PKS: Peleburan Kemenristek Cermin Suram Pembangunan Ristek Indonesia

Minggu, 18/04/2021 16:00 WIB
Ilustrasi logo Kemenristek dan Kemendikbud. (Foto; Istimewa).

Ilustrasi logo Kemenristek dan Kemendikbud. (Foto; Istimewa).

law-justice.co - Anggota Komisi Riset (Komisi VII) DPR RI, Mulyanto, mengkhawatirkan penggabungan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan berdampak pada mengecilnya aktivitas riset dan inovasi sebagai mesin penggerak pembangunan inovasi nasional.

Penempatan fungsi ristek di Kemendikbud merupakan langkah mundur (set back) karena dapat menjadikan riset sebagai kegiatan akademik semata. Bukan sarana meningkatkan daya saing inovasi nasional.

Padahal, menurut Mulyanto, garda terdepan pengembangan inovasi nasional adalah industri bukan lembaga litbang. Lembaga litbang, baik lembaga riset kementerian teknis, LPNK Ristek, maupun Perguruan Tinggi adalah lembaga penunjang.

Lembaga litbang adalah penghasil pengetahuan (invensi), sementara industri adalah pengguna pengetahuan untuk diubah melalui proses kreatif menjadi produk barang atau jasa inovasi.

"Dengan penggabungan Kemenristek dalam Kemendikbud, maka dikhawatirkan akan semakin jauh hilirisasi hasil riset menjadi produk barang/jasa inovasi. Karena beban Kemendikbud sangat besar dari urusan PAUD, ijazah palsu, perguruan tinggi abal-abal, sampai plagiarisme," kata Mulyanto dalam diskusi online bertema Masa Depan Iptek Indonesia Pasca-Likuidasi Kemenristek yang dilaksanakan Center for Indonesian Reform (CIR), Sabtu (17/4/2021).

Ia menegaskan fraksinya, Partai Keadilan Sejahtera, menolak penggabungan kedua Kementerian tersebut. Apalagi, sisa pemerintahan Presiden Joko Widodo tinggal 2 hingga 3 tahun lagi. Sementara, untuk adaptasi teknis sebuah organisasi pemerintahan memerlukan waktu 2 sampai 3 tahun. Ini belum termasuk proses adaptasi budaya.

Mulyanto menambahkan BATAN dan LAPAN adalah dua LPNK yang dibentuk berbasis undang-undang, yakni UU Nomor 10/1997 tentang Ketenagnukliran dan UU No. 21/2013 tentang Keantariksaan. Karena itu, LPNK ini tidak dapat dilebur ke dalam BRIN. "Itu menyalahi undang-undang," tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasodjo menyampaikan dari segi filosofi dan ukuran, langkah menggabungkan Kemenristek dalam Kemendikbud adalah tidak tepat.

Menurutnya, filosofi Kemenristek dan Kemendikbud sama sekali tidak terhubung. Kemendikbud fokus pada pengembangan SDM, mulai PAUD hingga Perguruan Tinggi, sementara Kemenristek fokus pada pengembangan inovasi dalam industri.

"Sedang dari segi ukuran, Kemendikbud sudah sangat besar karena itu sulit untuk menjalankan tugas terkait Ristek, yang sangat rumit," jelas Eko.

Eko menambahkan dalam UU Nomor 11/2019 tentang Sinas Iptek tidak ada Menteri yang bertanggung jawab untuk menjalankan UU tersebut.

Dalam UU Nomor 18/2002 ada pengaturan tentang Menteri yang bertanggung jawab, sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Umum, bahwa Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam urusan riset dan teknologi. Padahal UU Nomor 11/2019 ini menggantikan UU Nomor 18/2002 tentang Sinas Iptek, sehingga praktis UU Nomor 18/2002 tidak berlaku lagi.

"Ini sebuah kesengajaan untuk meniadakan Menteri yang bertanggung jawab dalam urusan riset dan teknologi atau hanya sekedar ketelingsut," kata mantan Wakil Menteri PAN-RB ini.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar