Ada Monopoli dan Kartel Vaksin BUMN, KPPU Buka Suara

Rabu, 16/12/2020 12:42 WIB
Ketua KPPU Kodrat Wibowo (pikiran rakyat)

Ketua KPPU Kodrat Wibowo (pikiran rakyat)

Jakarta, law-justice.co - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang dapat disebut sebagai `wasit` dalam persaingan dunia usaha akhirnya buka suara, terkait tudingan proses monopoli dan isu kartel dalam pengadaan dan distribusi vaksin di Indonesia.

Belum lama ini isu monopoli proses vaksinasi oleh badan usaha milik negara (BUMN) mengemuka di publik. BUMN bahkan dituding memainkan praktik kartel dalam produk kesehatan tersebut.

Hal itu tak lepas dari proses pengadaan vaksin Covid-19 diatur ketat oleh pemerintah. Bahkan dari jumlah, pengadaan, hingga distribusi dikoordinir oleh pemerintah dalam hal ini melalui BUMN.

Pemerintah juga telah mengumumkan dua skema pembagian vaksin Covid-19, yakni secara gratis dan sebagian besarnya berbayar atau dijual. Namun, rencana pemerintah dengan skema berbayar mendapat kecaman dari beberapa pihak. Bahkan skema tersebut diduga sebagai bentuk monopoli.

Terkait hal itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) angkat bicara. Ketua KPPU Kodrat Wibowo mengatakan dugaan atau tuduhan kartel atau persekongkolan dari pelaku usaha besar dalam produksi vaksin belum memiliki dasar yang kuat, sehingga masih perlu dibuktikan.

"Tuduhan itu belum berdasar karena monopoli ini harusnya ada dominasi atau ada kekuatan dominasi pasar. Tapi vaksin seperti Sinovac, Pfizer, ataupun yang lainnya tidak ada yang terlalu dominan. Mereka berbagi pangsa pasar," jelas Kodrat dilansir Selasa (15/12/2020).

Kendati begitu, dia mengatakan apabila vaksin tersebut telah resmi masuk pasar atau dijual, yang dikhawatirkan adalah penentuan harga yang eksesif.

"Mudah-mudahan dijual dengan harga subsidi. Kita berharap ada kebijakan fiskal lanjutan. Tapi untuk saat ini masih dalam fase vokasi," katanya.

Menurutnya, KPPU sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Relaksasi Penegakan Hukum Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta Pengawasan Pelaksanaan Kemitraan dalam Rangka Mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Dalam peraturan tersebut, dia melihat ada beberapa hal yang sifatnya pengecualian, misalnya terkait hak cipta, paten dan merek. Apalagi, pelaku usaha pasti mengeluarkan ongkos yang mahal untuk itu.

"Biaya pengembangan yang dimiliki perusahaan besar yang memiliki kemampuan untuk membuat vaksin perlu dihargai dengan hak cipta. Kalau mereka sebagai badan dermawan atau yayasan kemanusiaan berbeda cerita," jelasnya.

Melalui peraturan No.3/2020 tersebut, KPPU mendukung kebijakan pemerintah seperti penunjukan perusahaan Sinovac sebagai distributor vaksin di Indonesia ataupun lainnya sebagai agenda nasional dan global untuk pemulihan ekonomi dan penanggulangan Covid-19.

Adapun untuk kemungkinan potensi pelanggaran atau monopoli, pihaknya akan menelaah terlebih dahulu alasan ataupun rasionalitas dari aksi korporasi.

"Saat ini kita melihatnya untuk kebutuhan global dan nasional supaya terlepas dari Covid-19, jadi kita akan lebih rilex, ini juga berlaku untuk KPPU global. Bahkan bahwa kami meanggap bahwa kerjasama antara perusahaan harusnya didorong untuk bisa menghasilan vaksin yang jelas terjamin," lanjutnya.

Justru, lanjutnya, KPPU seluruh dunia mendorong adanya kolaborasi, termasuk koordinasi antar perusahaan akan dimaklumi. Menurutnya, koordinasi yang dilakukan tidak bersifat persekongkolan seperti kartel, namun kolaborasi untuk menciptakan obat.

Terpisah, Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdulah mengatakan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak ada isu monopoli. Dia pun juga memaklumi jika vaksin Covid-19, sebagian besar harus didistribusikan secara berbayar ke masyarakat.

Justru, menurut Piter skema vaksin berbayar diperlukan untuk mendukung beberapa hal seperti mengurangi beban fiskal pemerintah. Selain itu juga meningkatkan percepatan pelaksanaan vaksinasi.

"Karena dengan vaksin berbayar, mereka yang mampu bisa segera melakukan vaksinasi di berbagai rumah sakit yang saat ini sudah menyatakan siap melakukan vaksinasi," kata Piter kepada Bisnis.

Menurutnya, pemerintah tidak mungkin membiayai ongkos vaksinasi dunia usaha. Jika pelaksanaan vaksinasi diserahkan kepada pemerintah maka dkhawatirkan bakal berlangsung lama akibat proses administratif.

Pemerintah, lanjutnya, juga dinilai tidak mungkin membiayai semua pekerja di perusahaan mengingat beban berat yang ditanggung saat ini.

Salah satu harapan bagi sebagain besar masyarakat dari program mandiri adalah keterjangkauan harga dari vaksin tersebut.

"Apabila harga imunisasi vaksin mandiri masih di kisaran Rp300.000, perkerja masih mampu menanggung biaya. Soalnya, perkiraaan saya masyarakat akan mendahulukan kecepatan," katanya.

Sebelumnya, ekonom senior Indef Faisal Basri keras mengkritik penerapan skema vaksin berbayar yang dilakukan BUMN dan disetujui pemerintah merupakan praktik biadab.

Faisal juga telah mengkritik rencana penjualan vaksin oleh pemerintah dengan meretweet pernyataan peneliti Sulfikar Amir.

"Bisnis vaksin oleh kartel BUMN yang direstui pemerintah adalah praktik biadab!!!," kicau akun @FaisalBasri, Senin (14/12/2020).

Klaim BUMN

Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menuturkan langkah pengadaan terpusat bukanlah bentuk monopoli, melainkan sebagai upaya pemerintah menjaga proses vaksinasi dapat terawasi dengan baik.

"Pada tahap awal pengadaan vaksin memang terkonsolidasi, jadi jangan ada kata kami tidak mau melibatkan swasta. Kami melibatkan dalam vaksinasi dan distribusi," jelasnya.

Dia menuturkan pengontrolan vaksin datang ke Indonesia atau diproduksi hanya oleh pemerintah sebagai upaya pemerintah menjaga agar vaksinasi benar-benar dilakukan secara terukur dan tepat sasaran.

Erick menjanjikan jika tahap awal vaksinasi Covid-19 sudah berjalan, pemerintah akan membuka pengadaan vaksin yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah.

"Kami harus menjaga, nanti tahap berikutnya lebih berbeda," imbuh Erick Thohir.

Selain itu, Menteri BUMN menuturkan bahwa pengiriman vaksin pun menggunakan teknologi QR Code dan pelacakan. Dengan demikian, setiap vaksin dapat terlacak didistribusi kemana dan digunakan kepada siapa.

Lebih lanjut, Erick menegaskan upaya pelacakan hingga setiap vaksin tersebut guna supaya tidak ada area abu-abu dan ketidakjelasan. Dia juga ingin menghindari penjualan vaksin secara bebas dengan harga yang melambung tinggi.

"Kami menghindari grey area atau black market yang akhirnya harga vaksin hanya berapa ratus ribu rupiah dijual hingga US$2.000," ujarnya.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar