Kritik Pajak Pulsa, Legislator Kuliahi Sri Mulyani Soal Perpajakan

Minggu, 31/01/2021 15:10 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra, Heri Gunawan. (Foto: Istimewa).

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra, Heri Gunawan. (Foto: Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Menteri Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 sebagai dasar penarikan pajak PPN dan PPh atas penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Pasal 21 PMK tersebut dijelaskan bahwa ketentuan tersebut akan berlaku efektif pada 1 Februari 2021.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) Heri Gunawan mengatakan terbitnya peraturan tersebut bakal membebani masyarakat di tengah musim krisis. Dia menegaskan peraturan yang dikeluarkan Sri Mulyani tersebut masih dapat ditinjau ulang.

Meski pada 2020 dan 2021 pemerintah mengucurkan stimulus, pemerintah seharusnya tidak lantas semaunya mengenakan pajak pada sektor prasarana telekomunikasi. Apalagi diketahui banyak masyarakat yang tidak merasakan dampak langsung dari stimulus yang diberikan.

“Masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka Work From Hom dan belajar daring. Bila pemerintah tiba-tiba memajakinya, itu sama saja pemerintah makin membebani rakyat di saat pandemi,” kata Heri kepada Law-Justice, Ahad (31/1/2021).

Pria yang akrab disapa Hergun ini mengungkapkan masih banyak masyarakat yang terdampak Pandemi Covid-19 namun tidak tersentuh program bantuan pemerintah. Hal tersebut dikarenakan belum adanya pemutakhiran basis data kemiskinan. Terakhir data tersebut dimutakhirkan pada 2015 dan kemudian menjadi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Mengingat hal itu, kata Hergun, maka momentum pemerintah kurang tepat dalam memungut pajak pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Belum lagi saat ini pemerintah masih memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Pulau Jawa dan Bali. Mobilitas masyarakat banyak yang dibatasi sehingga harus bekerja dan sekolah dari rumah.

Politikus Partai Gerindra ini menjelaskan pihaknya di Komisi XI memahami bahwa pendapatan pajak anjlok di tahun 2020. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp1.070 triliun, meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp1.198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3 persen. Namun, kata dia, bukan berarti hal tersebut bisa menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token, dan voucer.

Meski pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen. Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga lebih Rp1.000 hingga Rp.2000. Misalnya membeli pulsa Rp10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp12.000.

“Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp13.000 ribu untuk pembelian pulsa Rp10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat,” ujar Hergun.

Menurut Hergun, pemungutan pajak terhadap token listrik terkesan lucu. Pasalnya pemerintah pernah memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token. Saat ini mayoritas konsumen PLN sudah menggunakan model prabayar. Namun bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak itu artinya pemerintah telah menjebak rakyat.

“Pemerintah semestinya berterima kasih kepada rakyat yang sudah berkonstribusi terhadap pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi selama Pandemi. Sektor Infokom mampu menjaga pertumbuhan positif di saat sektor-sektor lain mengalami konstraksi,” katanya.

Hergun menjelaskan, pada kuartal II-2020 sektor infokom mampu tumbuh 10,83 persen (yoy) dan kuartal III-2020 tumbuh 10,61 persen (yoy). Selain itu, sektor infokom juga memiliki porsi yang cukup besar pada struktur PDB di kuartal II dan III-2020 yaitu masing-masing 4,66 persen dan 4,56 persen, lebih tinggi dibanding sektor jasa keuangan dan asuransi, transportasi dan pergudangan, akomodasi dan makan minum, dan lain-lain.

“Pemerintah tidak boleh berlaku diskriminatif. Di satu sisi mengucurkan berbagai insensif perpajakan kepada perusahaan-perusahaan besar. Namun pada waktu bersamaan makin intensif memungut pajak dari rakyat kecil,” ujarnya.

Beberapa waktu lalu DPR RI sudah menyetujui UU Cipta Kerja, termasuk di dalamnya klaster perpajakan. Untuk itu, lanjut Hergun, seharusnya aturan turunan yang akan dibuat pemerintah harus lebih mengarah kepada ekstensifikasi, bukan intensifikasi.

"Harus jelas roadmap ekstensifikasi perpajakan, termasuk juga berapa target penambahan wajib pajak baru. DPR-RI prihatin dengan realisasi penerimaan pajak yang selalu meleset dari target dan juga makin turunnya angka tax ratio pajak terhadap PDB,” katanya.

"Wajib Pajak yang sudah taat pajak tidak terus-terusan ditodong pajak. Semoga dengan ekstensifikasi istilah tradisi “berburu pajak di kebun binatang," imbuhnya.

Alih-alih memajaki pulsa yang notabene menjadi hajat hidup rakyat di saat pandemi, menurut Hergun, pemerintah sebaiknya membuat dasar kebijakan penetapan target pajak kepada masing-masing Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jendral Pajak yang lebih realistis untuk dapat diraih. Sebab, kata dia, jika target satu Kanwil Pajak saja tidak tercapai maka secara otomatis raihan pajak dalam rangka menutupi APBN pun akan timpang.

Dalam rangka membongkar persoalan perpajakan, Hergun mengatakan Komisi XI akan melanjutkan pembentukan Panja Pajak. Menurutnya, rencana tersebut mengemuka sebagai wujud ketidakpuasan atas laporan penerimaan pajak yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Muyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR pada 27 Januari 2021 lalu.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar