WHO Namakan Varian Virus Corona Pakai Abjad Yunani, Apa Alasannya?

Selasa, 01/06/2021 13:00 WIB
Gedung WHO di New York, AS.

Gedung WHO di New York, AS.

Jakarta, law-justice.co - Nama-nama varian virus corona dikenal dengan nama-nama yang rumit dengan perpaduan antara angka dengan huruf, seperti B.117 untuk varian corona Inggris, B.1617 untuk varian corona India, dan B.1351 untuk varian corona Afrika Selatan.


Kini, WHO telah memberikan nama-nama baru untuk varian virus corona dengan huruf-huruf abjad Yunani untuk mempermudah penyebutan dalam diskusi serta menghindari adanya stigma.


Dalam pertemuan WHO hari Senin (31/5), nama-nama tersebut diumumkan di tengah kritik atas pemberian nama varian corona yang pertama terdeteksi di Afrika Selatan. Nama varian virus tersebut--B.1351, 501Y.V2, dan 20H/501Y.V2--dianggap terlalu rumit.

Empat virus corona yang diklasifikasikan sebagai variant of concern (VoC) atau varian yang mengkhawatirkan, yang lebih dikenal publik sebagai varian corona Inggris, Afsel, Brasil, dan India, kini diberikan nama sesuai dengan huruf Yunani: Alpha, Beta, Gamma, Delta, sesuai dengan urutan waktu terdeteksinya.


Penamaan virus yang dikategorikan sebagai Variant of Interest (VoI) lainnya dilanjutkan sesuai dengan urutan abjad Yunani.


“Meskipun memiliki kelebihan, nama-nama ilmiah itu sulit untuk diucapkan dan diingatkan, dan rentan mengalami kesalahan dalam pelaporan,” ujar WHO, seperti dikutip dari Reuters.

Penggunaan abjad Yunani ini diputuskan setelah melewati pertimbangan selama berbulan-bulan. Sebelumnya, WHO mempertimbangkan untuk menggunakan nama Dewa-dewi Yunani atau nama-nama baru yang diciptakan dengan gaya pseudo-klasik.


Tetapi, banyak dari nama-nama tersebut yang sudah merupakan merek dagang, nama perusahaan, bahkan nama alien.


Ada juga ide lainnya, yakni menamakan Variant of Concern tersebut sebagai VOC1, VOC2, dan selanjutnya. Ide ini akhirnya dibuang, karena penyebutan VOC1 dan seterusnya itu terdengar mirip dengan kata makian dalam bahasa Inggris.


Secara historis, virus memang kerap kali diasosiasikan dengan lokasi di mana mereka diduga pertama kali muncul, seperti Ebola, yang dinamai sesuai dengan Sungai Ebola di Kongo.


Tetapi, penggunaan nama lokasi itu berbahaya, karena bisa menimbulkan stigma dan sering kali tak akurat. Contohnya, seperti nama pandemi “Flu Spanyol” pada tahun 1918 lampau. Flu Spanyol sendiri bahkan belum diketahui asal-usulnya.


“Tak boleh ada satu pun negara yang terkena stigma akibat mendeteksi dan melaporkan suatu varian [virus],” kata ahli epidemiologi WHO, Maria Van Kerkhove.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar