Jaksa KPK Dakwa Edhy Prabowo Terima Suap Rp25,7 M Terkait Eskpor Benur

Kamis, 15/04/2021 14:24 WIB
Eks Menteri KKP Edhy Prabowo didakwa terima suap senilai Rp25,7 miliar terkait izin ekspor benur (KKP)

Eks Menteri KKP Edhy Prabowo didakwa terima suap senilai Rp25,7 miliar terkait izin ekspor benur (KKP)

law-justice.co - Jaksa KPK mendakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo menerima uang suap sebesar Rp25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster atau benur. Uang suap tersebut didapat Edhy dari pengusaha eksportir benur melalui beberapa tangan anak buahnya.

"Terdakwa Edhy Prabowo bersama-sama Andreau Misanta Pribadi, Safri, Amiril Mukminin, Ainul Faqih, dan Siswadhi Pranoto Loe telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, telah menerima hadiah atau janji," kata jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (15/4/2021).

Edhy Prabowo didakwa bersama stafsus dan Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Budi Daya Lobster Andreau Misanta Pribadi, dan Safri selaku stasfus Edhy dan Wakil Ketua Tim Uji Tuntas, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, dan Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy Iis Rosita Dewi, serta Sidwadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

"Terdakwa melalui Amiril Mukminin dan Safri telah menerima hadiah berupa uang sejumlah USD 77 ribu dari Suharjito selaku pemilik PT Dua Duta Perkasa Pratama (PT DPPP), dan terdakwa melalui Amiril Mukminin, Ainul Faqih, Andreau Misanta Pribadi, dan Siswashi Pranoto Loe menerima hadiah berupa uang sebesar Rp 24.625.587.250 atau sekitar jumlah tersebut dari Suharjito dan para eksportir BBL lainnya," ungkap jaksa KPK.

Jaksa menyebut para pengusaha menyuap Edhy dkk agar mempercepat proses izin ekspor benur. "Dengan maksud supaya terdakwa bersama-sama Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir BBL lainnya," tambah jaksa.

Kasus ini berawal sejak Edhy Prabowo berkeinginan memberikan izin pengelolaan dan budidaya lobster dan ekspor Benih Bening loster (BBL) dengan mencabut Permen KKP RI No 56/PERMEN-KP/2016. Jaksa mengatakan Edhy melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan keinginan itu salah satunya bertemu dengan pihak swasta dari perusahaan kargo untuk merealisasikan rencananya itu.

Bertemulah Edhy dengan Direktur PT PLI Deden Deni Purnama dan pemilik PT PLI Siswadhi Pranoto Loe di rumah dinasnya dan melakukan presentasi. Dalam pertemuan itu, kata jaksa, terjadi penyerahan bendera perusahaan ke Amiril Mukminin.

"Atas permintaan Amiril Mukminin tersebut, selanjutnya Deden Deni Purnama menyampaikannya kepada Siswadhi Pranoto Loe, kemudian SISWADHI menawarkan PT ACK yang juga perusahaan miliknya kepada Amiril Mukminin, dan menyerahkan akta perusahaan guna dilakukan perubahan struktur kepengurusan dan komposisi kepemilikan saham," kata jaksa.

Meski meminjamkan bendera PT ACK ke Amirul, PT PLI mendapat keuntungan, yakni setiap pengiriman ekspor benur yang dilakukan PT ACK, PT PLI mendapat untung Rp 350 per ekor benur.

Setelah urusan kargo rampung, barulah Edhy menerbitkan Permen Nomor: 12/PERMEN-KP/2020 tanggal 4 Mei 2020, yang isinya antara lain mengizinkan dilakukannya budi daya lobster dan ekspor BBL. Dengan adanya ekspor benur itu, pengusaha budi daya lobster tergiur, salah satunya pemilik PT DPPP Suharjito.

Jaksa menyebut Suharjito datang ke rumah dinas Edhy untuk menyampaikan keseriusannya mengikuti ekspor benur. Lalu, kata jaksa, Edhy menunjuk Safri selaku stafsusnya untuk mengurus urusan Suharjito.

"Terdakwa memperkenalkan Suharjito kepada Safri selaku staf khusus Menteri KP-RI, dan mengatakan bahwa terkait pengurusan permohonan izin budi daya lobster dan izin ekspor BBL agar Suharjito berkoordinasi dengan Safri," tutur jaksa.

Selain itu, jaksa juga mengatakan, Edhy membentuk tim uji tuntas atau tim due diligence perizinan usaha perikanan budi daya lobster dengan menunjuk Andreau Misanta Pribadi selaku ketua dan Safri sebagai wakil ketua. Tim itu bertugas memeriksa kelengkapan administrasi dan validitas dokumen yang diajukan perusahaan calon eksportir benur.

Singkat cerita setelah melalui berbagai proses dan tahapan validitas calon eksportir, jaksa mengatakan berkas PT DPPP sempat ditahan oleh Safri tanpa kejelasan. Safri, kata jaksa, meminta dokumen itu ditahan sambil menunggu arahan Andreau Misanta.

"Selanjutnya Safri menyampaikan agar Dalendra Kardina (staf Safri) tidak mengirimkan revisi proposal business plan PT DPPP tersebut kepada Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya guna penerbitan Surat Penetapan Pembudidayaan Lobster dengan mengatakan `Tahan dulu` sampai menunggu arahan darinya, atau dari Andreau Misanta Pribadi," kata jaksa KPK.

Karena izin tak kunjung didapat, Suharjito memerintahkan anak buahnya bernama Agus Kurniyawanto dan Ardy Wijaya untuk menanyakan kelanjutan izin itu ke Safri. Safri, kata jaksa, menyarankan ke Agus dan Ardy agar PT DPPP menyerahkan uang komitmen ke Edhy senilai Rp 5 miliar jika ingin prosesnya cepat.

"PT DPPP harus memberikan uang komitmen kepada terdakwa melalui Safri sebesar Rp 5 miliar yang dapat diberikan secara bertahap sesuai dengan kemampuan perusahaan. Selanjutnya Agus dan Ardy melaporkan kepada Suharjito, di mana Suharjito menyanggupinya," jelas jaksa.

Lalu, pada 16 Juni, Suharjito menyerahkan uang sejumlah USD 77 ribu atau jika dikonversikan ke rupiah sekitar Rp 1 miliar. Uang itu diserahkan ke Safri kemudian diserahkan ke Edhy melalui Amiril Mukminin.

"Dalam pertemuan itu, Suharjito kemudian menyerahkan uang kepada Safri sejumlah USD 77 ribu sambil mengatakan `ini titipan buat Menteri`. Selanjutnya Safri menyerahkan uang tersebut kepada Terdakwa melalui Amiril Mukminin," tambah jaksa.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar