Bolehkah Tolak Permintaan Polisi Menjebak Seseorang untuk Ditangkap?

Senin, 02/11/2020 13:46 WIB
borgol: shutterstock

borgol: shutterstock

Jakarta, law-justice.co - Bolehkan menolak permintaan polisi untuk menjebak seseorang untuk ditangkap?

Bagi sebagian orang pasti memiliki pertanyaan seperti diatas. Alasannya beragam, mulai dari ketakutan karena orang yang jebak akan dendam hingga keengganan ikut campur masalah orang.

Lalu, bagaimana cara menolaknya? boleh atau tidak?

Berikut penjelasan menurut hukum seperti melansir hukumonline.com.

Penangkapan oleh Polisi

Definisi penangkapan dijelaskan pada Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Perintah penangkapan dilakukan kepada seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dalam arti tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, namun ditujukan bagi mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.[1]

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan berpendapat bahwa pengertian bukti permulaan yang cukup hampir serupa dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP yaitu berdasarkan prinsip “batas minimal pembuktian”, yaitu sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang bisa terdiri dari 2 orang saksi atau saksi ditambah satu alat bukti lain (hal. 158).

Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (“Putusan MK 21/2014”) juga telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bukti “permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP (hal. 109).

Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat ia diperiksa.[2]

Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.[3]

Hal yang Wajib Diperhatikan Saat Polisi Melakukan Penangkapan.

Upaya Hukum Terhadap Penangkapan

Di sisi lain, kami berpendapat bahwa terkait penangkapan dengan jebakan, apabila dilakukan dengan menyalahi syarat dan prosedur yang berlaku dalam undang-undang, dapat diajukan permohonan praperadilan, yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Sebagai catatan, Putusan MK 21/2014 menegaskan bahwa bunyi Pasal 77 huruf a KUHAP di atas harus dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan (hal. 110).

Keterlibatan dalam Penangkapan dan Sebagai Saksi

Selain itu, mengenai boleh tidaknya menolak permintaan polisi untuk menjadi saksi, hal ini diatur dalam Pasal 224 KUHP yang berbunyi:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Sehingga, apabila terdapat pemanggilan untuk Anda untuk menjadi saksi, sebaiknya Anda memenuhi panggilan tersebut, dengan tetap membuat keterangan sesuai pengetahuan Anda dan tidak mengada-ada.

Perlu diperhatikan, apabila Anda bertindak sebagai saksi, mengingat berdasarkan keterangan Anda, Anda sebetulnya tidak mengetahui B menggunakan narkoba atau tidak, jika Anda sengaja memberikan keterangan palsu nantinya, terlebih jika sampai di tahap pembuktian di pengadilan, Anda dapat dijerat dengan Pasal 242 ayat (1), (2), dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:

1. Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

2. Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

3. Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

Adapun perihal menolak untuk ikut serta dalam penangkapan, sepanjang penelusuran kami, tidak terdapat kewajiban secara hukum bagi warga sipil untuk untuk ikut serta dalam operasi penangkapan.

Selain itu, dalam KUHAP, sebagaimana yang kami jelaskan di awal, telah ditegaskan bahwa pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Putusan:
1. Putusan Pengadilan Negeri Tanah Grogot Nomor 183/Pid.Sus/2014/PN.TGT;
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

Referensi:
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

[1] Pasal 17 KUHAP dan penjelasannya
[2] Pasal 18 ayat (1) KUHAP
[3] Pasal 18 ayat (2) KUHAP

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar