Petani & Nelayan Gugat UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi

Selasa, 22/06/2021 07:31 WIB
Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Jakarta, law-justice.co - Dua orang warga yang berprofesi sebagai petani dan nelayan mengajukan uji materi atau judicial review Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Para penggugat tersebut yakni Nurul Aini (46), petani dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur; Yaman, nelayan Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Provinsi Bangka Belitung. Gugatan turut diajukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur.

"Tepat pada hari ulang tahun ke-60 Presiden Joko Widodo hari ini, rakyat Indonesia mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi atas 9 Pasal dalam UU Minerba No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba No. 4 tahun 2009," ujar salah seorang penggugat dari WALHI, Dwi Sawung, melalui pesan tertulis, Senin (21/6).

Secara garis besar, sejumlah Pasal yang diuji itu berkaitan dengan sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan Minerba dan jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang.

Kemudian perpanjangan izin otomatis atas Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa evaluasi dan lelang, serta Pasal pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilir di pembangkitan.

"Industri pertambangan diberikan keleluasaan untuk tetap beroperasi meski di wilayah yang bertentangan dengan tata ruang. Pemegang Kontrak Karya dan PKP2B (IUPK) juga diberikan perpanjangan izin otomatis tanpa evaluasi dan lelang," kata Sawung.

Sawung menambahkan, keberadaan UU Minerba yang baru melanggengkan praktik eksploitasi sumber daya alam khususnya batu bara.

"Padahal, sumber energi kotor tersebut semakin ditinggalkan, sebab berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan, krisis iklim, dan kesehatan masyarakat," imbuhnya.

Dari keterangan resmi Gerakan #BersihkanIndonesia, dikatakan bahwa Nurul Aini dan Yaman merupakan korban intimidasi dan represi aparat keamanan ketika berupaya menjaga kehidupan dari dampak buruk pertambangan.

"UU Minerba ini hanya melindungi tambang. Kalau UU itu dihapuskan, masyarakat aman. Perusahaan tidak bisa mengkriminalisasi warga lagi," kata Nurul Aini.

Sementara untuk Yaman, ia mengatakan hak asasinya sebagai warga negara justru semakin ditindas. Aksi protes damai yang dilakukan bersama nelayan lainnya untuk melindungi wilayah tangkap ikan agar tidak dirusak oleh pertambangan justru berakhir kriminalisasi.

Yaman berujar, ia menerima surat panggilan dari kepolisian yang menggunakan Pasal 162 UU Minerba Nomor 3 tahun 2020. Kata dia, protes damai dianggap merintangi usaha pertambangan.

"UU Minerba ini membatasi ruang gerak nelayan untuk menolak dan menghalangi aktivitas pertambangan di sini. UU Minerba membuat kami tak bisa cari makan di tanah lahir kami sendiri," kata Yaman.

Lebih lanjut, penasihat hukum para penggugat, Lasma Natalia menilai Presiden RI Joko Widodo, mempunyai tanggung jawab terhadap kondisi kerusakaan akibat pertambangan. Ia meminta Jokowi mencabut UU tersebut karena telah merampas hidup rakyat dan merusak lingkungan.

Pengesahan UU Minerba pada 13 Mei 2020 diketahui mendapat penolakan dari kalangan masyarakat sipil. Sejumlah poin dalam aturan tersebut dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar