mengenai kekuatan hukum atas kesepakatan perdamaian antara pelaku dan korban dan kewenangan masing-masing subsistem baik di dalam maupun diluar sistem peradilan pidana untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam hal terjadinya tindak pidana.

Selain itu masih ada ketidakjelasan kualifikasi tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Meskipun Kapolri sudah memberikan penekanan  bahwa  restorative justice harus dikecualikan terhadap perkara yang berpotensi memecah belah, SARA, Radikalisme, dan Separatisme.

Oleh karena itu apabila pendekatan keadilan restoratif ini ingin diterapkan, beberapa hal yang patut menjadi perhatian antara lain adalah perlunya aturan hukum yang secara tegas mengatur mengenai kekuatan hukum atas kesepakatan perdamaian antara pelaku dan korban dan kewenangan masing-masing subsistem baik di dalam maupun diluar sistem peradilan pidana (polisi, jaksa, hakim, lembaga adat, masyarakat) untuk menerapkan pendekatan tersebut.

Selain itu perlu ada kejelasan juga mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan restorative justice.  Penting juga untuk mengharmoniskan aturan hukum terkait kelembagaan, hukum pidana materil maupun hukum pidana formil nya. Sehingga keragu raguan petugas di lapangan tidak terjadi dalampelaksanannya. Demikian juga  subjektivitas penegak hukum dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif  juga dapat dihindari kemungkinan terjadinya.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar