Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Perpanjangan PPKM Darurat di Tengah Ironi yang Mengiringinya

Kamis, 22/07/2021 06:44 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah  akhirnya memperpanjang kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali hingga 25 Juli 2021 guna menekan lonjakan penyebaran kasus virus corona di Indonesia.

Untuk mendukung perpanjangan kebijakan tersebut, Pemerintah menerbitkan dua aturan baru yaitu Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 22 Tahun 2021 yang mengatur perpanjangan PPKM Darurat untuk wilayah di Jawa dan Bali dan Nomor 23 Tahun 2021 yang mengatur perpanjangan PPKM Mikro untuk wilayah di 27 provinsi lainnya.

Terkait dengan hal tersebut, Presiden Joko Widodo menjelaskan keputusan perpanjangan diambil setelah pemerintah mengevaluasi pelaksanaan PPKM Darurat yang dimulai pada  3 hingga 20  Juli 2021. Kebijakan PPKM Darurat ini, menurut dia, tidak bisa dihindari untuk menekan laju penyebaran virus corona.

"Kebijakan ini  harus diambil pemerintah meskipun sangat berat," ujar Jokowi dalam konferensi pers virtual bertajuk Pernyataan Presiden RI tentang Perkembangan Terkini PPKM Darurat yang ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden,  20 Juli 2021 hari selasa.

Perpanjanga kembali PPKM untuk mengendalikan penyebaran virus corona ini menimbulkan tanda tanya ditengah munculnya fakta kegagalan pencapagian target PPKM darurat tahap sebelumnya. Kegagalan PPKM darurat di tahap sebelumnya tidak lepas dari adanya ironi ironi yang mewarnai pelaksaannya.

Mengapa kebijakan PPKM darurat dinilai gagal mencapai target yang telah ditetapkannya ?, Ironi macam apa yang mewarnai pelaksanaan PPKM darurat sehingga menyumbang pada upaya pencapaian target yang ingin dicapainya ?. Bagaimana sebaiknya upay a ke depannya ?

Target Gagal

Berakhirnya masa pelaksanaan PPKM darurat pada 20 Juli lalu menyisahakan catatan yang kurang mengembirakan dilihat dari target yang ingin dicapainya.

Seperti banyak diberitakan oleh media, sekurang kurangnya ada 6 target yang gagal tercapai berdasarkan indikator capaian yaitu soal pengetesan, pelacakan, penurunan mobilitas, vaksinasi Covid-19, angka positivitas atau positivity rate, dan target menekan laju penularan virus corona.

 Dalam pengetesan, misalnya, target pemerintah sebanyak 324 ribu per hari di Jawa dan Bali tetapi realisasinya, pemerintah hanya mampu mencapai 127 ribu per hari, dan itupun angka total nasional seluruh Indonesia.

Pada hal Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin  pernah menyampaikan, bahwa kunci penanganan Covid-19 varian delta yang menjadi biang kerok lonjakan kasus positif di Indonesia ada pada peningkatan tracing dan testing-nya.

Target untuk  pelacakan, yang telah ditetapkan sebanyak  15 orang per satu kasus positif atau 300 ribu kontak tapi realisasi masih hanya dilakukan terhadap 250 ribu kontak saja. Hal ini tentunya masih jauh dari harapan  semula.

Target penurunan mobilitas  yang telah ditetapkan sebanyak 30 persen, namun yang tercapai masih berkisar sekitar 20 persen saja.Mobilitas penduduk tetap tinggi karena berbagai kebutuhan mendesak yang harus di penuhinya.

 Target vaksinasi sebanyak 1 juta per hari, faktanya hanya dapat dipenuhi 546 ribu per harinya. Kegagalan ini disebabkan antara lain karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, jumlah vaksin yang tersedia dan juga masih banyak warga masyarakat yang takut vaksin karena efek yang ditimbulkannya.

Terkait dengan soal penurunan angka positif virus corona, menurut  Co-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi mengatakan bahwa belum ada indikasi pandemi Covid-19 terkendali selama pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat.

“Tingkat positivitas kasus masih jauh di atas 20 persen,” kata Elina seperti dikutip Tempo, Selasa, 20 Juli 2021.

Dalam hal pemeriksaan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar pemeriksaan 1:1.000 penduduk per pekan. Jika mengacu pada standar tersebut, bisa diasumsikan populasi Indonesia mencapai 270 juta jiwa, maka sewajarnya 270 ribu orang diperiksa per pekannya.

Dengan tidak tercapainya target PKPM darurat ini pada akhirnya  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan permintaan maafnya  kepada seluruh rakyat Indonesia.

"Sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali, dari lubuk hati yang paling dalam saya ingin meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia," kata Luhut dalam konferensi pers virtual Evaluasi Pelaksanaan PPKM Darurat, Sabtu (17/7) sebagaimana dikutip media.

Menanggapi permohonan maaf ini Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat, Irwan mengatakan, bukan hanya tidak optimal, tapi PPKM Darurat itu telah gagal, karena pemerintah tidak memberikan jaminan sosial pada masyarakat.

"Kalau bagi saya bukan tidak optimal tapi gagal. Terbukti PPKM se-darurat apapun tanpa biaya jaminan hidup bagi masyarakat dari pemerintah akan sia-sia," kata pria yang akran disapa Irwan Fecho ini seperti dikutip sindonews.com  Minggu (18/7/2021).

Permohonan maaf Luhut kepada rakyat mendapatkan acungan jempol dari Rizal Ramli yang selama ini cukup rajin memberikan kritikannya kepada  pemerintah yang sedang berkuasa.

"Nah ini yang ditunggu-tunggu, gitu dong, sportif minta maaf," kicau Rizal Ramli sembari memberikan emotion tersenyum dan jempol, dalam akun Twitternya pada Sabtu malam (17/7).

Tanggapan cukup keras disampaikan oleh Ubedilah Badrun analis sosial politik UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Menurutnya Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marvest), Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) tidak cukup hanya meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas penanganan virus corona yang belum terkendali juga. LBP juga harus mempertanggungjawabkan pernyataannya itu dengan segera mundur dari jabatannya.

“Salah satunya dengan mundur dari jabatannya sebagai menteri dan ketua PPKM Darurat, bukan sekadar minta maaf. Sebab mundur dari posisinya sebagai menteri adalah wajah paling konkret dari pengakuan kesalahan elit politik," demikian Ubedilah seperti dikutip law-justice.co  Minggu (18/7).

Ironi Ditengah PPKM Darurat

Upaya penanganan pandemi virus corona di Indonesia sejak pertama kali merebak awal tahun 2020 lalu hingga sekarang memang diwarnai oleh serangkaian dinamika kebijakan yang kadang membuat kita kecewa.

Pada awal  munculnya virus ini di Indonesia terkesan adanya  sikap juwawa  dari jajaran Pemerintah bahwa serangan virus corona  tidak mempan untuk masyarakat Indonesia sampai sampai masyarakat yang bicara mengenai virus corona dianggap ingin mengacaukan ekonomi Indonesia.

Milyaran danapun digelontorkan untuk para buzzer guna menangkal penyebaran informasi tentang virus corona. Milyaran  dana juga  dikucurkan untuk promosi  wisata Indonesia agar turis mancanegara berkenan datang kesini karena Indonesia dinilai aman untuk virus corona.

Setelah serbuan virus corona benar benar masuk ke Indonesia, akhirnya pemerintah sudah tidak bisa lagi mengelak keberadaannya. Berbagai kebijakanpun diambilnya mulai  PSPB sampai dengan PKPM darurat yang sekarang sedang di jalankan penerapannya.

Dari rangkaian kebijakan dalam rangka penanganan pandemi virus corona itu Indonesia memang telah berhasil mengurangi penyebarannya namun hasil yang dicapai belum memuaskan sebagaimana yang kita harapkan bersama. Bahkan saat ini Indonesia disebut sebut sebagai epicentrum baru penyebaran virus corona khususnya untuk kawasan asia.

Tanpa bemaksud untuk mengecilkan upaya yang sudah  dilakukan  pemerintah dalam mengatasi pandemi virus corona di negara kita, ada kesan ironi yang mengiringinya sehinga penanganan virus corona tidak bisa mencapai hasil yang di inginkan bersama. Sekurang kurangnya ada 4 hal ironi yang mengiriginya.

1. Kedatangan TKA (Tenaga Keja Asing)

Beberapa investor asing kerap membawa tenaga kerja dari negara mereka untuk bekerja di Indonesia. Kedatantan mereka di tengah pelaksanaan PPKM darurat menimbulkan ironi yang luar biasa. Betapa tidak, ditengah penerapan PPKM darurat yang menyebabkan jutaan orang menanggur karena PHK atau berhenti usahanya, justru TKA itu berbondong bondong datang ke Indonesia.

Pemerintah beralasan kedatangan mereka terjadi karena efek perjanjian lama sebelum PPKM diterapkan pemberlakuannya. Tetapi apakah kedatangan mereka tidak bisa disetop dulu  untuk sementara ? Bukankan pemerintah bisa melakukan negosiasi ulang dengan investor dari mancanegara ?. Toh, situasinya sekarang tak main-main dan butuh penanganan serius untuk menekan angka penularan corona di Indonesia.

Dalam hal ini Pemerintah bisa memberikan argumen bahwa daerah yang ingin dimasuki  para TKA itu  kasusnya sedang naik dan karenanya tidak dibolehkan TKA datang mengunjunginya.

Kalau pun kasus tidak naik, pemerintah tetap perlu mengambil sikap untuk kedatangan TKA sebagai bagian dari upaya  memberikan contoh tegas kepada masyarakat dalam menanggulangi  penyebaran virus corona.

Jangan sampai ada kesan penduduk lokal di uber uber untuk mentaati ketentuan PPKM darurat tapi disisi lain TKA  diberikan karpet merah untuk terus datang ke Indonesia ditengah maraknya penganggguran akibat imbas PHK dan terhentinya usaha. Pada hal kedatangtan TKA mau tidak mau telah meniadakan kesempatan bagi penduduk lokal  untuk bekerja.

Selain meniadakan kesempatan untuk bekerja, kedatangan TKA juga telah membuka peluang untuk terus terjadinya penyebaran virus corona di Indonesia. Karena bukankah virus yang sekarang menghantui rakyat Indonesia itu asalnya dari mancanegara ? Virus itu tidak bisa  terbang sendiri kesini tapi karena dibawa oleh mereka.

Dalam hal ini sangat ironis apa yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan ada "musuh" yang berbeda yang dihadapi saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang saat ini sedang diberlakukan di Indonesia.

Menurutnya musuh yang dimaksudnya adalah Virus Corona varian Delta yang membuat kasus Covid-19 melonjak tinggi dan kian merajalela."Kita menghadapi musuh yang beda," ujar Luhut dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (15/7) seperti dikutip cnn.Indonesia.

Sampai disini pertanyaan muncul : bukankah varian delta yang konon dari India itu bisa masuk ke Indonesia karena akses bandara untuk orang masuk dari mancanegara tetap dibuka ?. Bukankah beberapa waktu yang lalu pemerintah telah mengizinkan  masuknya sekelompok orang India lewat pesawat carteran pada hal saat itu India sedang tinggi tingginya mendapat serangan varian delta ?

Perkara kedatangan orang orang mancanegara ditengah penerapan PPKM darurat sebenarnya sudah banyak disuarakan oleh para tokoh bangsa tapi nyatanya suara suara itu dianggap sebagai angin lalu saja. Entah siapa dibalik kedatangan mereka dan apa pula misinya

2. Keseimbangan Aspek Ekonomi dan Keselamatan

Dalam penanganan penyebaran virus corona hampir selalu diwarnai oleh dua kutub yang berbeda yaitu kepentingan ekonomi dan keselamatan rakyat atau keselamatan jiwa manusia.

Selama ini pengambilan kebijakan selalu mengacu pada dua kutub tersebut meskipun sebenarnya  pemaksaan terhadap salah satu pilihan dengan menegasikan yang lainnya tidak hanya keliru,  tetapi juga berbahaya. Karena kedua nya berhubungan satu dengan yang lainnya.

Dalam keadaan bagaimanapun, pemulihan ekonomi akan mustahil terjadi tanpa pengendalian virus corona. Sebaliknya pengendalian yang dilakukan secara sangat ketat, tanpa diimbangi dengan persiapan jaringan pengaman sosial dan berbagai subsidi lainnya dipastikan akan mencederai kehidupan  masyarakat yang menjadi target/ sasarannya.

Ironisnya aspek keseimbangan ini sepertinya tidak terlalu dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakannya.  Sebagai contoh ketika Pemerintah menerapkan kebijakan PKPM darurat yang diposisikan sebagai lockdown “setengah hati”  sebenarnya ketika kebijakan ini diambil, Pemerintah sedang mengarahkan bandulnya ke aspek keselamatan rakyat sebagai prioritas utama ketimbang masalah ekonomi tetapi pada saat yang sama pemerinta kelihatan lupa untuk mempertimbangkan aspek keselamatan rakyat dari sisi ekonomi mereka.

Sehingga bisa saja efek penerapan PPKM darurat membuat penyebaran virus corona menurun jumlahnya tapi akan ada efek sampinganya yaitu tidak selamatnya rakyat karena terguling periuk nasinya.

Pada kenyataannya banyak masyarakat yang lebih takut kelaparan karena kosong isi perutnya ketimbang takut kepada serangan virus corona. Kalau sama sama mati lebih baik mati karena virus corona daripada mati kelapangan karena perut tidak ada isinya. Inilah keluh kesah sebagian daripada rakyat yang terabaikan keselamatan ekonominya.

Karena itu agar tidak terjadi ironi maka keselamatan jiwa manusia dan kepentingan ekonomi itu harus di jalankan secara seimbang karena keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Diprerlukan formula kebijakan yang bisa mengakomodasi antara kedua kepentingan tersebut agar upaya penanganan virus corona bisa terkendali sebagaimana harapan bersama. Dalam konteks ini sebenarnya UU Karantina Kesehatan tela h mengaturnya.

3. Tebang Pilih Penerapan Peraturan

Masih berkaitan dengan upaya menyeimbangkan kepentingan aspek keselamatan jiwa dan ekonomi, dalam penerapan PPKM darurat ini ada ironi karena Pemerintah terkesan telah pilih pilih peraturan untuk landasan dasar pengambilan kebijakannya.

Seperti dinyatakan oleh  Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati yang mengaku heran karena pemerintah tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk menjalankan kewajiban dalam penanganan pandemi  virus corona. Namun, UU Kekarantinaan Kesehatan dipakai untuk memberikan sanksi kepada warga negara yang melanggar nya.

"Kalau sanksi kenapa yang digunakan  UU Kekarantinaan Kesehatan, tapi ketika penerapan kekarantinaan  yang terkait  dengan hak hak warga kenapa  bukan menggunakan UU (yang sama)," kata Asfin dalam konferensi pers daring "Koalisi Warga Akses Kesehatan", Minggu (18/7/2021) seperti dikutip kompas.com

Menurut dia, pemerintah terkesan menghindari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. Hal ini terlihat dari berbagai istilah kebijakan pembatasan yang diterapkan pemerintah, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan kini pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Padahal, dalam UU 6 Tahun 2018  tentang Kekarantinaan Kesehatan diatur soal karantina wilayah ketika terjadi kedaruratan kesehatan.

Dalam UU itu pula disebutkan bahwa selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. "Jadi ketika pembatasan pemerintah gunakan yang lain dan jelas itu maksudnya untuk mengakali hukum agar kewajiban yang ada di UU 6/2018 tidak dipenuhi pemerintah dan tidak diberikan kepada masyarakat," ucapnya.

Apa yang disampaikan ole Ketum YLBHi tersebut kiranya cukup beralasan, bahwasanya penerapan peraturan yang terkesan “tebang pilih” seharusnya tidak boleh terjadi dalam penanganan virus corona. Seolah olah pemerintah ingin enaknya saja yaitu menerapkan sanksi beradasarkan UU Karantina Kesehatan tapi disisi lain mengabaikan hak hak masyarakat ketika terjadi karantina atau PPKM atau apapun istilahnya.

Ibaratnya sepeti seekor ayam yang dikurung, konsekuensinya harus dikasih makan supaya tidak mati kelapangan karena kosong isi perutnya. Demikian juga halnya manusia ketika dikurung untuk hanya boleh diam dirumah saja, konsekuensinya harus dipenuhi kebutuhan makannya. Kalau tidak maka mereka akan tetap keluyuran mencari rizki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Karena sebagian besar rakyat Indonesia bukanlah berprofesi sebagai pegawai atau pejabat yang tetap bisa eksis meskipun harus diam dirumah karena mendapat gaji tiap bulannya. Berbeda halnya dengan para pedagang kecil, tukang becak, buruh serabutan dan banyak profesi lainnya yang pendapatannya habis untuk dimakan pada hari itu juga .

4. Penyelewengan Dana Penanganan Corona

Untuk mengatasi penyebaran virus corona, Pemerintah telah menghabiskan dana yang luar biasa besarnya. Dana itu sebagian didapatkan dari utang dari mancanegara yang terus meningkat jumlanya. Sampai dengan April 2021, total utang  Indonesia sudah mencapai Rp6.527,29 Triliun  dan diperkirakan akan membengkak hingga lebih dari 10.000 ribu triliun saat Jokowi mengakhiri masa jabatannya.

Sebagian utang tersebut dialokasikan untuk pemberian bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat yang terimbas virus corona, biaya obat obatan, vaksinasi, alat alat kesehatan dan sebagainya.

Kita sering mendapatkan berita di media bahwa dana dana utang untuk menangani virus corona tersebut sering disalahgunakan pemanfaatannya. Sebagai contoh dana bansos corona banyak yang dikorupsi yang diduga melibatkan para pejabat tinggi negara. Sempat disebut sebut keterlibatan madam bansos, anak pak lurah, anggota dewan, para pejaba eksekutif mulai Gubernur sampai bupati dan walikota.

Tetapi meskipun ramai disebut aneka penyelewenangan penggunaan dana penanganan virus corona, namun penegakan hukumnya terkesan berjalan terhuyung huyung  alias tumpul sehingga tidak membuat efek jera. Apalagi setelah keberadaan KPK berhasil diamputasi maka upaya penegakan hukum penyelewengan dana corona seperti kehilangan harapannya.

Tumpulnya penegakan hukum penyelewengan dana penanganan virus corona ini telah membuat masyarakat geram sementara usaha mereka yang sekadar bertahan untuk hidup saja di uber uber supaya tutup karena penerapan peraturan PPKM darurat yang tidak adil dirasakannya.

Alhasil tumpulnua penegakan hukum penyelewengan dana corona ini telah membuat jatuhnya wibawa pemerintah karena hukum ternyata hanya menyasar orang orang kecil  yang tidak berdaya tapi tidak mampu menjangkau mereka yang punya kuasa.

Kalau mau dirinci kiranya cukup banyak kejadiand an peristiwa peristiwa yang bersifat ironis mengiringi penerapan kebijakan PKPM darurat yang berlaku di Indonesia. Adanya ironi ironi kebijakan ini tentu saja sangat berpengaruh pada capaian target dalam penanganan virus corona.

Selama ironi ironi tersebut tidak dihilangkan atau minimal dikurangi maka upaya untuk mengatasi pandemi  virus corona di Indonesia akan tidak adakan berjalan mulus sebagaimana harapan kita bersama. Itu terjadi karena  ketidakadilan telah dipamerkan sedemikian rupa sehingga gagal mengikutkan seluruh warga bangsa untuk bergotong royong mengatasi virus corona secara bersama sama.

Pada hal penanganan virus corona ini sudah barang tentu tidak bisa diatasi sendiri oleh pemerintah yang sedang berkuasa melainkan harus melibatkan seluruh warga bangsa. Upaya pelibatan ini tentu saja baru terjadi secara efektif ketika muncul rasa saling percaya. Tetapi bagaimana rasa percaya ini akan tumbuh kalau ketidakadilan begitu kasat mata dipamerkan kepada rakyatnya ?

Bagaimana Langkah Kedepannya ?

Ironi yang mengiringi penerapan PPKM darurat dan program sebelumnya sedikit banyak telah mempengaruhi target capaian PPKM darurat yang saat ini sedang dijalankan oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Meskipun PPKM darurat dinilai gagal karena tidak mencapai target yang diinginkannya namun program ini diperpajang  untuk lima hari berikutnya. Apa sebenarnya alasan pemerintah memperpanjang  PPKM darurat hanya selama lima hari saja ? Apakah nanti, setelah perpanjangan berakhir akan diberlakukan PSBB atau PPKM Mikro atau bentuk kebijakan lainnya?

Terkait dengan hal ini, Presiden dalam penjelasannya, seperti dikutip media,  hanya menyatakan PPKM darurat akan dibuka bertahap, dengan catatan, terjadi penurunan angka penularan penyebaran virus corona. Apa targetnya?

Kita mencatat sepanjang pemberlakuan PPKM Darurat, jumlah kasus baru bukannya turun namun justru naik, bahkan mencapai puncaknya pada 15 Juli lalu dengan angka kasus baru 56.000 lebih perharinya.

Beberapa hari terakhir memang menurun, namun sesuai angka resmi pemerintah rata rata masih tercatat jumlah kasus baru yang mencapai 38.325 dan korban meninggal dunia 1.280 orang perharinya.  Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan sebelum PPKM darurat ditetapkan pemberlakuannya.

Perpanjangan PPKM darurat yang hanya lima hari ke depan itu memang menyiratkan adanya keraguan Pemerintah dalam mengambil keputusan dalam mengatasi penyebaran virus corona. Oleh karena itu setelah tanggal 25 Juli nanti, kita berharap Pemerintah bisa mengambil  kebijakan exit strategi untuk langkah langkah selanjutnya pasca berakhirnya masa perpanjangan PPKM darurat yang cuma lima hari saja.

Tanpa adany exit strategi yang tepat maka kebijakan perpanjangan PKPM darurat yang  lima hari ini hanya menimbulkan kesan bahwa kebingungan sedang melanda benak penguasa.

 Sebenarnya sejak awal sudah ada pilihan pilihan kebijakan untuk penanganan penyebaran virus corona seperti misalnya penerapan lockdown total dengan konsekuensi negara harus mau memberikan makan kepada rakyatnya.

Tetapi pertanyaan muncul, apakah selama lockdown pemerintah punya cukup dana untuk menghidupi rakyatnya ?. Mengingat keterbatasan dana maka wilayah lockdown bisa dipilih berdasarkan skala prioritas untuk daerah daerah yang sangat  rawan saja misalnya zona merah atau hitam saja kemudian menyusul yang lainnya.

Kiranya langkah ini akan lebih efektif ketimbang penerapan lockdown setengah hati seperti PPKM darurat yang membuat masyarakat gundah gulana karena ketidakjelasan nasib yang mereka menimpa mereka.

Ke depannya nanti  sangat wajar kalau masyarakat  bertanya tanya akan nasibnya karena mereka juga pasti bingung dan menduga-duga kebijakan apa lagi yang akan ditempuh pemerintah dan bagaimana resiko yang harus mereka hadapi selanjutnya.

Meskipun demikian kita berharap  pemerintah tidak boleh ragu atau terkesan bimbang dalam memutuskan kebijakannya. Karena kalau sampai pemerintah bingung atau bimbang, maka rakyat akan terombang ambing nasibnya. Jangan sampai kebingungan masyarakat ini membuat mereka berputus asa lalu menggaungkan suara PPKM (Pak Presiden Kapan Mundur-nya ?.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar