Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Implikasi Putusan MK yang Menyatakan Inkonstitusional UU Cipta Kerja

Jum'at, 26/11/2021 07:55 WIB
Desmond J. Mahesa

Desmond J. Mahesa

Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Karena itu, MK memerintahkan agar pembentuk Undang Undang yaitu Pemerintah dan DPR memperbaiki UU Cipta Kerja.

Dalam putusannya, MK meminta kepada pembentuk Undang-Undang dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan tenggat waktu selama dua tahun, sejak putusan dibacakan di MK.Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang uji formil UU Cipta Kerja yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021).

“Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undany Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan,” kata Anwar seperti dikutip law-justice.co.

Bila tidak diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun, maka menjadi inkonstitusional secara permanen.“Menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali,” ujar Anwar.

Dengan adanya putusan MK tersebut,tentunya akan memaksa pemerintah dan DPR agar berhati-hati dalam membuat undang-undang supaya tidak di anulir oleh MK. Hati hati disini bermakna tidak mengabaikan tahapan dan tata cara pembentukan undang-undang termasuk isi undang undangnya atau substansinya.

Yang menarik dalam putusan MK kali ini adalah adanya putusan MK yang menyatakan bahwa UU Cipta kerja itu dinyatakan  inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki selama tenggat waktu dua tahun lamanya. Lalu makna Inkonstitusional bersyarat dan apa pula sesungguhnya implikasi dari keputusan MK yang menyatakan institusional bersyarat UU Cipta Kerja ?

Inkonstitusional Bersyarat

Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi secara normatif telah diatur dalam UUD 1945 Perubahan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

MKmemiliki kewenangan dalam hal menguji suatu undangundang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, kewenangan yang dimiliki oleh MK ini diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

“MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Adapun pengaturan mengenai putusan MK diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK  (“UU 24/2003”) yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK  (“Perpu 1/2013”) yang mana Perpu 1/2013 ini ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK Menjadi Undang-Undang.

Dalam kaitan tersebut, Achmad Roestandi dalam bukunya Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (hal. 213) menjelaskan ada 3 jenis amar dalam putusan MK:

  1. Tidak dapat diterima (Niet onvankelijk verklaard). Jika permohonan tidak mempunyai legal standing atau MK tidak mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan.
  2. Dalam hal permohonan dikabulkan, MK menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
  3. Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan.

Namun dalam perkembangannya, dengan  ketiga macam putusan MK (sebagaimana telah disebutkan di atas) akan sulit untuk menguji sebuah undang-undang. Karena sebuah undang-undang seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum. Padahal, di dalam rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah nanti pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Sedangkan MK dituntut untuk memutuskan apakah sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi.

Oleh karena itu, dalam perkembangannya, sebagaimana dijelaskan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK  dalam buku Model dan Implementasi Putusan MK dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012) (hal. 8-9), terdapat pula amar putusan lainnya dalam praktik di MK, yaitu:

  1. Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)
  2. Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitusional)

Sebuah pasal atau substansi dalam Undang Undang yang dimohonkan dianggap konstitusional bersyarat apabila pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama memenuhi syarat yang ditetapkan oleh MK. Jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka menjadi inkonstitusional.

Sebaliknya, dikatakan inkonstitusional bersyarat dalam hal pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional, akan tetapi pasal tersebut akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi.

Menurut Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK (hal. 9) menjelaskan putusan model inkonstitusional bersyarat merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi.

Dengan demikian pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK.

Putusan inkonstitusional bersyarat pertama kali dipraktikkan oleh MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK berpendapat bahwa pemberlakuan pasal-pasal tersebut melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), melanggar hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Oleh karena itu dalam amar putusannya MK menyatakan bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan UUD1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (i) tidak berlaku untuk jabatan yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) hari sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan nara pidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Saat ini keputusan inkonstitusional bersyarat itu kembali di ambil oleh MK untuk kasus UU Cipta Kerja.Oleh karena itu jika konsisten mengacu pada keterangan Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, maka sebagian materi UU Cipta kerja yang dimohonkan untuk diuji di MK tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi sehingga materi Undang Undang  yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK.

Dengan dasar pemahaman sebagaimana dikemukakan diatas wajar kalau kemudian organisasi buruh seperti Konfederasi Serikat Pekerja (KSPI) menilai, seluruh aturan terkait ketenagakerjaan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Cipta Kerja maupun aturan turunannya harus ditangguhkan pelaksanaannya. Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU tersebut inkonstitusional secara bersyarat, Kamis (25/11/2021). Hal itu diungkapkan KSPI melalui kuasa hukumnya dalam uji formil judicial review UU Cipta Kerja, Said Salahudin seperti dikutip kompas 25/11/2021.

Akan tetapi keputusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja dinyatakan  inkonstitusional bersyarat itu rupanya dipahami berbeda oleh pemerintah yang sekarang berkuasa. Pemerintah melalui Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers daring, Kamis, 25 November 2021, menyatakan bahwa UU Cipta kerja masih tetap  berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan oleh MK yaitu paling lama dua tahun setelah putusan dibacakan.

Pemerintah, ujar Airlangga, juga akan mematuhi putusan MK yang memerintahkan pemerintah tidak menerbitkan peraturan baru yang bersifat strategis sampai dengan dilakukan perbaikan atas pembentukan UU Cipta kerja.

"Dengan demikian, peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku. Selanjutnya pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK melalui penyiapan perbaikan undang-undang dan melaksanakan sebaik-baiknya arahan sebagaimana dimaksud dalam putusan MK," ujar Airlangga sebagaimana dikutip kompas 25/11/21.

Bukan hanya sampai disitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyatakan bahwa meskipun UU Ciptaker inkonstitusional, namun aturan pelaksananya tetap berlaku. Hal itu, kata dia, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dengan demikian, peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku," kata Airlangga saat konferensi pers, Kamis sebagaimana dikutip law-justice.co (25/11/2021).

Implikasi Putusan MK

Keputusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja Inskonstitusional bersyarat ternyata memang dipahami secara berbeda oleh pihak pihak terkait sesuai dengan kepentingannya. Dalam hal ini pemerintah memaknai UU Cipta kerja termasuk aturan pelaksanannya tetap dinilai konstitusional meskipun telah dinyatakan inkonstitusional. Sementara pihak lain seperti kalangan buruh menilai bahwa yang namanya inkonstitusional ya inkonstitusional sehingga ketentuan lama sebelum berlaku UU Cipta kerja harus kembali berlaku seperti semula.

Menurut hemat saya, UU Cipta Kerja memang cacat hukum. Menyoal cacat hukum, sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua, yakni cacat materiil dan cacat formil yang kemudian terhadap dugaan cacat hukum ini dapat diajukan judicial review ke MK.

Secara garis besar, pengujian konstitusionalitas undang-undang dapat dilakukan secara materiil (materiele toetsing) atau secara formil (formele toetsing).Pengujian secara materiil adalah pengujian yang berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang. Sementara pengujian secara formil adalah pengujian yang berkaitan dengan apakah proses pembuatan undang-undang telah sesuai atau tidak dengan prosedur yang ditetapkan.Apabila undang-undang itu terbukti cacat secara materiil maupun formil, maka implikasinya adalah pembatalan sebagian atau keseluruhan undang-undang tersebut.

Dalam kaitan dengan UU Cipta kerja sudah dinyatakan UU tersebut cacat secara formil dan juga materiilnya. Secara formil /procedural UU Cipta kerja dianggap menyalahi ketentuan UU nomor 12 tahun 2011  tentang pembentukan Peraturan Perundang undangan sebagaimana telah dirubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sementara itu secara materil Sebagian substansi UU Cipta kerja dinilai bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Dengan adanya cacat formil dan materiil tersebut sebenarnya MK bisa langsung membatalkan UU Cipta Kerja dan kemudian memerintahkan pembuat UU untuk memperbaikinya. Kekosongan hukum tidak mungkin terjadi karena MK dapat memberlakukan peraturan yang lama.

Tapi anehnya meskipun MK menyatakan UU Cipta kerja dinyatakan  Inkonstitusional, namun MK juga  menyatakan bahwa  UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan yaitu dua tahun.

Menurut hemat saya, karena UU Cipta Kerja dinilai cacat formil maka langkah yang perlu dilakukan segera adalah -perbaikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, agar praktik bermasalah UU Cipta Kerja tidak kembali terulang. Dalam hal ini yang mendesak dilakukan adalah revisi UU 12 tahun 2011  tentang pembentukan Peraturan Perundang undangan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Revisi UU No. 15 /2019 perlu dilakukan untuk memberikan dasar landasan yuridis bagi pembentukan Undang Undang dengan sistem omnibuslaw yang selama ini memang belum ada ketentuan yang mengaturnya. Sementara itu secara materiil perlu dilakukan pengkajian terhadap substansi UU Cipta kerja yang tidak sejalan atau bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Sementara dilakukan revisi revisi UU No. 15 /2019 dan pengkajian substansi UU Cipta Kerja, maka Undang Undang Cipta kerja yang telah disahkan harus dinyatakan secara tegas tidak mempunyai kekuatan hukum alias inkonstitusional. UU Cipta Kerja dianggap berlaku manakala sudah ada perbaikan perbaikan agar sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Dengan dua langkah kebijakan tersebut sepertinya pembentukan UU Cipta kerja harus dimulai dari awal dan tidak bisa dilakukan secara tergesa gesa sehingga menghilangkan kesan aji mumpung ditengah pandemi virus corona.

Demi kepastian hukum dan keadilan tidak ada salahnya hal itu dilakukan agar produk Undang Undang yang dibuat oleh DPR Bersama  pemerintah menjadi valid dan jelas Undang Undang tersebut dibuat untuk siapa. Bukan Undang Undang yang dibuat secara “siluman” memanfaatkan pandemi virus corona. Bagaimana menurut pendapat Anda ?

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar