Ukay Karyadi, Ekonom dan Bekasi Ketua KPPU

Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok di Ramadan & Peningkatan Peran KPPU

Selasa, 02/04/2024 20:28 WIB
Pedagang sayur mayur dan sembako di Pasar Senen, Senen, Jakarta Pusat menyatakan terjadi kenaikan harga. Harga secara nasional terpantau meningkat drastis pada awal tahun 2023 diantaranya cabai rawit merah yang sebelumnya Rp 65.000 kini menjadi Rp90.000, cabai keriting merah dari semula Rp40.000 kini menjadi Rp65.000 per kilogram. Robinsar Nainggolan

Pedagang sayur mayur dan sembako di Pasar Senen, Senen, Jakarta Pusat menyatakan terjadi kenaikan harga. Harga secara nasional terpantau meningkat drastis pada awal tahun 2023 diantaranya cabai rawit merah yang sebelumnya Rp 65.000 kini menjadi Rp90.000, cabai keriting merah dari semula Rp40.000 kini menjadi Rp65.000 per kilogram. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Bulan Ramadan atau puasa dari tahun ke tahun selalu identik dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Bahkan, untuk tahun ini kenaikan harga kebutuhan pokok terjadi sebelum masuk bulan puasa

Lihat saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi Februari 2024 tercatat sebesar 2,75 persen secara tahunan (year on year/yoy) dan 0,37 persen secara bulanan (month to month/mtm). Komoditas utama penyebab inflasi Februari 2024 adalah beras, cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, dan minyak goreng.

Andil inflasi komoditas-komoditas itu lebih tinggi dibandingkan Februari periode sebelumnya. Bahkan beras memberikan andil inflasi terbesar serta lebih besar dibandingkan periode sebelumnya. Beras mengalami inflasi sebesar 5,32% dengan andil sebesar 0,21%.

Dalam hal pengendalian harga kebutuhan pokok, pemerintah bersandar pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Perpres tersebut menetapkan bahwa yang dimaksud barang kebutuhan pokok adalah terdiri dari: 1) barang kebutuhan pokok hasil pertanian (beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabe, dan bawang merah); 2) barang kebutuhan pokok hasil industri (gula, minyak goreng, dan tepung terigu); 3) barang kebutuhan pokok hasil peternakan dan perikanan (daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar: bandeng, kembung dan tongkol/ tuna/ cakalang).

Salah satu poin penting dalam perpres tersebut adalah memberi kewenangan pada pemerintah untuk menetapkan kebijakan harga, berupa : a) penetapan harga khusus menjelang, saat, dan setelah Hari Besar Keagamaan Nasional dan/atau pada saat terjadi gejolak harga; b) penetapan harga eceran tertinggi (HET) dalam rangka operasi pasar; dan 3) penetapan harga subsidi untuk sebagian atau seluruh barang kebutuhan pokok.

Pertanyaannya, mengapa instrumen kebijakan untuk pengendalian harga kebutuhan pokok kurang efektif, terutama saat menghadapi hari-hari besar keagamaan, seperti puasa dan lebaran?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui apa penyebab tak terkendalinya harga-harga kebutuhan pokok? Penyebabnya, seringkali disederhanakan dari sisi supply and demand.

Seperti yang terjadi pada puasa saat ini, disebutkan karena ada gangguan produksi (gagal panen) akibat faktor cuaca, sehingga pasokan komoditas pangan (khususnya beras) mengalami penurunan. Sementara dari sisi demand, lonjakan harga-harga pada bulan puasa karap dikaitkan karena adanya kelebihan permintaan (excess demand).

Namun demikian, sesungguhnya bila dilihat secara seksama, penyebab tingginya inflasi pada bulan puasa bukan hanya semata-mata karena gangguan produksi maupun excess demand, melainkan juga karena perilaku pelaku usaha/pedagang yang melakukan profit taking besar-besaran. Di bulan puasa atau momen tertentu, meski tidak ada gangguan dari sisi produksi, tetapi pelaku usaha kompak menaikkan harga jauh di atas harga keekonomian.

Perilaku pelaku usaha yang menaikkan harga secara tidak wajar, merupakan pertanda bahwa mereka memiliki market power yang besar dalam menentukan harga. Karena itu, untuk meredam gejolak harga pada kondisi seperti itu adalah tergantung pada sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam "mengendalikan" perilaku pelaku usaha agar tidak semena-mena menaikkan harga.

Di beberapa negara terdapat mekanisme untuk melindungi masyarakat dari perilaku pengusaha yang semena-mena menaikkan harga. Di Australia, misalnya, melalui Price Surveillance Act 1983, Australian Consumers and Competition Commission (ACCC) dapat memantau harga-harga komoditas/produk tertentu yang menyebabkan inflasi tinggi.

Pada saat yang sama, ACCC dapat menahan (restrain) kenaikan harga barang (komoditas/produk) tertentu apabila persaingan pada sektor tersebut belum efektif (tidak sehat). Kebijakan price surveillance ini dinilai cukup ampuh untuk menekan lonjakan harga. Kebijakan ini juga mampu mendorong persaingan usaha yang lebih baik di pasar domestik.

Bagi Indonesia, sesungguhnya sudah memiliki perangkat hukum untuk menjalankan kebijakan price surveillance. Negeri ini sudah mempunyai Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Di mana sesuai dengan UU yang populer dengan sebutan UU Antimonopoli tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat menindaklanjuti perilaku pelaku usaha yang melakukan praktik usaha yang tidak sehat, seperti menaikkan harga semaunya.

KPPU pun sesungguhnya selalu melakukan pengawasan terhadap harga-harga di pasar, khususnya harga kebutuhan pokok.

Terlebih lagi apabila terjadi kenaikan harga yang tidak wajar, meski untuk membuktikan apakah hal tersebut karena perilaku pengusaha yang melakukan praktik bisnis yang tidak sehat, bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Bahkan, ketika KPPU memutus bersalah pun, pelaku usaha memiliki kesempatan untuk mengajukan keberatan ke Pengadilan Niaga hingga Mahkamah Agung. Sebagai contoh, untuk kasus kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021, menjelang Natal dan Tahun Baru.

Diawali kajian pada Oktober 2021 karena melihat fenomena meroketnya harga minyak goreng, dan kemudian KPPU pada Mei 2023 menjatuhkan putusan bahwa terdapat beberapa perusahaan minyak goreng yang terbukti melanggar UU Antimonopoli, tapi hingga kini belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Ini karena perusahaan-perusahaan yang dinyatakan bersalah mengajukan keberatan, dan hingga kini belum ada putusan dari Pengadilan Niaga.

Ke depan, diusulkan agar pemerintah membuat regulasi terkait pengendalian harga dengan melibatkan dan memberi peran KPPU, khususnya untuk barang yang struktur industrinya tidak sehat--sehingga berpotensi kuat terjadinya pelanggaran UU Antimonopoli.

Dalam regulasi tersebut, KPPU didorong untuk melakukan pencegahan agar perilaku pelaku usaha sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Tentunya hal ini harus dibarengi dengan political will dari pemerintah agar rekomendasi kebijakan KPPU ditindaklanjuti pemerintah, minimal jadi pertimbangan dalam upaya pengendalian harga kebutuhan pokok.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar