Setuju Presidential Threshold 20 Persen, MA: Tuk Cerminkan Presiden RI

Senin, 20/12/2021 11:52 WIB
Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung (MA) disebut pernah mengadili soal presidential threshold dalam putusan judicial review yang diajukan Rachmawati Soekarnoputri dkk.

Alasannya, syarat presidential threshold itu untuk menyaring agar terpilih Presiden yang mencerminkan NKRI, bukan hanya faktor populer dan diusung oleh parpol minoritas.

Seperti melansir detik.com, kasus bermula saat Rahmawati mengajukan judicial review Pasal 3 ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5/2019 yang berbunyi:

Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.

MA mengabulkan sebagian permohonan Rachmawati dengan menghapus Pasal 3 ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5/2019 itu. Salah satu pertimbangannya adalah presidential threshold adalah untuk menyaring calon presiden yang mencerminkan keterwakilan dari berbagai daerah di Indonesia.

"Bahwa Negara Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai ragam latar belakang baik daerah/wilayah, suku bangsa, agama, budaya dan bahasa dengan penduduk yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," demikian kalimat pembuka MA dalam membuka pertimbangannya.

Kemajemukan ini, kata MA, terjalin dalam satu ikatan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat. Karenanya untuk mewakili keragaman penduduk Indonesia sekaligus menghindarkan dari dominasi atau hegemoni dari satu kelompok golongan masyarakat tertentu saja.

"Maka Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sepatutnya memiliki legitimasi yang kuat dan merata di seluruh tanah air," beber majelis judicial review yang diketuai Supandi.

"Sehingga (presidential threshold-red) menunjukkan Presiden terpilih nantinya akan mencerminkan Presiden NKRI yang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat pemilih dalam pemilihan umum baik dalam bentuk kuantitas maupun dukungan yang tersebar di provinsi-provinsi," sambung majelis yang beranggotakan Irfan Fachruddin dan Is Sudaryono.

Karenanya, original intent ketentuan a quo, mengatur mengenai adanya syarat minimal perolehan suara (presidential threshold) bagi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden yakni memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.

"Syarat perolehan tersebut menghendaki Bahwa Presiden yang dipilih oleh rakyat haruslah mencerminkan Presiden NKRI yang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat pemilih dalam pemilihan umum baik dalam bentuk kuantitas maupun dukungan yang tersebar di provinsi-provinsi dan pasangan calon Capres/Cawapres dalam konstelasi pilpres tidak hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah padat penduduk saja sedangkan daerah- daerah yang dianggap kurang strategis (luas secara geografis namun sedikit jumlah pemilihnya) terabaikan dan tidak terakomodir keinginan serta aspirasinya dalam proses kampanye mengenai visi, misi, dan program masing- masing peserta Pilpres," kata MA.

"Oleh karena Presiden Republik Indonesia ialah sebagai lambang NKRI dan simbol pemersatu bangsa," tegas majelis.

Bila presidential threshold dihapuskan, kata MA, maka tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari Pilpres hanya akan berfokus memenangkan Pilpres pada kemenangan di daerah-daerah strategis saja (pulau Jawa dan beberapa provinsi yang jumlah pemilihnya besar). Sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis, namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority.

"Yang tentunya justru bertolak belakang dengan maksud dibuatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan penjabaran ulang terhadap norma yang terkandung dalam Pasal 6A ayat 3 UUD 1945," beber MA.

Presidential threshold juga syarat yang logis dalam kontestasi Pilpres di negara Indonesia yang kondisi demografisnya merupakan negara kepulauan yang terbagi 34 provinsi dengan sebaran populasi penduduk setiap provinsinya tidak proporsional dengan beragam latar belakangnya, baik daerah/wilayah, suku, agama, dan budaya. Syarat tersebut, tidaklah menjadi sebuah syarat yang sulit untuk terpenuhi manakala kontestasi Pilpres hanya dikuti dua pasangan calon.

"Ketentuan tersebut telah dirumuskan dengan baik oleh pembentuk konstitusi dan UU Pemilihan Umum sehingga syarat perolehan suara (presidential threshold) tersebut tidak perlu direduksi pada rumusan ketentuan peraturan Komisi Pemilihan Umum objek Hak Uji Materiil a quo," ucap majelis.

Menurut MA, presidential threshold bukan untuk menghambat setiap orang bisa berpeluang menjadi capres. Namun sebagai syarat agar calon presiden nantinya mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat pemilih dalam pemilihan umum baik dalam bentuk kuantitas maupun dukungan yang tersebar di provinsi-provinsi.

Kini, preidential threhold kembali mengemuka. Sebab sejumlah nama mengajukan judicial review hal itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yaitu Ferry Joko Yuliantono, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan dua anggota DPD Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung.

Mereka meminta Pasal 222 UU Pemilu dihapuskan. Pasal itu berbunyi:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Menurut mereka, pasal di atas hanya memberikan tiket bagi parpol/gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR bisa mengusung capres. Atau parpol/gabugan parpol yang memperoleh 25 persen nasional. Pasal ini sedikitnya sudah 13 kali digugat dan MK bergeming. Berikut 13 gugatan tersebut dengan hasil semuanya menemui jalan buntu.

1. Perkara nomor 44/PUU-XV/2017. Alasan permohonan yaitu Pasal 222 sebagai pintu masuk kartel politik. Selain itu, baik syarat capres/cawapres dan tata cara pemilihan presiden dalam UUD 1945 tidak mengatur syarat threshold dan UUD 1945 tidak mendelegasikan UU untuk mengatur syarat threshold. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
2. Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017. Alasannya hasil Pileg 2014 sebagai syarat pengajuan capres/cawapres 2019 telah mencampuradukkan suara pemilih. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
3. Perkara 59/PUU-XV/2017, alasan Pasal 222 dapat menghalangi upaya untuk mengurangi politik transaksional. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
4. Perkara nomor 70/PUU-XV/2017, alasan permohonan koalisi tidak dikenal dalam sistem presidensil
karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada DPR. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
5. Perkara 71/PUU-XV/2017, alasan permohonan ambang batas pencalonan presiden merusak makna pemilu serentak sesuai putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
6. Perkara 72/PUU-XV/2017, alasan permohonan adanya threshold membatasi warga negara untuk menggunakan hak pilih secara cerdas untuk memilih capres/cawapres karena threshold menjadikan capres/cawapres terbatas. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
7. Perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018, alasan permohonan penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
8. Perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018, alasan permohonan menjadikan partai politik baru sebagai partai politik kelas 2, mendiskriminasi partai poltik baru. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima
9. Perkara 54/PUU-XVI/2018, alasan permohonan PT bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang tidak dapat dipisahkan dari Pembukaan UUD 1945. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
10. Perkara nomor 58/PUU-XVI/2018, alasan Presidential threshold mengebiri dan membatasi pemohon untuk mendapatkan calon alternatif presiden dan wakil presiden karena berpotensi besar terhadinya calon tunggal. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
11. Perkara Nomor 61/PUU-XVI/2018. Tidak jelas permohonannya sehingga tidak diterima karena tidak memiliki legal standing
12. Perkara 92/PUU-XVI/2018, alasan Presidential threshold mengharuskan presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik, sehingga pemohon tidak dapat mengakses menjadi presiden dari calon mandiri (perseorangan) karena harus diangkat oleh partai atau gabungan partai politik. MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima.
13. Perkaya dengan pemohon Rizal Ramli. Putusan tidak diterima.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar