Mau Jual Saham Mayoritas Garuda, Kementerian BUMN Minta Restu DPR

Rabu, 10/11/2021 14:02 WIB
Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo (Foto: Tribune)

Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo (Foto: Tribune)

Jakarta, law-justice.co - Terkait masalah keuangan yang dialami maskapai nasional PT Garuda Indonesia kini makin memasuki babak baru.

Komisi VI DPR RI pun memanggil pihak Kementerian BUMN dan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero), Irfan Setiaputra.

Dalam rapat tersebut, Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo membeberkan kondisi keuangan maskapai pelat merah saat ini. Termasuk besaran utang mencapai Rp 98 triliun yang membelit Garuda.

Selain meminta dukungan dalam rangka melakukan langkah restrukturisasi perusahaan, Tiko dalam rapat tersebut juga meminta restu dari Komisi VI.

Restu ini dalam hal kemungkinan opsi dilusi alias penurunan persentase kepemilikan saham.

"Kami mohon dukungan pendapat bapak/ibu sekalian, apabila ada pemegang saham baru apakah kita diperbolehkan untuk melakukan dilusi daripada kepemilikan pemerintah," ujar Tiko meminta pendapat anggota Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11).

Ia memberi sinyal, bahkan pemerintah kemungkinan besar tidak akan menjadi pemegang saham mayoritas lagi di maskapai penerbangan nasional ini.

"Bahkan mungkin pemerintah menjadi tidak mayoritas lagi, jadi kami mohon dukungan dari bapak, ibu sekalian," sambungnya.

Wamen BUMN juga mengatakan, saat ini langkah penyelamatan Garuda juga lebih dari setengah kuasanya bergantung terhadap kreditur. Hal ini lantaran besarnya kewajiban utang yang menjadi beban maskapai.

Sementara untuk melakukan restrukturisasi, Garuda setidaknya membutuhkan pendanaan dari pemerintah sebesar USD 527 juta atau setara Rp 7,5 triliun.

Ini bisa terdiri dari pendanaan interim senilai USD 90 juta dalam bentuk senior secured loan, serta pendanaan tambahan sebesar USD 437 juta sebagai bentuh kebutuhan dana setelah proses restrukturisasi selesai.

"Selain itu apabila pendanaan yang tersedia untuk Garuda masih belum cukup, maka Garuda akan melakukan proses penggalangan dana dari pihak ketiga yang memungkinkan terjadinya dilusi atas kepemilikan pemerintah," pungkas Tiko.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar