Kecurigaan di Balik Perpanjangan Masa Jabatan Hakim MK Jadi 15 Tahun

Kamis, 16/09/2021 12:14 WIB
Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Jakarta, law-justice.co - DPR RI dan Presiden Joko Widodo mengesahkan UU Mahkamah Konstitusi (MK) dengan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi dari 5 tahun menjadi 15 tahun.

Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar menduga-duga jangan-jangan ada maksud tertentu yaitu DPR-Presiden sedang meng-entertain hakim konstitusi saat ini.

"Yang Mulia, saya memahami permohonan ini, itu ada 2 basis besar, yaitu pengujian formil dan pengujian materiil. Pengujian formil itu bicara soal penyelundupan hukum, ya, tidak memenuhi syarat carry over, pelanggaran asas pembentukan peraturan perundang-undangan, revisi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, dan proses pembahasan tidak memenuhi aspirasi publik, dan revisi undang-undang berdasarkan undang-undang yang invalid," kata Zainal.

Hal itu tertuang dalam risalah sidang yang dilansir MK, Kamis (16/9/2021). Sidang ini atas permohonan Dosen FH UII Allan Fatchan, advokat Priyanto, Raden Violla Reinida Hafidz, Ihsan Mualana, Rahmah Mutiara, Korneles Materay, Beni Kurnia Ilahi, Giri Ahmad Taufik, dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh.

"Nah, yang saya mau bilang sebenarnya adalah mari kita lacak kembali, apa sih sebenarnya tujuan besar di balik perubahan undang-undang? Dan menurut saya mudah membahasakannya bahwa tidak untuk kepentingan Mahkamah Konstitusi (MK) secara kelembagaan," kata Zainal.

"Bahwa itu bisa jadi menguntungkan 1, 2 hakim, wallahualam," sambung Zainal yang juga pengajar FH UGM itu.

Berubahnya masa jabatan hakim konstitusi dan syarat minimal hakim konstitusi menjadi perdebatan tanpa dasar. UU terbaru menaikkan usia minimal 47 tahun menjadi 55 tahun. Namun Zainal mencontohkan hakim konstitusi Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi di usia 55 tahun tapi berakhir di penjara karena menerima suap.

"Saya mungkin mohon maaf, sekadar mengingatkan Pak Yang Mulia mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar itu terpilih dalam usia 55 dan sama saja. Tetap saja mohon maaf, dia kemudian ditangkap dalam sebuah proses yang tidak benar," papar Zainal.

Atas dasar itu, tidak ada alasan rasional dan tepat menaikkan minimal hakim konstitusi dan memperpanjang jabatan selama 15 tahun dan baru pensiun di usia 70 tahun.

"Jadi, mohon maaf, saya ingin mengatakan bahwa saya tidak melihat berkaitan dengan usia 55 atau 15 tahun pengabdian ini adalah wilayah yang yang pas. Apalagi, ya, kalau kita mau lihat ketentuan- ketentuan yang hadir misalnya Pasal 87A yang tadi cerita bisa berimplikasi tidak baik," cetus Zainal.

Atas pertimbangan di atas, Zainal tidak bisa menampik dugaan negatif atas hadirnya UU MK baru itu. Zainal menduga ada kepentingan terselubung di balik UU MK itu.

"Menurut saya itu menjadi praktik yang semakin orang akan memperdebatkan soal jangan- jangan yang sedang, jangan-jangan, Yang Mulia, mohon maaf sekali lagi. Jangan-jangan lagi yang sedang disenangkan ini atau yang entertain hanya hakim konstitusi. Karena kemudian ada satu pasal, yang dipakai secara einmalig, sekali pakai," tutur Zainal.

"Nanti akan dituduh menjadi entertain, mengentertain saja yang namanya para hakim konstitusi," sambung Zainal.

Sebelumnya, dosen FH UII Yogyakarta, Allan Fatchan, menggugat UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK ke MK. Allan meminta batas minimal hakim konstitusi diturunkan dari minimal 55 tahun menjadi 47 tahun.

"Menyatakan Pasal I angka 6 yang menghapus Pasal 22 UU MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai `masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya`," demikian bunyi petitum Allan dalam berkas permohonannya.

Allan menilai UU MK yang baru itu berpotensi mengakibatkan hakim konstitusi tersebut terjebak dalam konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pembentuk UU. Sementara produk dari pembentuk undang-undang merupakan objek in litis dalam pengujian undang-undang di MK.

"Dengan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pembentuk undang-undang berpotensi mengganggu independensi dan impartialitas hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan dalam melakukan pengujian undang-undang sehingga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan `kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan`," paparnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar