Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Dua Peristiwa Penyempurna dalam Upaya Melumpuhkan KPK

Jum'at, 07/05/2021 08:36 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J. Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J. Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Menjelang akhir bulan suci romadhon tahun ini, kita dikejutkan oleh munculnya dua peristiwa terkait dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berita pertama tentang kabar tidak lolosnya penyidik senior KPK Novel Baswedan dkk dari uji tes wawasan kebangsaan. Berita kedua soal uji formil Undang Undang KPK hasil revisi yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Kedua berita itu memang tidak berkaitan langsung antara satu dengan yang lainnya namun mempunyai obyek yang sama yaitu KPK. Kedua peristiwa meskipun tak berkorelasi secara langsung namun ada benang merah didalamnya karena menyangkut masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Benarkah selama ini memang ada upaya untuk membuat KPK menjadi tidak berdaya ?. Mengapa dua peristiwa ( ditolaknya uji formil UU KPK hasil revisi oleh MK dan tidak lolosnya Novel dkk) disebut-sebut sebagai bagian dari rangkaian upaya penyempurna kebijakan untuk melumpuhkan KPK ?, Seperti apa kira-kira  wajah pemberantasan korupsi di Indonesia ke depannya ?

Jalan Panjang Mengebiri KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia atau biasa disingkat KPK, adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

KPK lahir sebagai respons dari situasi penegakan hukum pemberantasan korupsi oleh para penegak hukum konvensional  yang dinilai tidak berdaya. Karena itu dengan perspektif bahwa korupsi itu merupakan tindak pidana yang luar biasa, maka harus dihadapi dengan cara-cara yang luar biasa pula. 

Dengan dasar pertimbangan tersebut maka maka dilahirkanlah KPK dengan segala kewenangannya yang  luar biasa. Demikian halnya "sasaran tembaknya" pun ditentukan: koruptor penegak hukum dan penyelenggara negara serta pihak-pihak yang terkait dengan besaran kerugian negara minimal satu miliar nilainya.KPK bersifat independen dalam melaksanakan tugasnya. Lembaga ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Sejak awal mula kehidupannya, jalan yang ditempuh KPK  tidak mudah karena secara berkala dan terencana dia telah diserang dari berbagai penjuru untuk melumpuhkan bahkan membunuhnya. Alasannya jelas: koruptor tidak ingin lembaga ini hidup karena akan mengganggu misinya menggarong uang negara. 

Berbagai cara, strategi dan taktik dilakukan untuk melumpuhkan KPK. Cara-cara itu dilakukan kadang-kadang dengan dalih untuk menguatkan eksistensi KPK pada hal sebenarnya justru ingin melemahkannya. Beberapa cara itu diantaranya:

1.Status Lembaga Ad-Hoc KPK 

KPK hadir karena lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman dinilai tidak berdaya sehingga harus ada lembaga yang mempunyai status “istimewa” untuk memberantas korupsi di Indonesia. 

Salah satu keistimewaan KPK selain sebagai lembaga yang independent, KPK adalah lembaga yang bersifat ad- hoc alias sementara. Dengan harapan kalau korupsi sudah semakin menyusut jumlahnya dan lembaga yang permanen seperti Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman sudah mampu menjalankan tugasnya memberantas korupsi di Indonesia, maka KPK tidak perlu dilanjutkan lagi keberadaannya.

Tetapi dengan statusnya sebagai lembaga ad hoc ini pula akhirnya dijadikan alasan oleh mereka yang ingin melumpuhkan KPK. Dengan alasan sebagai lembaga ad hoc maka sudah waktunya KPK mengakhiri tugasnya karena pemberantasan korupsi  dianggap sudah bisa dipegang kembali oleh lembaga permanen yang selama ini menangani korupsi di Indonesia.

Pada hal faktualnya meskipun sudah hampir 20 tahun usianya, korupsi di Indonesia tetap saja merajalela sehingga keberadaan KPK multak adanya. Untuk Indonesia, korupsi rupanya bukanlah "darurat korupsi" tapi "bahaya laten" karena bahaya ini akan terus-menerus ada bahkan cenderung menguat intensitasnya. 

Untuk mereka yang ingin melumpuhkan KPK, status ini selalu diungkapkan dan menjadi alasan untuk tidak harus tetap mendukung KPK.Syukurlah status "ad-hoc" ini tidak secara jelas tertera kapan harus selesasi dalam undang-undang KPK sehingga "darurat korupsi" masih bisa terus berlanjut, dan KPK tetap menjadi lembaga yang diperlukan adanya.

Ada juga yang beralasan bahwa dengan label lembaga “ad hoc” itu KPK bisa di bubarkan kapan saja apalagi setelah sekian lama diberikan kesempatan untuk memberantas korupsi dengan kewenangan yang istimewa ternyata KPK  tidak juga mampu memberantas korupsi di Indonesia. Makanya buat apa lembaga ini terus dipertahankan keberadaannya ?, demikian alasannya mereka yang ingin membubarkan KPK.

Sejauh ini upaya untuk memberangus KPK secara formal memang tidak berhasil, yang bisa dilakukan pada akhirnya adalah mengebiri kewenangannya supaya tidak lagi punya kemampuan untuk menjinakkan koruptor yang menjadi musuh utamanya. 

2. Proses Pemilihan Pimpinan KPK 

Peran pimpinan sangat sentral bagi  KPK karena segala keputusan penting akan diputuskan oleh para pimpinan tersebut secara bersama sama. Oleh karenanya siapa-siapa mereka yang menjadi pimpinan KPK akan sangat menentukan wajah KPK yang dipimpinnya. 

Mereka yang ingin melemahkan KPK sangat menyadari kenyataan ini sehingga berupaya melakukan intervensi untuk menentukan siapa pimpinan KPK. Oleh karenanya proses pemilihan pimpinan KPK selalu selalu riuh oleh keramaian yang mewarnai proses pemilihannya. 

Ada beberapa titik rawan yang dapat digunakan untuk melumpuhkan KPK dalam proses ini: mulai pembentukan Panitia Independen Seleksi Calon Pimpinan KPK, perekrutan calon, tata cara penyeleksian, sampai pemilihan calonnya menjadi pimpinan KPK.

3. Tenaga Penyidik dan Jaksa di KPK 

Selain unsur pimpinan KPK maka mereka yang juga berperanan penting dalam menentukan baik-buruknya kinerja KPK adalah para penyidik dan jaksa yang ada di KPK. Merekalah sebagai tenaga teknis yang sangat menentukan mutu setiap kasus yang diajukan oleh KPK. 

Mereka yang ingin melemahkan KPK mengincar potensi ini dengan berupaya menyusupkan para penyidik atau Jaksa yang menjadi “orang orangnya” ke KPK.  Ketika penyidik atau Jaksa yang dikirim ke KPK itu ternyata benar benar telah menjalankan tugasnya secara amanah, bisa saja kemudian ditariknya dengan alasan rotasi atau yang lainnya.

Kesulitan KPK untuk mandiri dari pengadaan tenaga-tenaga teknis ini merupakan kelemahan yang gampang dimanfaatkan untuk upaya pelemahan KPK melalui intervensi dari lembaga yang selama ini mensupport tenaganya ke KPK.

4. Kriminalisasi Pimpinan KPK 

Kriminalisasi pimpinan KPK merupakan  peluru pembunuh yang beberapa kali sudah terbukti keampuhannya. Peluru ini menjadi ampuh karena begitu gampang direkayasa apalagi dilakukan oleh lembaga hukum lain yang punya wewenang dan sifatnya independen sehingga sulit untuk diintervensi atau harus dengan tindakan hukum luar biasa. 

Dengan melihat keampuhan ini maka tidak heran cara ini selalu bisa digunakan untuk melumpuhkan KPK. Peristiwa pidana sekecil apapun bisa dipakai menjadi alasan untuk mentersangkakan pimpinan atau staff KPK. Cara ini bertambah didigjayaannya karena dalam UU KPK sendiri telah jelas dikatakan jika seorang pimpinan menjadi tersangka maka secara otomatis harus diberhentikan sementara. 

Dugaan adanya kriminalisasi KPK sempat mencuat era KPK yang dipimpin oleh Abraham Samad dan Antasari Azhar dimana keduanya pada akhirnya harus kehilangan jabatannya bahkan dijebloskan ke penjara atas suatu kasus yang dituduhkan kepadanya.

5. Menghambat Kinerja KPK 

Untuk melumpuhkan KPK bisa pula dilakukan dengan cara menghambat kinerjanya melalui pengurangan fasilitas yang seharusnya diterimanya. Misalnya saja dengan mengurangi anggaran untuk operasionalnya, tidak memberikan tenaga penyidik atau Jaksa yang berkualitas atau menarik pulang tenaga tenaga teknis potensial yang sudah ada di KPK.

Cara cara ini secara perlahan akan membuat KPK menjadi lemah kinerjanya karena salah satu komponen utama untuk sarana bekerja telah di kurangi sedemikian rupa sehingga menghambat irama kerjanya. Dampak dari serangan  seperti ini memang tidak secara langsung tapi jika sering dilakukan pasti akan mengganggu kinerja KPK dan akhirnya melemahkan KPK. 

6. KPK buka Cabang

Dengan alasan supaya KPK lebih punya pengaruh yang luas, maka pernah ada usulan agar KPK membuka perwakilan di seluruh Indonesia.Namun usulan ini  sedungguhhnya mengandung nuansa jebakan untuk memperlemah eksistensi KPK. 

KPK saat ini adalah lembaga yang tidak besar sehingga gampang dikelola. Bisa dibayangkan jika tiba-tiba KPK dipaksa untuk mempunyai cabang disetiap propinsi atau sampai tingkat kabupaten/ Kota maka diperlukan struktur organisasi yang besar dan membutuhkan ribuan tenaga kerja. Tentu hal ini berpotensi menjatuhkan kualitas dan mutu KPK.

7. Media dan Demo Anti KPK

Ketika ada koruptor ditangkap KPK, biasanya akan ada media media yang melakukan pembelaan maupun para pendemo yang menyerang KPK. Tujuan media dan pendemo ini tentu saja untuk mempengaruhi opini publik bahwa KPK sudah bekerja secara tidak benar sehingga tidak seharusnya dipercaya.

Ungkapan yang  sering di usung oleh para  penyerang   adalah bahwa "KPK bukan malaekat" yang harus dipandang benar semua tindakanya.Sekilas pendapat ini memang ada benarnya namun jika setiap kali menangani kasus selalu dihembuskan isu seperti ini maka lama lama bisa mempengaruhi opini publik akan eksistensi  KPK.

Demikianlah serangkaian cara yang selama ini dilakukan untuk membuat KPK menjadi tidak berdaya. Tentunya banyak cara cara lain yang telah dicoba dilakukan seperti menakut nakuti tenaga teknis yang ada di KPK, mempraperadilankan kasus kasus yang ditangani oleh KPK dan sebagainya.

Puncak Upaya

Serangkaian upaya yang dilakukan untuk melemahkan KPK seperti dikemukakan diatas sifatnya hanya bersifat parsial dan tidak terlalu sistematis sifatnya. Belakangan sudah  tercium aroma adanya  upaya yang dilakukan secara sistematis dan terencana untuk mengebiri KPK. 

Mungkin pertimbangannya kalau mau meniadakan KPK secara formal akan sangat banyak sekali penentangnya dan terlalu vulgar penampakannya. Maka dicari jalan untuk melemahkan KPK dengan cara mengebiri kewenangan secara sistematis dan legal melalui ketentuan dan prosedur yang ada.

Cara untuk mengebiri KPK secara sistematis itu akhirnya dilakukan dengan merevisi UU KPK yang lama. Diyakini merevisi Undang-undang KPK adalah cara yang paling efektif untuk melumpuhkan KPK karena lewat revisi ini dimasukkan ketentuan yang akan membatasi atau menghilangkan ruang geraknya. 

KPK  sendiri telah mengidentifikasi 26 poin yang berpotensi  melemahkan KPK didalam Undang Undang KPK hasil revisi yang telah disahkan pemberlakuannya. Dari 26 poin tersebut selain hilangnya independensi KPK juga ada upaya untuk membatasi dan mengurangi kewenangan KPK.

 Pengurangan kewenangan KPK  misalnya dalam hal KPK tidak berwenang lagi mengelola laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) serta KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik internalnya.

Sementara, pembatasan pada kewenangan KPK tampak dengan diusulkannya organisasi dewan pengawas yang sebelumnya tidak ada.  KPK juga masuk rumpun eksekutif dan pegawainya dijadikan pegawai negeri (ASN) yang membuat tidak lagi independent statusnya. Karena makna dari independen pada organisasi negara adalah bukan bagian dari eksekutif, legislatif dan yudikatif atau organ kelembagaan negara lainnya. 

Jika disimpulkan ada tujuh aspek yang sangat potensial melemahkan KPK dengan hadirnya UU baru hasil revisi sebagaimana tertuang di Undang Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK, yaitu :

Pertama, terkait kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang  berpotensi mengangganggu independensinya. Kedua, mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK yang bisa berpotensi menyetir jalannya KPK. Ketiga, terkait pelaksanaan fungsi penyadapan yang tidak lagi leluasa seperti sebelumnya . Keempat, mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK dimana SP3 ini bisa dimain mainkan untuk kepentingan tersangka.

Kelima, terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana kepada kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara . Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan. Ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.

Meskipun sudah nampak jelas adanya upaya pelemahan KPK melalui revisi Undang Undangnya namun  kampanye yang beredar adalah sebaliknya.Isu-isu yang selalu diangkat untuk menyembunyikan maksud mereka yang sebenarnya  adalah: "untuk memperbaiki KPK", "Agar KPK lebih fokus", "memperkuat KPK", "Supaya KPK tidak jadi lembaga Super-Body", " KPK lebih efektif","mau menyempurnakan UU KPK" dan sebagainya. Pada maksud sebenarnya bisa malah sebaliknya.

Tidak berkelebihan kiranya kalau disebut revisi UU KPK merupakan puncak dari upaya untuk melemahkan KPK setelah berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya. Tak aneh kalau kemudian setelah UU KPK hasil revisi disahkan,panen gugata ke MK. Karena secara substansial dan formil memang terlihat banyak mengandung cacat hukumnya.

Upaya Paripurna

Beberapa elemen masyarakat memang telah melayangkan gugatan atas disahkannya l revisi UU KPK ke MK dengan harapan lembaga pengadil itu berkenan untuk membatalkan revisi UU KPK yang dinilai  melemahkan KPK.

Keputusan dari MK mengenai gugatan tersebut akan sangat berpengaruh pada masa depan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga keputusan MK sangat dinantikan oleh para pegiat anti korupsi bahkan oleh segenap anak bangsa yang peduli pada pemberantasn korupsi di negara kita. 

Tetapi seperti kita ketahui bersama, ternyata MK menolak gugatan formil dan materiil revisi UU KPK. Artinya revisi UU KPK yang telah diketok palu  berlakunya beberapa waktu yang lalu tetap sah adanya. Penolakan ini terasa sangat menyesakkan dada karena tidak sesuai dengan harapan rakyat pada umumnya.

Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menilai  dengan ditolaknya uji formil dan materiil  oleh MK  maka mengandung makna bahwa MK telah merestui korupsi di Indonesia.

"Saya kira kalau MK tidak mengabulkan permohonan para penggugat, ini satu bentuk dari condoning corruption (memaafkan korupsi). Jadi, seolah-olah merestui korupsi yang merajalela itu, merestui KPK yang tidak berdaya," kata Azyumardi dalam sebuah diskusi daring, Minggu (2/5) sebagaimana dikutip media.

Selain itu, Azyumardi berpendapat, dengan penolakan MK  maka itu juga seolah-olah  MK merestui oligarki politik yang sebetulnya secara diam-diam menyetujui korupsi di Indonesia. Dampak nyatanya, menurut Azyumardi korupsi akan semakin merajalela di Indonesia.

"Karena apa, karena para koruptor dan calon-calon koruptor menganggap bahwa mereka tidak akan mendapatkan hukuman apa-apa secara hukum. Kalau pun mereka kemudian mungkin bisa diambil oleh KPK maka kemudian mereka juga punya peluang untuk mendapatkan SP3," ujarnya.

Sementara itu Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari mengatakan pelemahan terhadap KPK telah dirancang sedemikian rupa sejak lama.Pemerintah telah menguasai lembaga yudikatif untuk memastikan kehancuran KPK. 

Menurutnya, hal tersebut terlihat dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji formil UU KPK. "Di sinilah kita bisa lihat bagaimana paripurnanya pemerintahan atau rezim ini menghancurkan KPK," ujarnya seperti dikutip CNNIndonesia.com  Rabu (5/5).

Senada dengan Feri, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo menduga hasil politik usai Pilpres 2019 menuntut adanya negosiasi-negosiasi baru yang dilakukan pemerintah dengan DPR maupun partai politik dimana hasil negosiasi itu adalah membinasakan KPK."Di situ lah negosiasi berujung kepada kesepakatan untuk membinasakan KPK dengan adanya revisi," kata Adnan  seperti dikutip CNNIndonesia.com Rabu (5/5).

Alhasil penolakan uji materiil dan formil UU KPK oleh MK boleh disebut sebagai upaya untuk menyempurnakan pelemahan KPK. Karena lembaga yang semula diharapkan sebagai benteng terakhir untuk menyelamatkan KPK ini ternyata seiring sejalan ikut mematikan lembaga yang menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selain penolakan uji formil dan materiil oleh MK, upaya paripurna lainnya adalah kabar yang tidak sedap terkait dipecatnya Novel Baswedan dkk sebagai penyidik senior KPK.  Novel bersama 70 pegawai KPK lainnya dikabarkan harus hengkang dari KPK karena dinilai tidak lolos tes wawasan kebangsaan yang diselenggarakan untuk “menyaring” personil KPK.

Tes wawasan kebangsaan tersebut merupakan bagian dari proses alih status pegawai KPK menjadi ASN. Secara kelembagaan, KPK tunduk kepada peraturan bahwa pengalihan pegawai KPK menjadi ASN merupakan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Novel Baswedan sendiri menganggap tes tersebut menjadi bagian dari upaya menyingkirkan pegawai independen di KPK yang sudah dilakukan sejak lama. Namun, Novel mengatakan upaya kali membuatnya terkejut. “Bila info tersebut benar, tentu saya terkejut. Karena baru kali ini upaya tersebut justru dilakukan oleh pimpinan KPK sendiri,” kata dia seperti dikutip media.

Tes wawasan kebangsaan untuk pegawai KPK) sendiri dinilai janggal dan mengada ada. Sebagai contoh salah satu pertanyaan dalam tes itu disebut memuat soal pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab (HRS).

Selain soal FPI dan HRS dipertanyakan juga soal nikah dan qunut untuk menguji calon ASN pegawai KPK. "Iya, ada pertanyaan kayak gitu," ujar sumber internal seperti dikutip CNNIndonesia.com Selasa (4/5).Sebelumnya, KPK sempat diserang isu polisi Taliban vs polisi India.

Hal itu merujuk kepada tudingan kubu tertentu yang condong pada radikalisme di tubuh KPK.Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi III DPR, menyebut kubu Taliban merujuk pada kubu Novel Baswedan, dan polisi India merujuk pada kubu di luar Novel Baswedan dkk.

Sementara itu pengamat politik, Rocky Gerung sebagaimana dikutip law-justice.co, menyebut kabar tidak lolosnya Novel Baswedan dalam  tes wawasan kebangsaan (TWK) dan ancaman dipecat dari KPK sebagai sebuah kabar  duka cita.

Pasalnya menurut Rocky Gerung, Novel Baswedan merupakan sosok yang erat kaitannya dengan KPK dan beberapa kali terlibat aksi pemberantasan para pelaku korupsi di Indonesia. Dengan demikian, dia menyebut KPK tidak tewas karena Covid-19 atau corona, melainkan karena stupid atau kebodohannya.

Sosok Novel Baswedan sejauh ini memang sangat identik dengan KPK. Tanpa Novel Baswedan rasanya KPK menjadi tidak ada apa apanya. Selama ini banyak kasus kasus besar yang muncul ke permukaan berkat kiprahnya sebagai penyidik senior di KPK. Perjuangannya dalam memberantas korupsi di Indonesia sudah terbukti nyata hasilnya.

Bahkan karena kegigihannya dalam menyeret koruptor kakap ke penjara pada akhirnya ia banyak di incar koruptor untuk di singkirkan dari KPK. Sampai sampai matanya terancam buta karena disiram air keras yang hingga kini belum ketahuan siapa dalang pelakunya. Pelaku yang diduga menyiram Novel dan yang sekarang sudah dijatuhi hukuman dua tahun penjara dinilai publik bukan pelaku yang sesungguhnya.

Novel merelakan matanya hilang supaya negeri ini tidak buta terhadap korupsi yang kini merajalela.  Kalau kemudian Novel dkk nantinya benar benar hilang maka siapakah kiranya yang bisa memandang secara tajam tempat persembunyian para koruptor yang telah menggerogoti keuangan negara ?

Makanya dengan prestasinya yang begitu kasat mata maka menjadi aneh dan ajaib kalau kemudian seorang Novel dkk harus hengkang dari KPK karena dianggap tidak lolos tes wawasan kebangsaan yang diikutinya. 

"Kalau Novel Baswedan @nazaqistsha tdk lulus test kebangsaan dan dipecat dari @KPK_RI, kira2 siapa2 saja yg bisa jadi penyidik @KPK_RI?" tulisnya  Said Didu melalui  Twitter @msaid_didu yang merupakan akun pribadinya.

Tak pelak penyingkiran Novel dkk dari KPK melalui tes uji kebangsaan hanya semacam akal akalan saja untuk menyingkirkan dia dari KPK. Apalagi beberapa sumber mengatakan mayoritas yang dipecat adalah penyidik senior di lembaga antikorupsi tersebut sebagai  upaya menyingkirkan pegawai independen, di antaranya penyidik dan penyelidik yang diangkat oleh KPK.

Kalau memang benar demikian kondisinya maka tidak berlebihan kiranya jika dua peristiwa yang muncul akhir akhir ini yaitu ditolaknya uji materiil dan formil UU KPK hasil revisi dan dugaan akan dipecatnya Novel dkk sebagai rangkaian agenda sistematis untuk melemahkan KPK. Kedua peristiswa ini merupakan agenda paripurna untuk melengkapi kisah upaya pelemahan KPK yang telah dilakukan sebelumnya.

Dilema Melanda

Serangkaian peristiwa yang menimpa KPK akhir akhir ini telah membuat publik merasa kecewa. Kekecewaan antara lain disampaikan oleh akademi dan tokoh anti korupsi Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin Mochtar yang kemudian  menyerukan agar KPK hasil revisi UU sebaiknya dibubarkan saja.

Salah seorang penggagas KPK bersama tokoh anti korupsi lain, Sudirman Said, juga menyerukan hal serupa. Sebaiknya dibubarkan dan dibangun KPK yang baru saja.Membangun KPK yang baru, yang progresif, tentu bakal menjadi pertanyaan besar bagaimana konkritnya. Akankah elite politik mau membangunnya? Bukankah mereka akan merasa nyaman hidup tanpa adanya KPK ?

Seruan pembubaran KPK boleh jadi menjadi cermin sikap masyarakat sipil yang frustasi dan kecewa. Boleh jadi, cermin kelelahan masyarakat sipil dalam membentengi KPK, dan tentunya, kefrustrasian masyarakat sipil merupakan kemenangan simbol kemenangan para koruptor di republik ini yang menghendaki KPK lemah tak berdaya.

Kini memang terjadi dilema dimana aspirasi untuk membubarkan KPK sudah mulai menggejala. Pada hal pembubaran KPK itulah yang  justrudikehendaki oleh orang orang yang tidak ingin aksi korupsinya  terganggu karena keberadaan KPK. Pada sisi lain dengan kondisi KPK yang ada saat ini pascar revisi Undang Undangnya, sepertinya tipis harapan untuk membuat lembaga itu mampu memberantas korupsi di Indonesia.

Ada yang berpendapat bahwa lebih baik sekalian tidak ada KPK daripada seolah olah ada KPK  tetapi tidak berdaya memberantas korupsi di Indonesia. Tetapi ada juga yang berpendapat  bahwa KPK harus tetap ada meskipun kini telah dikebiri kewenangannya. Jadi sebaiknya harus bagaimana menyikapinya ?. 

Yang paling dikhawatirkan dari itu semua adalah jangan jangan KPK akan dijadikan sebagai alat gebuk bagi penguasa untuk menyingkirkan lawan lawan politiknya. Karena yang namanya manusia kesalahan itu  pasti ada kalau dicari carinya. Semoga saja hal itu tidak terjadi karena kalau akhirnya menjadi nyata entah kalimat apa yang paling  tepat untuk menggambarkan kondisi penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar