Warga Tunisia Ricuh, Presiden Amandemen UUD dan Bubarkan Parlemen

Minggu, 12/09/2021 15:00 WIB
Presiden Tunisia Kais Saied (AFP)

Presiden Tunisia Kais Saied (AFP)

Tunisia, law-justice.co - Presiden Tunisia Kais Saied mengumumkan rencana mengamendemen konstitusi serta membentuk pemerintahan baru. Hal itu dilakukan setelah memecat perdana menteri dan menangguhkan parlemen dalam gerakan yang dinilai sebagai kudeta.


Rencana itu diumumkan Saied kepada dua stasiun televisi pada Sabtu (11/9/2021). Ia menyatakan akan membentuk pemerintahan baru sesegera mungkin setelah memilih orang-orang berintegritas tinggi.

Kendati demikian, ia enggan mengungkapkan detail waktu pemilihan atau pembentukan pemerintahan barunya.

Tak hanya itu, ia juga menekankan konstitusi negaranya perlu diubah.

"Rakyat Tunisia menolak konstitusi. Kami bisa memperkenalkan amendemen," kata Kais Saied seperti dilansir AFP pada Minggu (12/9/2021).

Kais Saied terpilih menjadi Presiden Tunisia pada 2019. Ahli teori hukum dan mantan profesor hukum itu menyebut dirinya sendiri sebagai penafsir utama konstitusi.

Pada 25 Juli 2021, dia menggunakan kekuasaannya untuk memecat perdana menteri, pembekuan parlemen, dan mengambil alih semua kekuasaan eksekutif. Hal itu dilakukan karena mereka dinilai tak becus menangani pandemi virus corona di Tunisia.

Parlemen akan ditangguhkan selama 30 hari ke depan meski tak menutup kemungkinan dapat diperpanjang jika dibutuhkan "sampai situasi kembali kondusif".

Saied juga menangguhkan imunitas anggota parlemen dengan berkeras bahwa aksi-aksinya itu sejalan dengan konstitusi negara.

Sementara itu, konstitusi Tunisia sendiri menerapkan sistem demokrasi parlementer yang sebenarnya membatasi kekuasaan presiden, terutama dalam hal isu keamanan nasional dan diplomasi.

Dalam konstitusi Tunisia, presiden juga duduk sebagai kepala negara sementara perdana menteri duduk sebagai kepala pemerintahan.

Aksi dramatis Saied tersebut memicu kerusuhan dan demonstrasi besar di Tunisia hingga membuat Tunisia menghadapi krisis politik terbesar sejak gerakan sipil terjadi di beberapa negara Timur Tengah pada 2011 lalu. Gerakan itu dikenal dengan istilah Arab Spring.

Sejak Arab Spring, Tunisia didera perpecahan politik dan perkembangan perekonomian yang lesu. Salah penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah dinilai banyak pihak memperburuk kesengsaraan ekonomi negara hingga mengakibatkan tingkat pengangguran terus meningkat.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar