Prof. Dr. Subroto

Pendidikan Adalah Kunci Membangun Masa Depan

Rabu, 28/10/2020 13:00 WIB
Prof. Dr. Subroto (Foto: ESDM)

Prof. Dr. Subroto (Foto: ESDM)

law-justice.co - Tidak banyak tokoh bangsa yang melintasi zaman, turut mengawal dan merasakan semangat pergerakan dari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sampai dengan hari ini. Salah satunya adalah Prof. Dr. Subroto, sosok paling berpengaruh di sektor pertambangan minyak, gas, dan batubara Indonesia. Anak-anak muda saat ini perlu meneladani bagaiamana Subroto hidup dan mencapai puncak karir di bidang yang dia cintai.

Siapapun yang bergelut di sektor pertambangan minyak dan gas pasti mengenal nama Subroto. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sampai mengabadikan namanya sebagai salah satu simbol penghargaan kepada perusahaan dan pihak-pihak yang berkontribusi pada kemajuan di sektor energi. Subroto bahkan dikenal sebagai tokoh penting yang menjadi Sekjen Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi atau OPEC. Jika Anda pernah tahu program “Listrik Masuk Desa”, itu adalah salah satu dari buah pikirannya.

Subroto lahir di Kampung Sewu, Solo, 19 September 1923. Dia adalah anak ketujuh dari pasangan bangsawan Martosuwignyo. Punya nama panggilan Ndoro Menggung, namun memiliki nama asli sebagai Subroto. Nama itu memiliki arti sebagai orang yang mau melakukan pengabdian demi memayu-ayuning bawono atau kemaslahatan banyak orang.

Subroto kecil mengenyam pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), kemudian melanjutkan di Sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Tinggi (SMT).

Saat itu, Subroto sangat tertarik di dunia militer dan ingin masuk sebagai salah seorang Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA. Sayangya dia tidak diterima karena belum memenuhi kriteria berat badan. Namun kegagalan itu justru mengantarkan dia pada Akademi Militer (MA) Yogyakarta pada 1 November 1945. Di MA Yogya, Subroto merupakan salah seorang angkatan pertama dan terlibat dalam perjuangan mempertahan kemerdekaan RI dari tentara Sekutu.

Setelah Indonesia benar-benar merdeka dari penjajah, tahun 1949, Subroto tidak ingin melanjutkan karir militernya dan memilih untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Universitas Indonesia (UI) menjadi pelabuhan selanjutnya, dimana Subroto sempat mengambil studi Hukum, kemudian beralih ke studi Ekonomi.

Subroto mendapat gelar sarjana Ekonomi pada tahun 1952 dan dia memilih untuk melanjutkan program Magister di McGill University, Montreal, Canada. Pulang dari Canada dengan membawa gelar Master of Arts (MA) pada 1957, setahun kemudian mendapat gelar Doktor Ekonomi di UI. Setelah itu Subroto aktif mengajar sebagai guru besar Ekonomi di almamaternya.

Kejeniusan Subroto di bidang akademik mengantarkan dia pada jabatan strategis di bawah pemerintahan Orde Baru. Rentetan karir gemilang Subroto dimulai saat dia menjadi salah seorang tokoh penting ekonomi Indonesia yang menyusun program  Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada awal-awal pemerintahan Presiden Soeharto. Dia lalu dipercaya menjadi Direktur Jenderal Pemasaran Departemen Perdagangan.

Karir kepemimpinannya melejit hingga ditunjuk menjadi Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi selama satu periode, tahun 1973 – 1978. Karena memiliki kemampuan dalam mengelola sektor energi minyak, gas, dan batubara, Presiden Soeharto mengangkat Subroto sebagai Menteri Pertambangan dan Energi untuk dua periode, sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 1988.

Sebagai seorang ekonom, Subroto menyadari bahwa Indonesia harus menggenjot produksi energi minyak dan mineral untuk mendukung program pembangunan yang diprioritaskan oleh Presiden Soeharto. Pemerintah lalu membuka keran penanaman modal asing, sehingga produksi migas melejit dari 600.000 barel per hari, kian bertambah menjadi 1.000.000 barel, 1.600.000 barel, hingga mencapai puncak 1.800.000 barel per hari.

Jumlah itu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang berkisar di angka 300.000 – 400.000 barel per hari. Subroto mengatakan, kelebihan produksi itu dimaksimalkan untuk diekspor guna menggenjot devisa luar negeri.

Keberhasilan itu membuat pemerintah tanpa ragu-ragu menempatkan Subroto sebagai perwakilan Indonesia di organisasi OPEC sejak tahun 1984. Ketegangan yang terjadi antar negara-negara di OPEC menguntungkan Indonesia sebagai blok netral. Subroto ditunjuk sebagai Sekjen OPEC pada 1988.

Subroto mengatakan, tugasnya saat itu sangat berat karena harus menjadi penengah dari anggota-anggota OPEC yang sedang berkonflik, seperti Irak dan Iran yang sedang dalam masa perang. Negara-negara anggota dari Afrika dan Amerika Latin juga tidak luput dari konflik. Eksistensi OPEC saat itu berada dalam ancaman negara penghasil minyak lainnya, seperti Meksiko, Norwegia, Inggris, dan Uni Soviet.  

“Kehadiran OPEC sangat riskan dan saya harus bertindak hati-hati agar organisasi tersebut terus berlanjut dan bertahan,” kata Subroto.

Pada akhirnya, Subroto berhasil melalui ujian tersebut. Dia menciptakan keseimbangan antar negara-negara yang tengah berkonflik, bahkan menjalin relasi strategis dengan negara non OPEC dan negara pengimpor minyak di Eropa.

Setelah purna tugas di OPEC pada Juni 1994, Subroto kembali ke tanah air meneruskan karir di bidang pendidikan sebagai pengajar ilmu ekonomi dan energi. Dia ditampuk sebagai Rektor Universitas Pancasila antara tahun 1996 – 2004. Sembari mengajar, Subroto menjadi pelopor terbentuknya Yayasan Ekonomi Energi dan Yayasan Energi Bimasena, Yayasan Indonesian Institute for Energy Economics (IIEE), serta Yayasan Bina Anak Indonesia (YBAI).

Bagi Subroto, dunia pendidikan adalah habitat aslinya. Sampai saat ini, dia percaya bahwa tidak ada cara lain untuk membangun kejayaan negeri selain menguatkan pilar pendidikan anak bangsa. Menyambut potensi bonus demografi tahun 2045, bertepatan dengan usia Republik Indonesia yang ke-100 tahun, pendidikan harus bisa mempersiapkan pemimpin yang berpengetahuan, berbudaya, dan berkarakter.

“Pembangunan membutuhkan pengetahuan, karakter, dan keuletan kerja. Sekolah memainkan peranan sangat penting karena bisa membentuk pemimpin-pemimpin yang berpengetahuan, berbudaya, berkarakter. Kita bisa berharap pada anak-anak muda,” ucap Subroto.

Pada satu kesempatan, Subroto pernah mengatakan bahwa pengetahuan adalah salah satu kunci sehingga masih tetap tampil prima di usianya yang hampir satu abad. Resep hidup sehat, kata Subroto, adalah terus menjadi pembelajar abadi. Sampai hari ini Subroto mengaku masih sering membaca, mengikuti perkembangan ekonomi dan produksi Migas di Indonesia.

Terkait dengan kondisi ketersediaan energi kita hari ini, Subroto aktif dalam kampenye hemat energi dan mencari alternatif sumber-sumber energi alternatif yang terbarukan. Indonesia sudah dan sedang berada pada fase eksplorasi sumber-sumber minyak dan gas bumi. Namun energi fosil itu lambat laun akan habis, sehingga harus menyiapkan diversifikasi yakni dengan cara mencari pengganti energi minyak, gas, dan batubara.

“Yang terpenting dari konservasi adalah hemat energi. Itu yang paling murah dan mudah. Jangan jadi orang yang boros energi,” ujar dia.  

Subroto ingin melihat budaya hemat energi tertanam di generasi penerus bangsa. Di beberapa negara maju, hemat energi dan penggunaan energi terbarukan sudah menjadi kampanye masif yang didorong oleh semua elemen masyarakat sipil dan didukung oleh pemerintahnya. [ESDM/Tempo/Geomagz]

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar