Menangkap Makna Dibalik `Perlawanan` Pimpinan KPK Kepada Presidennya

Kamis, 27/05/2021 10:43 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Seperti diberitakan oleh banyak media, Presiden Joko Widodo akhirnya angkat berbicara terkait polemik 75 pegawai KPK yang terancam dipecat karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Penyidik senior KPK Novel Baswedan termasuk di antara ke-75 pegawai KPK yang harus hengkang dari lembaga yang telah membesarkan namanya.

Dalam telekonferensi pers, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/5)  Presiden Jokowi mengatakan bahwa KPK harus memiliki sumber daya manusia (SDM) terbaik dan berkomitmen tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Oleh karena itu, katanya pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) harus menjadi bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang lebih sistematis dan tepat guna. Maka dari itu, Jokowi pun tidak setuju hasil TWK dijadikan dasar untuk pemberhentian para pegawai KPK.

Tetapi arahan dari Presiden itu rupanya hanya dianggap sebagi angin lalu saja. Karena ternyata pemecatan terhadap Pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) tetap dilakukan oleh pimpinan KPK.

Penolakan pimpinan KPK untuk mematuhi instruksi dari Presiden Jokowi ini menimbulkan serangkaian tanda tanya  khususnya dari aspek hukum tata negara.  Apakah instruksi presiden Jokowi  yang meminta pimpinan KPK  agar tidak menggunakan hasil tes TWK sebagai dasar pemberhentian pegawai KPK itu sudah sesuai dengan kewenangannya ?

Sudah tepatkah sikap Presiden Jokowi untuk menolak hasil tes TWK yang dilakukan oleh KPK ?. Apa konsekuensi yang harus diterima  oleh pimpinan KPK yang mengabaikan instruksi Presiden Indonesia ?. Apa pula makna dibalik sikap pimpinan KPK yang menolak instruksi presiden Jokowi terkait dengan penghentian pegawai KPK ?

Kewenangan Presiden dalam Penegakan Hukum

Adanya  instruksi presiden Jokowi  yang meminta pimpinan KPK  agar  tidak menggunakan hasil tes TWK sebagai dasar pemberhentian pegawai KPK memunculkan adanya penilaian bahwa Presiden telah melakukan intevensi dalam penegakan hukum yang seharusnya dihindarinya.

Sampai ke tahap ini akhirnya muncul pembahasan seputar sejauhmana kewenangan seorang presiden dalam mendorong penegakan hukum yang sesuai dengan ruang lingkup fungsi dan tugasnya.

Apakah betul Presiden mempunyai tanggung jawab dan kewenangan dalam penegakan hukum layaknya aparat penegak hukum lainnya? Apakah memang benar Presiden adalah bagian dari penegakan hukum ?

Pada dasarnya, Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang menganut sistem presidensial. Pelaksanaan sistem presidensial tidak luput dari tiga pembagian kekuasaan (divison of power) atau yang lazim disebut dengan trias politica, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang memegang kekuasaan eksekutif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan, yang menjalankan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kewenangan Presiden dalam menjalankan kekuasaan eksekutif tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaaan pemerintahan. Meskipun demikian, urusan pemerintahan disini harus diartikan secara luas yang juga berkaitan dengan urusan yudikatif.

Hal ini dikarenakan Indonesia menganut konsep pembagian kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, di mana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu dengan lainnya.

Dengan dianutnya prinsip ini, institusi yang satu dengan yang lain diwajibkan untuk saling mengontrol, mengawasi, dan bahkan saling mengisi satu dengan yang lainnya.

Selain itu, Presiden juga membawahi institusi pemerintahan yang menjalankan fungsi penegakan hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan termasuk KPK.

Presiden memiliki hak prerogatif dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri dan Jaksa Agung, serta memiliki hak prerogratif untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi berdasarkan UUD 1945.

Hak prerogatif Presiden ini juga merupakan implementasi dari prinsip checks and balances yang dilakukan untuk mengontrol, mengawasi, dan mengisi kekuasaan yudikatif.

Namun, hal ini tidak berarti Presiden dapat mengintervensi segala bentuk proses hukum, sebab masing-masing institusi yang memegang fungsi penegakan hukum harus menjalankan fungsinya tersebut secara independen.

Kenyataannya, Presiden sering dipaksa untuk ikut campur tangan dalam proses hukum, khususnya terhadap Kejaksaan dan Kepolisian dan juga KPK. Padahal, campur tangan Presiden dalam proses hukum merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap prinsip hukum acara, undang-undang, dan bahkan konstitusi negara.

Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 telah jelas dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Lalu bagaimana halnya dengan ungkapan yang menyatakan bahwa  Presiden adalah bagian dari penegakan hukum  ?. Pernyataan seperti ini sebenarnya tidak salah namun penegakan hukum yang dimaksud di sini adalah penegakan hukum dalam arti luas, bukan dalam arti intervensi terhadap proses hukum atau suatu perkara.

Jadi, Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang juga bertanggung jawab atas penegakan hukum. Namun, penegakan hukum di sini bukan berarti campur tangan dalam proses kasus hukum, melainkan penegakan hukum yang berupa pelaksanaan peraturan atau penggunaan hak prerogatifnya. Oleh sebab itu, jika terjadi ketidakpatuhan hukum di lingkungan pemerintahan, maka akibat yang timbul menjadi tanggung jawab Presiden.

Karena penegakan hukum di suatu negara menjadi tanggung jawab  seorang presiden yang sedang berkuasa. Baik buruknya proses penegakan hukumpun akan menodai nama presiden.

Sehingga kalau misalnya ada dua lembaga penegak hukum yang sedang berkonflik, seorang Presiden tidak boleh diam saja dengan alasan tidak mau intervensi terhadap penegakan hukum.

Peran seorang Presiden dalam penegakan hukum pernah disampaikan oleh Prabowo Subianto dalam debat Pilpres yang digelar Kamis (17/1/2019) yang lalu. Saat itu Prabowo sempat menyebutkan bahwa dirinya akan menjadi chief of justice enforcement alias panglima hukum tertinggi pada sektor penegakan hukum apabila terpilih menjadi presiden  nantinya.

Apa yang disampaikan Prabowo saat itu merupakan bentuk penegasan posisi seorang Presiden dalam penegakan hukum di Indonesia.  Sejauh ini pemerintah, termasuk di pemerintah yang sekarang, berkuasa, ketika dihadapkan pada masalah hukum yang rumit, gampang sekali mengatakan itu urusan penegak hukum, kami tidak mau mengintervensinya.

Pada hal seyogyanya pemerintah harus  bertanggung jawab untuk melaksanakan penyelarasan dan juga untuk melakukan perbaikan penegakan hukum.  Dalam istilah yang disampaikan oleh Prabowo, seorang Presiden adalah adalah chief of law and enforcement officer. Penanggung jawab pelaksanaan dan penegakan hukum Itu  ada ditangan seorang presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala negara dalam arti yang seluas luasnya.

Dengan konstruksi pemikiran sebagaimana dikemukakan diatas, lalu apakah instruksi presiden Jokowi  yang meminta pimpinan KPK  agar  tidak menggunakan hasil tes TWK sebagai dasar pemberhentian pegawai KPK itu sudah sesuai dengan kewenangannya ?

Menurut hemat saya hal tersebut masih masuk kedalam ruang lingkup kewenangan seorang Presiden  untuk mengawal penegakan hukum dalam arti luas, bukan dalam arti intervensi terhadap sebuah kasus hukum atau suatu perkara.

Jadi, Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang juga bertanggung jawab atas penegakan hukum. Namun, penegakan hukum di sini bukan berarti campur tangan dalam proses perkara, melainkan penegakan hukum yang berupa pelaksanaan peraturan perundang undangan agar tetap sejalan dengan koridor yang diatur ketentuan yang berlaku dan tidak mengada ada.

Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman atas pembatasan kekuasaan presiden dalam penegakan hukum, yakni pada tataran praktik dan implementasi dalam perspektif negara hukum yang menjamin kepastian hukum dalam penegakan hukum bukan kasus per kasus atau suatu perkara.

Instruksi Presiden Soal TWK

Meskipun dinilai terlambat, namun sikap Presiden yang telah mengeluarkan pernyataan/ sikap menolak hasil tes TWK yang dilakukan oleh KPK  dijadikan dasar pertimbangan untuk memecat pegawai KPK dianggap tepat dan memang sudah seharusnya.

Karena penyelenggaraan kegiatan TWK itu sendiri mengandung kontroversi dengan adanya kejanggalan didalamnya. Kejanggalan itu misalnya seperti diungkapkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi  yang mengatakan bahwa TWK hanya dijadikan alat oleh Pimpinan KPK Firli Bahuri untuk menyingkirkan punggawa-punggawa KPK.

Koalisi itu menegaskan bahwa sejak awal mereka meyakini TWK melanggar hukum dan bertentangan dengan etika publik, karena konsep tersebut tidak diatur dalam UU KPK baru dan peraturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah No 41 tahun 2020.

 “Namun, Ketua KPK tetap melanggar dengan menyelundupkan TWK dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021. Ini mengartikan Firli Bahuri bersama dengan Pimpinan KPK lainnya telah melampaui wewenang dan bertindak di luar batasan hukum,” jelasnya seperti dikutip media 17/05/21.

Selain itu, lanjutnya publik juga mendengar alasan yang diutarakan perihal ketidaklulusan dikaitkan dengan sikap radikalisme sejumlah pegawai KPK. Hal itu sejalan dengan narasi hoaks seperti ‘kadrun’ dan ‘taliban’ yang selalu dialamatkan kepada Wadah Pegawai (WP) KPK.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi juga menemukan fakta bahwa 75 pegawai KPK yang dikatakan tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan TWK ini pernah bermasalah dengan pimpinan KPK.

Beberapa di antara mereka, contohnya,adalah pernah memeriksa pelanggaran etika yang dilakukan Firli Bahuri sewaktu menjalin komunikasi dengan seorang kepala daerah di Nusa Tenggara Barat. Namun, sebelum hasil pemeriksaan itu diketahui hasilnya, Firli Bahuri langsung ditarik kembali ke instansi asalnya.

Sementara  itu Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman bahkan terang-terangan menduga ada upaya "menggergaji" penyidikan kasus bansos Covid-19. Caranya menyingkirkan penyidik KPK yang menangani perkara ini lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

“Penyidik KPK kini terbelah antara kelompok pendukung pengusutan tuntas korupsi dana bansos dan yang tidak. Kelompok pendukung diberhentikan. Caranya cukup halus. Melalui tes wawasan kebangsaan. Rakyat tau tapi takut,” kata Benny dari akun Twitter-nya, seperti dikutip Tempo, Kamis (6/5/2021).

Seperti diberitakan oleh Tempo , beberapa pegawai yang dipecat memang sedang menangani perkara kakap seperti korupsi bansos Covid-19 yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Selain itu, ada juga penyidik yang sedang menangani kasus suap izin ekspor benih lobster yang tengah disidang perkaranya.

Mantan juru bicara KPK Febri Diansyah menguatkan kecurigaan ini. Dia mengatakan sejumlah penyidik KPK yang diduga akan disingkirkan tengah menangani kasus-kasus kakap yang menggerogoti uang negara.

“Sebut saja korupsi Bansos Covid-19, suap benur di KKP, kasus suap terkait izin di ESDM dengan tersangka Samin Tan, E-KTP dan Tanjungbalai,” kata Febri lewat akun Twitter-nya, 4 Mei 2021.

Sementara itu penyidik senior KPK yang ikut menjadi korban TWK yaitu Novel Baswedan ikut angkat suara.Novel mengaku curiga tes wawasan kebangsaan memang skenario yang dibuat untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK termasuk dirinya.

Dia memiliki dugaan tersebut lantaran ada sejumlah kejanggalan dalam prosesnya. Terlebih, Novel pun yakin para pegawai yang dinyatakan tidak lulus itu memiliki intelektualitas yang mumpuni  serta sudah teruji integritasnya.

Atas dasar itu, Novel jadi merasa aneh ketika orang-orang yang bekerja dengan baik dan memiliki intelektualitas mumpuni justru dinyatakan tidak lulus dan dinonaktifkan dari KPK

Selain masalah seperti dikemukakan diatas, beredar kabar bahwa bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat mengikuti TWK terindikasi rasis (intoleran), melanggar hak asasi manusia, dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Hal ini menunjukkan kegagalan penyelenggara dalam memahami secara utuh konsep dan cara mengukur wawasan kebangsaan sebagai syarat menjadi pegawai KPK

Bisa jadi karena melihat adanya banyak kejanggalan kejanggalan tersebut pada akhirnya Presiden Jokowi bersuara untuk menyatakan  sikapnya menolak hasil tes TWK yang dilakukan oleh KPK  dijadikan dasar pertimbangan untuk memecat pegawai KPK.

Konsekuensi  Pernyataan Presiden

Pernyataan seorang Presiden itu tentu bukan ucapan yang keluar dari mulut orang biasa. Apalagi pernyataan itu disuarakan secara resmi sebagai bentuk sikap seorang Kepala negara yang mengemban amanah berjuta juta rakyat yang tela hmemilihnya.

Sehingga ucapan seorang Presiden seyogyanya mengandung konsekuensi hukum dan tidak boleh dipandang sebagai ucapan tanpa makna.

Menanggapi pernyataan Presiden yang menyatakan sikapnya menolak hasil tes TWK yang dilakukan oleh KPK  dijadikan dasar pertimbangan untuk memecat pegawai KPK,Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap menilai KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak mematuhi instruksi dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait rencana memecat 51 orang dari 75 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).

Selain itu, Yudi menyebut pimpinan KPK dan BKN telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mengindahkan jaminan konstitutional. Yakni berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang diperkuat dengan Nomor 70/PUU-XVII/2019.

"Sikap pimpinan KPK dan kepala BKN adalah bentuk konkret dari sikap tidak setia terhadap pemerintahan yang sah," ucapnya seperti dikutip liputa6.com 25/05/21.

Sementara itu Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Pembelajaran Anti-Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hotman Tambunan, menilai keputusan pimpinan KPK dan sejumlah lembaga terhadap 51 pegawai tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) melawan hukum dan membangkang instruksi Presiden Indonesia.

"Sebagaimana putusan MK [Mahkamah Konstitusi] tidak boleh merugikan pegawai dalam pengalihan status pegawai KPK dan instruksi presiden bahwa tidak boleh alasan TWK untuk memberhentikan 75 orang, maka 75 orang pegawai tersebut harus diangkat jadi PNS," ujar Hotman seperti dikutip  CNNIndonesia.com, Selasa (25/5).

Sikap pimpinan KPK yang menolak atau mengabaikan perintah dari Presiden Jokowi  ini juga ditanggapi oleh mantan Pimpinan KPK  Bambang Widjojanto  (BW) yang  menyebut Firli Bahuri mencederai kehormatan Presiden Jokowi bila tidak menindaklanjuti perintah terkait 75 pegawai KPK.

Tidak hanya itu, menurut BW, Firli Bahuri dkk adalah penanggungjawab tertinggi pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, tindakan Firli Bahuri dkk yang melawan perintah Presiden tidak hanya dapat dikualifikasi sebagai pembangkangan tapi juga disebut obstruction of justice.Karena secara langsung atau tidak, telah merintangi tindakan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini merupakan kejahatan sesuai UU Tipikor.

Oleh karena itu, lanjut BW, untuk menghindari situasi yang lebih buruk lagi pada upaya pemberantasan korupsi maka demi hukum kebijakan nonjob dari Firli Bahuri dkk harus dinyatakan batal demi hukum dan 75 Pegawai KPK mendapatakan legalitasnya.

“ Ketua KPK harus diperiksa oleh Dewan Pengawas untuk melihat indikasi pelanggaran etik & perilaku serta untuk diberhentikan sementara; anggota Dewas yang membuat pernyataan sehingga menimbulkan potensi konflik kepentingan harus diperiksa Dewan Etik Independen; metode TWK harus diperiksa oleh Komnas HAM agar tidak diisntrumentasi sebagai alat kepentingan kekuasaan yang potensial disalahgunakan," pungkasnya seperti dikutip media.

Demikianlah suara suara yang muncul menyikapi pernyataan Presiden yang tidak dihiraukan oleh pimpinan KPK dan jajarannya. Sehingga publik menjadi semakin bingung menilai sebenarnya siapa yang berkuasa di republik Indonesia.

Mengurai Makna

Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa seorang Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang juga bertanggung jawab atas penegakan hukum.

Namun, penegakan hukum di sini bukan berarti campur tangan dalam proses perkara, melainkan penegakan hukum yang berupa pelaksanaan peraturan perundang undangan agar tetap sejalan dengan koridor yang diatur ketentuan yang berlaku dan tidak mengada ada.

Seorang Presiden menjadi chief of justice enforcement alias panglima hukum tertinggi pada sektor penegakan hukum sehingga ketika penegakan hukum berjalan tidak pada rel yang seharusnya seorang Presiden tidak boleh berdiam diri saja dengan menyatakan bahwa itu bukan kewenangannya.

Kiranya pernyataan Presiden yang menolak yang meminta pimpinan KPK  agar tidak menggunakan hasil tes TWK sebagai dasar pemberhentian/ penonaktifan pegawai KPK itu sudah sesuai dengan kewengannya dan memang sudah seharusnya. Menjadi aneh kemudian ketika arahan/ pernyataan Presiden  itu kemudian  diabaikan begitu saja  oleh pimpinan KPK.

Pada hal sesuai dengan  ketentuan Undang Undang, staf KPK itu berada di bawah pemerintah, dan KPK sendiri adalah lembaga eksekutif yang berada di bawah presiden, maka aneh jika status ASN nya ditentukan sendiri oleh KPK, bukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN RB).

Menjadi aneh juga ketika “perintah” itu diabaikan tetapi Presiden dan jajarannya terkesan tidak menggubresnya. Pada hal pengabaian itu mengandung unsur pembangkangan, mencederai kehormatan Presiden, melawan hukum dan sebagainya.

Sampai disini akhirnya timbul kecurigaan, apakah sikap Presiden yang seolah olah membela  Novel Basweda dkk dengan menolak penonaktifan pegawai KPK melalui tes TWK itu sebuah niat tulus ikhlas untuk menyelamatkan KPK atau sebaliknya ?

Mengutip ungkapan Gde Siriana dalam akun twiternya @SirianaGde :  “ Jadi kalau di depan umum bos bertindak sekan2 bela anak buah disuatu lembaga, tapi dibelakangnya menghancurkannya secara halus dan legal, itu ibarat dukun cabul. Pura2 ngobatin tap malah memperkosa. Dilembaga mana itu ?”.

Masyarakat sepertinya memang mempunyai sudut pandang dan tafsir yang berbeda beda mengenai fenomena adanya pernyataan Presiden yang diabaikan oleh pimpinan KPK. Kalau Anda sendiri memandangnya  seperti apa ?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar