Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Agenda Para Dalang Dibalik `Pengusiran` 51 Pegawai KPK

Jum'at, 04/06/2021 09:34 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Masih ramai diberitakan soal pemecatan 51 pegawai KPK karena dinilai tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Mereka yang kena pecat atau dinonaktifkan rata rata adalah pegawai KPK yang sudah terbukti  integritasnya dan bagus  kinerjanya.

Tidak lulusnya 51 pegawai KPK tersebut dengan sendirinya menjadi asbab bagi mereka untuk segera hengkang dari KPK.  Adanya ujian yang berkedok wawasan kebangsaan menjadi sarana ampuh untuk mengusirnya secara halus dari lembaga yang selama ini menjadi ladang pengabdiannya. Tak urung pengusiran ini memunculkan kekprihatinan akan nasib pemberantasan korupsi di Indonesia.

Fenomena tersebut rupanya juga sampai ke telinga kepala negara sehingga beliau berkenan untuk ikut angkat bicara. Dalam telekonferensi pers, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/5)  Presiden Jokowi  tidak setuju hasil TWK dijadikan dasar untuk pemberhentian para pegawai KPK.

Tetapi arahan dari Presiden itu rupanya hanya dianggap sebagi angin lalu saja. Karena ternyata pemecatan terhadap Pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) tetap dilakukan oleh pimpinan KPK.

Kalau pernyataan seorang Presiden saja tidak digubres oleh seorang pimpinan KPK, kira kira siapa yang  menjadi dalang atau yang membekingi pimpinan KPK ini sehingga berani melawan presidennya ?. Agenda apakah yang kiranya sedang dijalankan oleh para dalang ini untuk Indonesia ke depannya ?. Mengapa mereka begitu leluasa menjalankankan agendanya ?

Gerak Gerik Sang Dalang

Upaya untuk melemahkan KPK memang sudah berlangsung cukup lama sejak lembaga ini berdiri untuk memberantas korupsi di Indonesia. Puncak pelemahan itu adalah ketika lahir UU baru yang merevisi UU KPK yang lama. Ternyata agenda pelemahan tidak berhenti sampai disitu saja melainkan terus berjalan ketika lembaga anti rasuah ini sudah dipreteli kewenangannya.

Salah satu upaya lanjutan pelemahan itu adalah dengan membabat habis orang orang yang selama ini sudah malang melintang di KPK. Cara “menyingkirkan” mereka adalah dengan menggelar tes wawasan kebangsaan (TWK). Pertanyaan pertanyaan yang disusun untuk tes TWK ini sepertinya memang dibuat sedemikian rupa untuk tujuan “menyingkirkan”mereka dari KPK.

Ada pertanyaan yang bernuansa membenturkan antara agama dengan Pancasila. Ada pertanyaan yang terkesan melecehkan wanita. Ada pertanyaan yang terindikasi rasis (intoleran), sehingga melanggar hak asasi manusia. Pertanyaan pertanyaan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan wawasan kebangsaan sebagaimana judul yang diujikannya.

Wajar kalau pada akhirnya Presiden Jokowi bersuara untuk menyatakan  sikapnya menolak hasil tes TWK yang dilakukan oleh KPK  dijadikan dasar pertimbangan untuk memecat atau menonaktifkan pegawai KPK.

Aneh dan ajaibnya suara dari seorang Presiden itu tidak digubres alias dianggap angin lalu saja. Sementara Presiden sendiri ketika suaranya tidak didengar tidak bereaksi apa apa.

Pada hal pengabaian itu sangat mencederai kehormatan Presiden yang dipilih oleh berjuta juta rakyat Indonesia. Sampai disini muncul adanya dugaan kekuatan yang lebih besar melebihi kekuatan seorang Presiden sampai sampai suara presiden dicuekinya. Lalu siapakah kiranya mereka ?

Indikasi tentang siapa dalangnya ,bisa ditelusuri dari sepak terjang sang dalang yang sejak lama memang berusaha menyingkirkan 51 pegawai itu dari KPK. Kelompok sang dalang  ini sudah sejak lama menjuluki 51 orang personil KPK yang dinyatakan tidak lulus tes TWK  itu sebagai  kelompok Taliban di KPK.

Isu Taliban di tubuh KPK biasanya akan mencuat ketika terjadi pengusutan terhadap kasus korupsi yang menimpa  pejabat yang sedang berkuasa. Isu ini juga berembus kencang seiring gencarnya pemerintah menggembosi kinerja KPK.

KPK, yang awalnya independen, kini sudah berhasil di geser posisinya menjadi bagian dari eksekutif sehingga tidak ada bedanya dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejagung misalnya.

Meskipun KPK sudah dikandangkan menjadi bagian dari pemerintah serta sudah berhasil di preteli kewenangannya lewat revisi UU KPK, namun personil didalamnya rupanya masih ada yang getol menjalankan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Novel Baswedan dkk ternyata masih punya nyali  untuk menangkap para koruptor kakap di Indonesia. Termasuk keberhasilannya menciduk dua Menteri  untuk ditetapkan sebagai tersangka.

Rupanya gerak gerik Novel dkk ini telah membuat resah para koruptor sehingga melalui kaki tangannya, mereka menggelorakan isu radikal Taliban yang dianggap jadi duri dalam daging KPK.  

Mereka akhirnya berusaha menyingkirkan kelompok Taliban ini lewat tes wawasan kebangsaan  (TWK). Kebetulan sebagian yang tidak lulus TWK itu adalah pegawai KPK yang selama ini  sedang menangani kasus kasus korupsi kakap di Indonesia.

Sebagai contoh penyidik Andre Nainggolan sedang menangani kasus korupsi terkait bansos corona yang diduga melibatkan banyak pejabat negara. Pejabat negara yang terlibat bukan hanya ditingkat Pusat tetapi ada juga pejabat daerah yang ikut kecipratan dana bansos corona yang merugikan negara hingga  puluhan trilyun nilainya.

Fee suap Bansos corona bahkan mengalir ke pejabat  BPK hingga Cita Citata. Kasus ini diduga melibatkan Madam Bansos dan anak Pak Lurah yang masih berproses kasusnya.

Selain kasus Bansos, mereka yang tidak lulus tes TWk ternyata sedang menangani kasus kasus strategis seperti kasu suap anggota KPU, kasus dugaan suap pejabat Ditjend Pajak, kasus suap izin ekspor benih lobster, kasus suap Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, kasus suap jual beli jabatan di Tanjungbalai ,kasus dugaan suap penyidik polisi di KPK, kasus penangkapan Bupati Nganjuk bahkan ada juga kasus yang terkait dengan dugaan pelanggaran etik / internal yang menimpa Ketua KPK.

Mereka mereka yang menanganani kasus strategis tersebut harus hengkang dari KPK karena dinyatakan tidak lulus tes TWK. Mereka di antaranya adalah Novel Baswedan, Andre Dhedy Nainggolan, Afief Yulian Miftah, Budi Agung Nugroho, Rizka Anungnata, Budi Sokmo, Ambarita Damanik, Muhammad Praswad Nugraha, Yudi Purnomo Harahap, dan Marc Falentino. Lalu penyidik senior seperti Iguh Sipurba, Harun Al Rasyid, dan Aulia Posteria.

Kasus kasus yang disebutkan diatas kebanyakan sedang menimpa pejabat atau kalangan yang berasal dari partai penguasa. Dengan disingkirkannya penyidik penyidik senior KPK yang telah terbukti kinerja itu maka menjadi alarm bahaya bagi kelanjutan penyelesaian kasus kasus tersebut ke depannya.

Sebab seperti buron Harun Masiku yang menurut penyidik KPK Harun Al Rasyid sudah berada di Indonesia dan tinggal menangkapnya saja tapi penangkapan itu urung dilakukan karena dia sudah terlanjur disingkirkan dari KPK.

Rupanya sang dalang saat ini memang sedang menjalanka misinya untuk bersi hbersih KPK dari kelompok “Taliban” yang dianggap menghalangi agenda  kedepannya untuk tetap terus berkuasa. Kiranya tidak cukup KPK dilucuti kewenangannya tetapi  harus disempurnakan lagi dengan mengusir orang orang KPK yang telah menghalangi misi besarnya.

Mungkin karena banyaknya pihak yang berkepentingan untuk menyelamatkan posisi orang yang berkuasa karena terancam dijerat oleh KPK menyebabkan Presiden Jokowi akhirnya merasa tidak berdaya  untuk membela KPK.

Sehingga suaranya tidak didengar alias  diabaikan karena adanya kekuatan diatas presiden yang bisa menyetirnya. Apakah ini menjadi indikasi kuat kalau ia memang hanya presiden boneka ?

Lalu siapakah kiranya para dalang yang pengaruhnya melebihi seorang presiden Indonesia?,  Mereka tentu saja adalah orang orang yang berkepentingan untuk tidak dilanjutkannya kasus kasus korupsi yang ditangani oleh para penyidik KPK yang tidak lolos tes TWK.  Mereka yang terus ingin mempertahankan oligarkhi kekuasaannya  dengan berbagai cara. Mereka yang merasa terhalangi misinya untuk terus berkuasa dengan masih adanya kelompok Taliban di KPK.

Agenda Ke Depan

Keberhasilan menyingkirkan orang orang KPK yang selama ini telah terbukti kinerjanya memberantas korupsi di Indonesia tentu bukan menjadi agenda terakhirnya. Aksi para dalang ini sepertinya akan terus berlanjut sampai misinya untuk terus berkuasa di tahun 2024 nanti bisa diwujudkannya.

Setelah misi bersih bersih KPK ini dilakukan maka selanjutnya adalah menjalankan agenda untuk menyingkirkan lawan lawan politik yang selama ini menghalanginya. Tentu saja hal ini bisa dilakukan melalui lembaga KPK yang telah dibersihkan dari personil yang menjadi penghalangnya.

Saat ini riak riak untuk menuju ke ara sana sudah mulai terlihat dengan adanya aksi KPK yang menetapkan mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah (Dirut Perumda) Pembangunan Sarana Jaya, Yoory C Pinontoan (YRC), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Cipayung, Jakarta.

Setelah penetapan Dirut Perumda sebagai  tersangka , kabarnya KPK akan segera memanggil Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk dimintai keterangannya. Sebenarnya proses hukum ini berjalan wajar wajar saja tetapi publik akan segera membaca kemana arahnya.

Perlu diketahui Anies Baswedan selama ini dikenal  sebagai sosok “ancaman” bagi kelanggengan oligarkhi pemerintahan yang sekarang berkuasa. Mengingat dalam berbagai survey , nama Anies hampir selalu berada di papan atas calon presiden Indonesia yang banyak pendukungnya.

Pasca “pembersihan”  KPK dari kelompok Taliban bisa jadi KPK akan menampilkan wajah barunya yang tidak beda dengan kelembagaan penegak hukum lainnya seperti Polri atau Kejaksaan Agung yang selama nyaris tidak berdaya menghadapi korupsi di Indonesia.  

Sebab selain sudah dilucuti kewenangannya, KPK juga telah berhasil menjadikan status pegawainya menjadi ASN  sehingga sangat diragukan kenetralannya. Apalagi secara kelembagaan sudah masuk rumpun eksekutif sehingga memudahkan bagi  Presiden untuk mengendalikannya.

Oleh karena itu pasca bersih bersih KPK, lembaga ini mungkin akan terus menjalankan agendanya melaksanakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Berita berita mengenai OTT pejabat atau pelaku korupsi  mungkin masih saja tetap akan ada. Akan tetapi yang diusut korupsinya tidak lagi mereka yang berasal dari kelompok pejabat yang berasal dari partai penguasa melainkan lawan lawan politiknya.

Bandul penegakan hukum  tindak pidana korupsi bisa semakin ramah kepada pejabat yang berasal dari partai penguasa. Sebaliknya akan semakin ganas menyasar pejabat pejabat dari lawan lawan politknya yang potensial mengganjal agenda politik penguasa untuk berkuasa di periode selanjutnya.

Selama ini ketumpulan penegakan hukum dengan kasat mata sudah kita saksikan sedang dinikmati oleh para buzzer pendukung pemerinta yang sedang berkuasa. Sebentar lagi mungkin “privilege” ini akan juga di nikmati oleh para pejabat dari partai penguasa sehingga bisa menjadi lebih nyaman menghabiskan uang negara.

Dugaa ini rupanya dibaca oleh Putri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid, Anita Wahid ketika menanggapi pernyataan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko terkait polemik pemecatan 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Seperti dikutip oleh media,Anita mempertanyakan mengapa Moeldoko bisa melontarkan pernyataan bahwa  keputusan Pimpinan KPK hingga Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang memecat 51 pegawai tidak bertolak belakang dengan perintah Jokowi selaku Presiden Indonesia.

“Instruksi Presiden itu sudah sangat jelas mengatakan bahwa TWK itu tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan, tetapi justru untuk perbaikan KPK. Nah kalau Kepala KSP meyakini bahwa hasil TWK berupa dipecatnya 51 orang dan 24 orang yang harus dibina itu adalah sebuah hasil yang akan membawa perbaikan, maka pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, perbaikan untuk siapa?,”  kata Anita, Jumat (28/5).

“Perbaikannya adalah untuk koruptor, korporasi-korporasi jahat yang hobi suap, pejabat-pejabat rakus dan sebagainya. Jalan mereka akan makin mudah, nggak ada yang menghalangi, nggak perlu takut ditangkap oleh pendekar-pendekar OTT, bisa menjarah sesukanya dengan bebas,” ungkap Anita.

Kiranya kekhawatiran dari putri ke empat Gus Dur itu bisa dimaklumi karena  untuk bisa berkuasa di Indonesia itu memang membutuhkan dana yang sangat besar jumlahnya. Dana yang besar itu salah satunya bisa didapatkan dari APBN sebagai sumbernya. Tentunya adalah melalui jalan korupsi proyek proyek yang dipegang oleh pejabat yang sedang berkuasa disana.

Kalau kemudian personil  yang ada di KPK sudah menjadi “orang orangnya” maka praktek korupsi bisa dijalankan dengan lancar jaya tanpa harus takut ditangkap oleh KPK. Karena harus diakui lembaga anti rasuah ini selama ini memang menjadi batu sandungan bagi para pejabat  publik yang getol mengumpulkan pundi pundi untuk mempertebal kantongnya.

Selain itu, dengan disingkirkannya orang orang seperti Novel Baswedan dkk dari KPK maka masalah masala internal KPK akan tertutup kasusnya. Seperti diketahui, pasca revisi UU KPK muncul kasus kasus aneh aneh di internal KPK yang tidak terjadi pada era sebelumnya.

Kasus internal KPK  itu seperti soal pegawai KPK yang ketahuan melakukan pencurian emas, pembocoran rencana penggeledahan PT. Jhonlin Barutama oleh personil internalnya, dugaan kongkalingkong kasus jual beli jabatatan di  Tanjung Balai yang diduga melibatkan pimpinan KPK, kasus gaya hidup mewah pimpinan KPK dan lain lainnya. Kasus kasus internal ini tidak bakal muncul dan terkuak manakala tidak ada lagi orang dalam yang membukanya.

“Pembersihan” orang orang yang dianggap kelompok Taliban di KPK sejauh ini memang masih menemui pro dan kontra. Ada yang menilai penyingkiran orang orang Taliban yaitu Novel Baswedan dkk dari KPK dinilai angin segar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Optimisme ini antara lain disuarakan oleh mantan wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang saat ini menjadi pimpinan partai Gelora. Ia percaya 1271 orang yang baru dilantik menjadi pegawai KPK adalah generasi baru yang lebih baik dari KPK generasi  UU Nomor 30 tahun 2002.

Optimisme  wajah KPK yang lebih baik dimasa depan memang menjadi harapan kita bersama. Namun semua itu harus di buktikan melalui prestasi dan kerja nyata bukan sekadar harapan kosong atau statemen bernada optimism belaka. Indikator kinerja kiranya cukup sederhana dimana orang awam bisa menilainya.

Dengan dilantiknya pegawai KPK baru yang sekarang sudah menjadi ASN, bisakah  mereka menuntaskan kasus kasus korupsi yang selama ini telah ditangani oleh personil KPK yang telah disingkirkannya ?

Sebagai contoh kasus korupsi Bansos corona yang diduga melibatkan banyak pejabat negara termasuk Madam Bansos dan anak pak Lurah, bisakah diusut tuntas perkaranya ?,

 Bisakah kasus kasus korupsi kakap yang  merugikan negara triliunan rupiah  yang selama ini terkatung katung penyelesaianya seperti kasus Century dan BLBI,  E-KTP, Asabri, Hambalang, Korupsi Bupati Kotawaringin Timur, Pelindo II, Asabri  dan kasus Jiwasraya bisa segera ditangkap dalangnya ?, Apakah Harun Masiku yang selama ini masih buron tapi konon sekarang sudah berada di Indonesia bisa segera di tangkap oleh KPK ? dan masih banyak lagi yang lainnya.

Manakala KPK yang baru pasca ketiadaan Novel Baswedan dkk bisa menuntaskan kasus kasus korupsi yang disebutkan diatas maka optimism hadirnya KPK baru yang lebih menjanjikan benar benar bisa dibuktikan adanya.

Tetapi kalau kemudian kasus kasus tersebut justru makin tenggelam alias  terkubur dan kemudian penegakan hukum kasus korupsi hanya menyasar pihak tertentu atau pihak oposisi belaka maka menjadi jelas arah dan tujuan “pembersihan” KPK.Bahwasanya upaya “bersih bersih” KPK dari kelompok Taliban tak lain  hanya dimaksudkan untuk mengamankan kejahatannya sekaligus emuluskan agenda terselubung para dalang yang ingin berkuasa untuk periode berikutnya.

Caranya dengan menjadikan KPK sebagai alat kekuasaan untuk menghantam musuh musuh politik yang dinilai menjadi batu sandungannya. Semua memang masih berupa dugaan dugaan belaka, waktulah yang akan membuktikannya.

Apakah KPK kedepan menjadi lembaga yang benar benar menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia atau hanya menjadi alat politik  kelompok oligarkhi untuk mempertahankan kekuasaan di periode selanjutnya. Anda sendiri melihatnya seperti apa ?

 

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar