Ukay Karyadi, Bekas Ketua KPPU

25 Tahun UU Antimonopoli: Nasib Kondisi Persaingan Usaha Indonesia

Kamis, 21/03/2024 19:38 WIB
KPPU (Investor Daily)

KPPU (Investor Daily)

Jakarta, law-justice.co - Maret 2024, tepat 25 tahun disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Karena itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan tanggal 5 Maret sebagai Hari Persaingan Usaha.

UU No. 5 Tahun 1999 atau yang lebih populer dengan sebutan UU Antimonopoli lahir pascaberakhirnya pemerintahan orde baru, dapat dimaknai sebagai langkah awal Indonesia untuk menata perekonomian nasional, khususnya untuk mengatasi problem ekonomi yang tidak bisa diselesaikan oleh kebijakan ekonomi konvensional, baik itu berupa kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum UU tersebut.

"Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, ..."

Lahirnya UU Antimonopli juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia, yang pada saat itu porak-poranda akibat hantaman krisis multidimensi yang dipicu krisis moneter 1997/1998.

Tak bisa dimungkiri, salah satu sebab utama fondasi ekonomi Indonesia tak kuat menahan guncangan krisis moneter adalah akibat struktur perekonomian yang tidak sehat, dimana perekonomian terkonsentrasi pada para pemilik modal (usaha besar) atau yang lebih populer dengan sebutan konglomerat.

Di sinilah urgensinya keberadaan hukum dan kebijakan persaingan usaha, karena dapat mencegah penguasaan ekonomi pada kelompok tertentu. Ini sebagaimana diungkapkan Schmitz dan Fettig (2020), yang menjelaskan bahwa ketika dunia mengalami depresi hebat (1930-an), beberapa pakar dan pembuat kebijakan di Amerika Serikat, termasuk Henry Simons (Universitas Chicago) dan Thurman Arnold (Asisten Jaksa Agung Antitrust era Presiden Roosevelt dari 1938-1943), mengusulkan untuk mengatasi krisis ekonomi yang dihadapi Amerika, salah satunya adalah perlunya kebijakan penghapusan monopoli dalam segala bentuknya.

Menurut Schmitz dan Fettig, apa yang diusulkan tahun 1930-an juga berlaku hari ini. Hal ini karena pertama, monopoli adalah sumber utama kemiskinan dan kesenjangan. Kedua, monopoli sering kali menyembunyikan dan menyamarkan tindakan yang menyebabkan kerugian besar di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Jelasnya, monopoli diam-diam menyebarkan kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi.

Lalu bagaimana kondisi persaingan usaha setelah 25 tahun UU Antimonopli lahir?

Dilihat dari perkembangan indeks persaingan usaha (IPU) dalam beberapa tahun terakhir, nampak ada perkembangan positif dari iklim persaingan usaha di Indonesia. Bila pada 2018 IPU mencapai 4,63, maka pada 2019 meningkat menjadi 4,72. IPU turun pada 2020 ke angka 4,65 sebagai imbas dari pandemi Covid-19, tapi pada tahun-tahun berikutnya kembali meningkat, yaitu 4,81 (2021), 4,87 (2022), dan 4,91 (2023).

Perlu dijelaskan, IPU didapat berdasarkan hasil survei di seluruh provinsi oleh Center for Economics and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur IPU tersebut meliputi: 1) dimensi structure-condusct-performance (SCP) alias struktur-perilaku-kinerja, 2) dimensi regulasi atau kebijakan, 3) dimensi penawaran, 4) dimensi permintaan, dan 5) dimensi kelembagaan.

Menariknya, dari berbagai dimensi tersebut, nilai dimensi regulasi lebih tinggi dibanding dimensi lainnya. Dimensi regulasi pada 2023 mencapai 6,12, meningkat dibanding dimensi regulasi 2022 yang nilai indeksnya 5,70. Ini artinya, peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan, semakin nyata dalam mendorong persaingan usaha yang sehat.

Hal tersebut juga sejalan dengan upaya KPPU, karena baik diminta maupun tidak senantiasa memberikan masukan kepada pemerintah (pusat maupun daerah), apabila ada kebijakan yang dianggap tidak selaras dengan UU Antimonopoli. Tepatnya, adalah kebijakan yang dinilai dapat memfasilitasi atau menyebabkan perilaku pelaku usaha yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999.

Setidaknya ada tiga model kebijakan yang seperti ini. Pertama, kebijakan yang memberikan ruang lebih besar pada pelaku usaha yang memiliki posisi dominan, sehingga kebijakan tersebut cenderung menciptakan entry barrier bagi pelaku usaha pesaingnya.

Kedua, kebijakan yang memfasilitasi munculnya perjanjian antara pelaku usaha yang tidak sejalan dengan UU No. 5 Tahun 1999. Dan yang ketiga, bentuk kebijakan berupa intervensi terhadap mekanisme pasar yang berjalan, misalnya dalam bentuk tata niaga atau regulasi yang membatasi jumlah pelaku usaha yang terlibat.

Model kebijakan seperti itu, akan langsung terpotret oleh alat diagnosa kebijakan yang dikembangkan KPPU, yang diberi nama Daftar Periksa-Asessment Kebijakan Persaingan Usaha (DP-AKPU). Pada perkembangannya, DP-AKPU ini secara proaktif digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan, baik itu di pemerintah pusat maupun daerah.

Menurut data KPPU (2023), pada periode 2018-2023 KPPU telah menyampaikan total 112 saran dan pertimbangan kepada pemerintah, utamanya kepada pemerintah pusat seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, dan Kementerian PUPR.

Sebagian besar saran dan pertimbangan tersebut (yakni 63,4 persen) direspons positif oleh pemerintah. Bahkan tercatat, Kementerian BUMN memberikan respons positif atas semua saran dan pertimbangan yang disampaikan KPPU.

Selain itu, untuk meningkatkan IPU dari sisi dimensi SCP, KPPU juga mendorong perusahaan untuk mengikuti program kepatuhan persaingan usaha. Sejak digulirkan pada tahun 2022, yaitu dengan terbitnya Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Program Kepatuhan Persaingan Usaha, program kepatuhan hingga akhir 2023 telah menarik minat 43 perusahaan besar untuk mendaftarkan diri.

Sebagian besar perusahaan tersebut berasal dari sektor manufaktur (44 persen), sementara yang lain berasal dari sektor jasa (23 persen) dan konstruksi (9 persen). Fakta ini menunjukkan bahwa program kepatuhan persaingan usaha disambut baik oleh dunia usaha.

Ke depan, diharapkan persaingan usaha yang sehat akan semakin dijadikan variabel penting dalam setiap perumusan kebijakan, khususnya kebijakan terkait ekonomi. Ini sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju, misalnya seperti yang dilakukan Amerika Serikat yang pada 2021 mengeluarkan Executive Order on Promoting Competition in the American Economy yang menjadikan kebijakan persaingan sebagai isu yang dibahas lintas kementerian/lembaga.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar