Dr. KH. Muhammad Hidayat Nur Wahid, Lc., M.A.

Kiai Politik yang Mendunia

Sabtu, 24/07/2021 14:21 WIB
Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid. (Foto: Facebook HNW).

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid. (Foto: Facebook HNW).

law-justice.co - Hidayat Nur Wahid atau yang akrab disapa HNW ditabalkan sebagai Ketua MPR RI di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama. Menyambut amanah sebagai pimpinan MPR di tahun 2004, HNW pun melepaskan jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Alumni Timur Tengah ini adalah satu-satunya dai di Indonesia yang mampu melintasi karir di dunia politik hingga menempati pucuk pimpinan di MPR RI.

HNW tak hanya dikenal sebagai politisi, kapabilitasnya di bidang agama juga diakui di dunia Internasional. Pada Juni 2012, HNW duduk di Liga Muslim Dunia (Rabithah Alam Islami) sebagai perwakilan Indonesia. Semasa menjabat sebagai Ketua MPR RI pula, dia rutin menjadi pembicara dalam acara Titian Semangat di RCTI, sebuah program gelar wicara masalah-masalah kemasyarakatan dipandang dari perspektif Islam.

Di Kebon Dalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Muhammad Hidayat Nur Wahid lahir pada 8 April 1960. Pria yang kini kembali menjabat sebagai pimpinan MPR RI ini memiliki cita-cita sebagai dokter di masa kecil. Akan tetapi, perjalanan hidupnya justru mengantarkan dia ke dunia politik, dunia yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan sebagai cita-cita hidup.

Dibandingkan politik, sosok HNW justru lebih relevan dengan dunia dakwah. Hal ini berkaca dari latar belakang keluarganya yang juga aktif di dunia keagamaan. Kakek Hidayat dari pihak ibu berafiliasi dengan organisasi Islam Muhammadiyah, sementara ayahnya, H. Muhammad Syukri, seorang guru lulusan IKIP Yogyakarta, juga menjadi pengurus di organisasi tersebut. Ibunda HNW, Siti Rahayu, merupakan aktivis Aisyiyah, sayap kewanitaan Muhammadiyah dan seorang guru Taman Kanak-kanak.

Besar di lingkungan keluarga yang religius, oleh keluarganya HNW dikirim ke pondok pesantren modern Gontor setelah lulus dari SD Negeri Kebondalem Kidon pada 1972. Tamat dari Gontor tahun 1978, HNW terbang ke Madinah, Arab Saudi, untuk melanjutkan studinya. HNW belajar di negeri petro dollar itu selama kurang lebih 13 tahun lamanya. Dalam kurun waktu tersebut ia belajar di fakultas Dakwah Ushuluddin dan berhasil menyelesaikan sarjana dengan predikat cumlaude pada 1983. Di universitas yang sama, HNW melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister (lulus 1987) dan doktor (lulus 1992). Sebelum ke Arab Saudi, HNW sempat berkuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selama setahun, lalu terbang ke Saudi karena mendapatkan beasiswa.

Dengan latar pendidikan agama yang melintang jauh ke Timur Tengah, HNW tumbuh sebagai sosok yang dikenal bermoral dan moderat, terutama setelah ia menjadi politisi. Ia kini tak lagi hanya milik PKS, tapi sudah menjadi milik bangsa. Setelah PKS mengambil sikap sebagai oposisi pemerintah, yakni selama 7 tahun setelah Joko Widodo menjabat sebagai presiden, HNW aktif memberikan kritik untuk pemerintah. Tata kelola birokrasi dan kebijakan bantuan sosial kerap kali menjadi sorotannya.

Di masa pandemi ini, perhatian HNW terhadap kondisi bangsa makin serius. Skema bantuan sosial yang digulirkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara menjadi objek yang paling disorotinya. Hal ini mengingat Juliari terbukti melakukan korupsi bantuan sosial sembako dengan modus memungut biaya sebesar Rp10 ribu per paket pada 2020. KPK menyatakan politikus PDI Perjuangan itu menilap uang negara lebih dari Rp32 miliar. HNW mengecam keras perbuatan itu dan menyebutnya sebagai perbuatan tidak manusiawi, terlebih dilakukan di masa pandemi di mana kondisi ekonomi masyarakat telah jatuh ke jurang kemiskinan.

Pertama sangat disayangkan, meskipun corona ini sebuah virus yang baru menerpa seluruh dunia, tetapi bagi Pak Jokowi bukan kali pertama jadi presiden. Justru ini terjadi di periode kedua dia sebagai presiden dan dihadapi dengan pandemi semacam ini kepemimpinan beliau sebagai kepala negara diuji dan menurut saya menghadirkan kegagapan yang luar biasa.

Bahkan presiden sendiri membuat pernyataan bahwa Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia. Bahkan sempat menelpon Presiden China Xi Jinping untuk menawarkan bantuan dari Indonesia. Luar biasa itu, (begitu) percaya dirinya bahwa Covid-19 tidak akan sampai ke Indonesia dan ditambah lagi dengan pernyataan Menkopolhukam, Menko Marves, Menko PMK, dan Menko Perekonomian.

Semua Menko ini mengeluarkan pernyataan betapa Indonesia sangat meremehkan potensi Covid sampai ke Indonesia.

Pak Mahfud (Menkopolhukam) sampai goyang ubur-ubur. Terus ada yang mengatakan bahwa corona tidak akan masuk ke Indonesia karena birokrasinya susah. Kemudian Pak Luhut (Menko Marves) bilang emangnya virus itu kayak mobil bisa datang ke Batam. Menteri Kesehatannya malah lebih parah lagi, dia bilang bohong itu Harvard mengatakan virus sudah datang ke Indonesia. Dia malah nantang Harvard.

Bahkan kemudian dia mengatakan enggak perlu pakai masker, nanti akan mati sendiri. Itu menandakan bahwa awalnya saja sudah bermasalah, seperti bisa kita lihat sekarang kebijakannya juga jadi sangat bermasalah.

Bagaimana dengan kebijakan yang sudah digulirkan?

Sejak dari awal Gubernur Anies Baswedan sudah bilang DKI Jakarta akan lockdown, tapi ditolak dengan menteri-menteri itu dengan beragam hal. Seandainya waktu itu lockdown mungkin akibatnya tidak seperti sekarang. Sejak dari awal, pernyataan publik, sikap publik, dan manajemen penanganan Covid-19 ini sangat tidak memuaskan. Kemudian berakibat pada wabah berkelanjutan dan menyebar ke mana-mana.

Padahal sejak dari awal, pemerintah sudah membentengi diri dengan Perppu Corona dan sekarang menjadi UU Nomor 1 Tahun 2020, itukan intinya memberi hak luar biasa bagi pemerintah untuk mengelola keuangan terkait dengan corona, bahkan sampai tidak bisa dituntut pengadilan, atau tidak bisa dituntut sebagai kerugian negara.

Beratus triliun, bahkan terakhir menurut BPK sudah mencapai 1.000 triliun lebih uang negara yang sebagian diambil dari utang dipergunakan katanya untuk menyelesaikan Covid-19. Tetapi buktinya yang terjadi ada korupsi oleh Menteri Sosial (Juliari Batubara). Kan aneh sekali. Tapi dalam tanda kutip tidak ada sanksi tegas dari Presiden Jokowi untuk menterinya yang korupsi pada kondisi krisis pandemi.

Harusnya beliau memberi reaksi keras, bukan hanya sanksinya oleh KPK. Ini sangat mencederai. Padahal dengan adanya Perppu itu menandakan pemerintah sangat serius. Tapi kemudian ketika terjadi korupsi besar-besaran, tidak ada tindakan apapun kecuali ya memang seharusnya diganti (menterinya). Tapi itukan bukan `sanksi` apapun.

Sampai hari ini pun (penanganan pandemi) masih saja centang perenang. Menko PMK bilang bahwa PPKM Darurat akan diperpanjang sampai Juli. Kemudian Menko Marves bilang tidak diperpanjang. Kalau diperpanjang malah buat mati. Kemudian Pak Jokowi memperpanjang sampai 5 hari. Tapi enggak jelas juga apa tolok ukurnya mengapa diperpanjang misal sampai tanggal 25.

Yang terutama sekali, target yang ingin dicapai oleh Menko Marves yang juga Koordinator PPKM Darurat itu, sama sekali tidak terpenuhi. Dan tidak ada sanksi, tetap saja dia diberi tongkat kepemimpinan untuk mengkoordinir.

Target jelas tidak terpenuhi. Target kasus corona akan melandai di akhir Juni tidak terpenuhi, kemudian target vaksinasi 1 juta sehari tidak terpenuhi. Bahkan yang terjadi korban yang meninggal sampai menembus rekor. Kalau dikatakan sedang turun, ya turun karena yang diperiksa juga turun drastis.

Itu bentuk ketidaktanggungjawaban yang lain. Menghindar dari tanggung jawab yang seharusnya dia ambil. Juga karena tidak mau menggunakan UU Kekarantinaan, salah satu turunannya adalah lockdown. Itu karena tidak mau mengambil tanggung jawab terkait dengan pembiayaan.
Kami sangat kecewa. Berkali-kali saya selalu mengingatkan bahwa negara diperintahkan oleh konstitusi untuk melaksanakan kewajibannya melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk dari Covid-19. Kewajiban negara ini sayang sekali belum dilaksanakan. Padahal sudah pakai Perppu, sudah dikasih UU sekalipun, kemudian beribu triliun uang APBN sudah dipakai, tapi yang terjadi ada korupsi, target tidak terpenuhi, virus semakin membesar, dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah kepercayaan publik terhadap presiden menurun drastis.

Dalam survei terakhir LSI (Lembaga Survei Indonesia), menyebutkan kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi turun pada titik terendah sepanjang masa ia memimpin. Bukan hanya survei Indonesia secara konkret, banyak negara yang menutup pintu orang yang datang dari Indonesia termasuk yang hanya transit di Indonesia. Baru kali ini Indonesia dibegitukan oleh negara-negara lain.

Banyak negara sudah mengevakuasi warganya dari Indonesia, baru kali ini loh. Belum pernah ada peristiwa apapun kemudian negara-negara mengevakuasi warganya dari Indonesia. Terakhir Arab Saudi melarang warganya ke Indonesia atau transit di Indonesia. Ini sangat disesalkan.

Keadaan seperti ini terjadi di mana-mana, bahkan di India lebih dahsyat lagi. Begitu pun juga di Amerika. Tapi toh mereka bisa mengatasi. Saya sangat menyesalkan, di periode kedua Pak Jokowi, ketika terjadi Covid-19 harusnya beliau sudah punya pengalaman mengelola masalah. Tapi yang terjadi malah berkepanjangan.

Bagaimana postur birokasi negara setelah pandemi melanda?

Kalau Pak Jokowi secara lisan kan ingin cepat, ingin cepat, harus segera. Di satu pihak memang ada badan negara yang dibubarkan oleh pemerintah. Tapi faktanya juga ada beberapa Kementerian dan komponen kementerian yang ditambah.

Kita tahu ada lembaga negara baru namanya Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kemudian ditambah lagi ada Wakil Menteri, itu birokrasi juga.

Kemudian ketidakjelasan policy (kebijakan) pemerintah mengatasi pandemi ini mengakibatkan pada birokrasi yang juga bermasalah. Misalnya, siapa yang (layak) bertanggungjawab untuk menjadi koordinator (PPKM Darurat), yang ditunjuk malah Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan. Padahal wabah ini urusannya dengan masalah sosial dan kesehatan. Itu kan seharusnya Menko PMK.

Ini bisa menimbulkan masalah, bagaimana mungkin yang dipilih itu menteri di bidang investasi. Pak Luhut juga bilang, saya bukan spesialisasi masalah kesehatan dan ekonomi, ya seharusnya ditolak dong. Tapi dia nyaman aja tuh berkali-kali diamanatkan dan berkali-kali gagal.

Juli tahun 2020 dia juga sudah pernah ditunjuk oleh presiden untuk menurunkan angka kasus tapi nyatanya enggak selesai. Tetap saja ditunjuk dan menerima penunjukkan.

Itu juga bentuk birokrasi yang bermasalah. Jadi birokrasi yang benar adalah birokrat itu bisa menunjuk orang yang tepat dan orang yang ditunjuk pun juga merasa dirinya tepat dan melaksanakan dengan tepat. Tapi ini semuanya yang terjadi tidak. Jadi menurut saya di birokrasi juga centang perenang.

Bagaimana dengan birokrasi bantuan sosial yang menuntut kecepatan bertindak?

Birokrasi yang juga bermasalah adalah bantuan sosial. Sampai titik ini juga masih ada masalah yang serius. Masalah itu adalah validasi dan verifikasi data yang berhak menerima bantuan sosial. Ini enggak selesai sampai dengan hari ini.

Menteri Sosial (Tri Rismaharini) pernah melapor ke KPK, aneh juga melapornya ke KPK bukan Komisi VIII DPR. Kemensos melaporkan ke KPK ada 21 juta data penerima bantuan sosial itu sudah dikoreksi, tapi kemudian itu tidak pernah dirapatkan di Komisi VIII, apalagi keseluruhannya belum pernah.

Sementara perbaikan data itu sendiri menghadirkan birokrasi yang kacau. Harusnya basis data itu kan awalnya dari daerah, dari RT, RW, Lurah, Camat, begitu seterusnya. Dengan demikian data itu faktual dan juga bisa cepat diperbaiki jika ada yang bermasalah.

Sebenarnya perbaikan sudah dilakukan dari daerah-daerah, tapi mereka mengeluh bahwa kemudian ada realisasi program. Ternyata, data umpan balik yang diberikan Kemensos, bukan seperti yang mereka laporkan. Berbeda lagi dan kacau lagi, di daerah nanti bisa menimbulkan konflik dengan warganya. Warga merasa sudah didata, dan data itu sudah diberikan ke pihak kelurahan. Tapi dari pusat datanya beda, kan berantem itu jadinya antar warganya.

Ini juga birokrasi datanya sangat bermasalah dan belum ada penyelesaiannya sampai hari ini. Padahal, katanya, Menteri Keuangan menambah Rp10 triliun untuk perlindungan sosial, kemudian Pak Jokowi tambah lagi Rp55 triliun. Itu nanti bagaimana pertanggungjawaban datanya?

Kalau kemudian datanya tidak jelas, tidak valid, kemudian dana ditambah terus, itu potensial mengulangi masalah sebagaimana yang terjadi sebelumnya.

Oleh karenanya, saya mengingatkan, daripada Bu Risma itu blusukan ke mana-mana bahkan marah di mana-mana, lebih bagus duduk dengan Komisi VIII dan selesaikan itu masalah validasi data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) karena itu akan menjadi induk semuanya. Kalau datanya enggak beres, itu potensial semua programnya juga enggak akan beres.

Memang terbukti seperti yang disampaikan PT Pos, yang menjadi mitra Kemensos untuk menyalurkan BST. Targetnya kan 10 juta warga, ternyata menurut PT Pos sampai tanggal 20 Juli, artinya hari terakhir PPKM Darurat, yang baru mendapat surat perintah penyaluran baru sekitar 2,3 juta sekian.

Bayangkan, sementara PPKM tinggal hanya beberapa hari lagi. Padahal sekarang dikatakan akan ditambah lagi anggarannya untuk bantuan sosial, bagaimana nanti itu semua bisa berhasil dan bagaimana pengawasannya?

Menko Marves Luhut Panjaitan mengatakan Indonesia sulit menjadi negara maju karena negara-negara adidaya menghalanginya?

Saya tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Itu pernyataan hanya untuk mengakali saja dan pembenaran atas kegagalan-kegagalan yang sudah terjadi. Itu namanya melempar batu sembunyi tangan.

Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun. Coba kita lihat Bung Karno, saat itu ekonomi Indonesia masih suram, semua infrastruktur juga masih belum ada. Kemudian juga ada pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur, buktinya dia berani menjadi tokoh non blok. Bung Karno menjadikan Indonesia sangat harum dan terhormat. Sampai hari ini Indonesia tetap disegani apalagi di negara-negara Asia Afrika. Nama Bung Karno begitu harum di negara-negara lain.

Tidak sewajarnya beliau (Luhut) membuat analisa itu apalagi dia seorang mantan tentara. Harusnya yang dia rujuk adalah bagaimana kepahlawanan seorang Soekarno. Bahwa sekarang presidennya tidak seheroik Bung Karno, itu bukan menjadi alasan untuk merendahkan diri jadi seolah-olah kita enggak bisa apa-apa. Seolah-olah kemudian Indonesia hanya menjadi pasar. Enggak lah. Saya yakin ketika Pak Jokowi maju sebagai presiden dan kampanyenya begitu dahsyat, kan dia sudah menghitung semua (konsekuensinya).

Kalau kemudian dia sudah merasa tidak mampu, buat apa juga dia kemarin nyalon jadi presiden. Untuk apa juga Pak Luhut jadi tim intinya Pak Jokowi. Seharusnya setelah dia sudah kampanye sedemikian rupa dan mengerahkan dana sedemikian rupa, kemudian membuat janji, artinya kan dia sudah mengukur diri bahwa dia bisa mengatasi masalah dan tantangan dari luar negeri.

Logika semacam (Luhut) itu sangat disesalkan. Logika begitu bukan logika patriotik. Harus mampu mengalahkan konspirasi global karena hakikatnya setiap negara juga mempunyai tantangannya sendiri.

Dan memang bahwa hubungan antar bangsa ini bukan lantas semuanya adalah karpet merah. Pasti ada intrik, ada friksi, dan semacamnya. Dalam UUD sudah jelas, bahwa di sana ada penjajahan, di sana ada upaya kemerdekaan, dan Indonesia bersama untuk kemerdekaan dan melawan segala bentuk penjajahan. Indonesia juga ingin turut serta menjaga ketertiban dunia.

Jadi adanya tarik ulur dan saling mempengaruhi, memang sudah sangat dipahami oleh para bapak bangsa dulu. Wajar saja jika dari dulu sampai sekarang mereka (negara maju) merengek-rengek minta Indonesia untuk diganggu. Apalagi dalam konteks militer, yang seperti itu sudah sangat dimengerti.

Harusnya beliau (Luhut) membangkitkan kekuatan nasional, membangkitkan kebanggaan nasional. Itu baru bisa dilakukan melalui orang-orang yang memang terbukti berprestasi, tidak hanya ngomong doang. Ngomong terkendali tapi ternyata tidak terkendali. Diamanatkan dua Minggu tapi enggak bisa, tapi tetap terima (tugas) juga (sebagai koordinator pengendalian wabah).

Seharusnya mereka yang kemarin berkampanye untuk berkuasa, dan oleh sebagian besar rakyat apapun kondisinya sudah dipilih menjadi pemimpin. Inilah tanggung jawab yang harus Anda ambil dan Anda harus membuktikan bahwa kampanye Anda kemarin adalah kampanye jujur, bukan kampanye yang justru menjadikan Indonesia malah tidak bisa maju akibat daripada kesalahan memimpin.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar