Serampangan hingga Biaya Bengkak, Ini 7 Masalah Proyek Kereta Cepat

Senin, 11/10/2021 12:26 WIB
Presiden Jokowi dan Proyek Kereta Cepat. (Pinterpolitik).

Presiden Jokowi dan Proyek Kereta Cepat. (Pinterpolitik).

Jakarta, law-justice.co - Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tiba-tiba menjadi sorotan publik. Pemicunya karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan aturan baru mengenai pembangunan proyek tersebut.

Aturan itu berbentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta-Bandung

Melalui aturan itu, Jokowi mengubah beberapa kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan proyek yang kemungkinan besar menelan dana sampai Rp114 triliun tersebut.

Perubahan mulai dari pimpinan konsorsium proyek dari semula PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.

Lalu, mengubah trase jalur pembangunan proyek dari Jakarta-Walini-Bandung menjadi Jakarta-Padalarang-Bandung. Kemudian, menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menjadi pimpinan komite percepatan proyek.

Selanjutnya, merestui penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui penyertaan modal negara (PMN) dan penjaminan pemerintah dalam proyek tersebut. Padahal sebelumnya, Jokowi berjanji proyek ini tidak akan menggunakan dana negara.

Perubahan aturan ini pun membuat berbagai masalah yang mewarnai pelaksanaan proyek itu kian terbuka ke publik. Lantas apa saja masalah di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung? Berikut ulasannya seperti melansir cnnindonesia.com:

1. Pembangunannya Berjalan Lamban dan Molor dari Target

Pemerintah pada awal pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung menargetkan proyek kelar pada 2019. Tapi, hingga kini proyek belum juga selesai.

Perkembangan terbaru, pemerintah menargetkan proyek baru kelar pada 2022 mendatang.

2. Perhitungan Investasi yang Kurang Cermat

Masalah kedua berkaitan dengan pendanaan. Perhitungan KAI selaku salah satu anggota konsorsium yang terlibat dalam proyek itu, Kereta Cepat Jakarta-Bandung butuh dana US$8 miliar atau Rp114,24 triliun.

Dana itu lebih besar jika dibandingkan dengan yang terdapat dalam proposal dari China saat menawarkan proyek itu ke Indonesia. Pasalnya, dalam proposal, China hanya menawarkan nilai investasi US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS)

Kebutuhan dana proyek juga meningkat karena Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun sampai 1 September lalu. Padahal, setoran itu seharusnya dilakukan sejak Desember 2020.

Jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar Rp4,1 triliun. Untuk itu, KAI mengajukan penundaan setoran menjadi Mei 2021.

Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan dari konsorsium kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC), baik terkait penundaan setoran maupun permintaan restrukturisasi kredit proyek.

3. Pernah Mengabaikan Aspek Keselamatan

Setelah proyek berjalan, tiba-tiba Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengungkapkan proyek mengabaikan aspek keselamatan. Pasalnya, proyek akan berdiri di lahan labil dan rawan yang rentan longsor, apalagi jika ingin dibangun untuk jembatan dan terowongan bawah tanah.

Tak hanya itu, menurutnya, desain proyek juga belum mengantongi sertifikasi dari Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan. Masalah lahan sempat dibenarkan oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga belum lama ini.

"Ada masalah lahan dan adanya perubahan desain karena kondisi geografis dan geologis," ujar Arya.

Tapi, proyek ini tetap diupayakan berjalan dengan berbagai cara. Bahkan, ia mencatat progres akhir pelaksanaan proyek sudah hampir 80 persen, meski tak dirinci secara jelas.

4. Akhirnya APBN Dilibatkan dalam Proyek

Presiden Jokowi pernah berjanji proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tak akan menggunakan dana APBN. Karena kebijakan itulah, pemerintahannya memilih proposal yang ditawarkan China.

Pasalnya, pemerintah menilai proposal yang diajukan China memberikan banyak keunggulan. Pertama, tawaran nilai proyek yang hanya US$5,5 miliar atau lebih murah dari Jepang yang menawarkan US$6,2 miliar.

Kedua, dalam proposal mereka, China tidak meminta adanya jaminan pemerintah maupun pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). China juga menjanjikan subsidi tarif dan cost overrun yang nanti menjadi tanggung jawab joint venture company.

Tawaran berbeda dengan Jepang yang meminta ada jaminan pemerintah, dan risiko ditanggung pemerintah. Tapi, janji itu kemudian diralatJokowi. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 ia justru memutuskan akan memberikan suntikan dana negara ke proyek ini.

"Pendanaan lainnya dapat berupa pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal," kata Jokowi dalam Pasal 4 ayat 2 Perpres 93/2021.

5. Berpotensi Bebani Negara

Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo pernah memperkirakan kebutuhan dana yang bengkak berpotensi membebani keuangan negara. Potensi ini muncul dari hasil kajian konsultan independen.

"Apa yang akan terjadi dengan pola operasi kereta cepat ini apabila dibiarkan seperti ini? Kekhawatiran Bapak sekalian akan membebani keuangan negara, persis akan terjadi," kata Didiek.

6. Komunikasi Tak Lancar

Di sisi lain, Didiek menilai komunikasi antara Indonesia dan China kurang lancar karena pemimpin proyek, Wika, sejatinya merupakan perusahaan konstruksi, bukan perusahaan di bidang kereta api. Namun, membangun proyek kereta cepat.

"Selama ini komunikasi antara Indonesia dan China tidak smooth, sekarang bisa bayangkan lead proyek ini adalah Wijaya Karya, itu perusahaan konstruksi sekarang yang dibangun kereta api," tuturnya.

Tumpukan masalah ini kemudian membuat Jokowi mengubah kebijakannya. Mantan gubernur DKI Jakarta itu merombak konsorsium dan membentuk komite percepatan proyek.

7. Pembangunan Serampangan dan Bisa Membahayakan Keselamatan Pengguna Jalan

Pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung berjalan serampangan. Itu salah satunya terjadi pada pembangunan pilar LRT yang dikerjakan oleh PT KCIC di KM 3 800.

Kementerian PUPR mengatakan pembangunan pilar dilakukan tanpa izin dan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Selain itu, PUPR juga menilai bahwa pengelolaan sistem drainase dari pengerjaan proyek tersebut buruk karena tidak dibangun sesuai kapasitas.

Akibat masalah itu, proyek telah menimbulkan genangan air pada Tol Jakarta-Cikampek dan kemacetan pada ruas jalan tol.

Karena itulah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Komite Keselamatan Konstruksi sempat menghentikan pelaksanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dikerjakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Penghentian dilakukan melalui penerbitan surat bernomor BK.03.03-Komite k2/25 yang dikeluarkan pada 27 Februari 2020.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar