Ambles 40 Persen Lebih, 9 Saham LQ45 Menderita & Hancur Lebur

Jum'at, 09/10/2020 11:21 WIB
Karyawan melintas di dekat monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta - (ANTARA)

Karyawan melintas di dekat monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta - (ANTARA)

Jakarta, law-justice.co - Tahun ini sudah sudah memasuki kuartal terakhirnya yakni Kuartal IV. Kondisi ekonomi tahun ini memang tidak bisa dikatakan impresif baik secara umum, maupun pasar modal secara khusus.

Sentimen utama dan terutama yang menjadi pemicu suramnya pasar modal pada tahun ini tidak lain dan tidak bukan adalah kemunculan virus Covid-19 yang merebak luas dan akhirnya menjadi pandemi global.

Indonesia tentu saja tidak luput terserang oleh pandemi ini, baik di secara riil, maupun di sektor keuangan.

Data Kementerian Kesehatan mencatat per Rabu (7/10/20) mencatat total konfirmasi positif pasien corona di Indonesia mencapai 315,714 orang sejak dikabarkan singgah di Indonesia Maret silam.

Hingga Rabu (7/10/2020), konfirmasi kasus positif kembali berada di atas angka 4.500 yakni 4.538. Dengan konfirmasi kasus harian positif yang sudah anteng di atas angka 4.000 dan belum menunjukkan kurva penambahan harian yang melandai, kejelasan kapan akan selesainya pandemi ini terlihat masih buram.

Di pasar modal seperti melansir cnbc Indonesia, hal yang serupa juga terjadi. Secara tahun (YTD) berjalan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi indeks acuan pasar modal di Indonesia secara umum masih terkoreksi cukup parah yakni anjlok 20,56% sejak awal tahun.

Sedangkan Indeks LQ45 yang menjadi indeks acuan pasar modal Indonesia secara khusus karena Indeks ini memiliki konstituen saham-saham yang memiliki likuiditas tinggi dan prospek usaha yang mumpuni bahkan terkoreksi lebih parah 24,67%.

Tentu saja tidak semua saham terdampak sama parahnya oleh virus nCov-19, berberapa saham memang sudah mulai pulih pasca diserang corona, bahkan berberapa sektor ada yang diuntungkan dengan kehadiran Covid-19.

Akan tetapi tentu saja saham-saham yang direpotkan dengan kehadiran virus yang suka akan kerumunan ini jumlahnya lebih banyak. Bahkan tercatat terdapat 9 saham konstituen LQ45 yang masih terdampak parah oleh korona yang ditunjukkan dengan koreksi di atas 40% secara YTD.

Koreksi paling parah dibukukan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang masih terkoreksi 55,30% secara tahun berjalan. Sejatinya PGAS sudah terkoreksi parah sejak awal tahun bahkan sebelum virus corona tiba di Indonesia.

PGAS terkena pukulan ganda sebab saham ini merupakan salah satu saham dengan portofolio kepemilikan besar oleh reksadana perusahaan aset manajemen yang bermasalah karena menawarkan bunga tetap dan diwajibkan untuk dilikuidisasi portofolionya oleh OJK.

Tentu saja ketika ada penjualan saham dalam jumlah besar secara langsung ke pasar reguler maka wajar apabila harga saham tersebut akan tertekan baik karena dampak penjualan secara langsung maupun dampak psikologis yang biasanya efeknya akan lebih jangka panjang.

Selain PGAS sebenarnya saham-saham pesakitan LQ45 ini bisa digolongkan ke berberapa sektor. Terdapat 4 saham yang berhubungan dengan konstruksi dan properti dam 2 saham dari sektor perbankan.

Dari saham-saham yang berhubungan dengan sektor konstruksi dan properti seperti PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT PP Persero Tbk (PTPP), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) emiten produsen semen yang tentu saja mayoritas produknya diserap oleh perusahaan konstruksi.

Tentu investor tidak perlu binggung mengapa sektor konstruksi dan properti harga sahamnya terkoreksi parah di tengah pandemi ini. Dari sektor konstruksi, mangkraknya proyek-proyek bermodal miliaran hingga triliunan akibat diberlakukanya PSBB tentu akan menjadi masalah bagi arus kas perusahaan.

Bahkan lembaga pemeringkat internasional Moody`s Investor Service menurunkan rating berberapa perusahaan konstruksi yang terdampak parah oleh pandemi nCov-19.

Sektor konstruksi memang terdampak sangat parah oleh pandemi virus corona dan dengan terganggunya rantai pasokan dan terganggunya pekerjaan di bidang konstruksi, ini akan mengganggu penyelesaian proyek-proyek konstruksi.

Setali tiga uang, sektor properti juga menjadi sektor pesakitan di tengah pandemi virus corona. Penurunan daya beli masyarakat yang ditunjukkan oleh deflasi yang terjadi selama 3 bulan berturut-turut pada kuartal ketiga menjadi indikasi bahwa sektor properti akan kesulitan menjajakan produknya baik rumah tapak ataupun apartemen.

Sektor properti yang biasanya merangkap sebagai emiten pengelola mal juga tentunya terdampak dengan pemberlakuan PSBB sejak April silam yang praktis menyebabkan pusat perbelanjaan tidak dapat beroperasi, bahkan ketika PSBB sudah dilonggarkan, masyarakat tetap enggan ke mal karena takut terjangkit virus corona.

Hal ini juga ditunjukkan dari valuasi laba bersih dibandingkan dengan harga saham perusahaan di sektor ini yang meskipun tidak merugi, tercatat angkanya sangat jumbo.

Meskipun harga sahan-saham properti sudah turun ternyata penurunan laba saham properti lebih parah daripada penurunan sahamnya yang ditunjukkan dengan angka PER yang mencapai puluhan hingga ratusan kali karena laba bersih perusahaan tergerus oleh Covid-19.

Kendati PER perusahaan properti tidak menarik, sejatinya apabila menggunakan valuasi nilai buku dibandingkan dengan harga saham alias PBV, perusahaan konstruksi dan properti ini masih boleh dilirik karena tergolong murah sebab harga saham perusahaan properti dan konstruksi LQ45 yang terkoreksi parah masih di bawah level rata-rata industri di angka 2,3 kali.

Selanjutnya sektor perbankan juga terkena pukulan ganda yang menyebabkan dua emiten perbankan LQ45 tercatat terkoreksi parah, pukulan pertama datang tentu saja dari pandemi corona yang menyebabkan perbankan kesulitan untuk menyalurkan kredit dan meningkatnya tingkat kredit yang gagal bayar yang ditunjukkan dengan naiknya angka NPL.

Selain memang jumlah peminat kredit akan berkurang di tengah pandemi ini karena korporasi tentunya akan enggan berekspansi masyarakat pada umumnya juga enggan meminta kredit konsumsi.

Perbankan juga akan lebih memilih-milih nasabahnya baik rumah tangga maupun korporasi mana yang layak diberikan kredit, karena tentu saja bank tidak ingin angka NPL terus membengkak di tengah kondisi meningkatnya nasabah yang kesulitan untuk membayar hutangnya karena terkendala corona.

Sedangkan pukulan kedua untuk sektor perbankan datang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengharuskan perbankan untuk menerapkan standar akuntansi baru PSAK 71 per 2020 yang tentu saja mengamplifikasi efek pukulan pertama.

Standar yang mengacu kepada International Financial Reporting Standard (IFRS) 9 ini menggantikan PSAK sebelumnya yakni PSAK 55.Dalam PSAK baru ini, poin utamanya ialah peningkatan pencadangan atas penurunan nilai aset keuangan berupa piutang, pinjaman, atau kredit.

Dengan demikian, aturan akuntansi ini mengubah metode penghitungan dan penyediaan cadangan untuk kerugian akibat pinjaman yang tak tertagih.

Dengan aturan baru ini, emiten harus menyediakan cadangan kerugian atas penurunan nilai kredit (CKPN) bagi semua kategori pinjaman, baik yang kredit lancar (performing), ragu-ragu (underperforming), maupun macet (non-performing). Kondisi ini tentu dinilai akan memberikan pencadangan yang lebih besar dari sebelumnya.

Dengan diberlakukanya PSAK 71, aturan pencatatan baru ini akan sangat mempengaruhi laba bank, karena kategori pinjaman akan turun dan pencadangan akan naik. Dampak yang terjadi dari PSAK 71 akan semakin berlipat ganda bagi bank yang memiliki banyak kredit macet apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 maka tentu saja perbankan harus meningkatkan pencadangannya yang nantinya mengerus laba bersih.

Akan tetapi secara valuasi memang perlu diakui kedua perusahaan perbankan ini masih murah baik menggunakan metode valuasi PER maupun PBV. Tercatat kedua perusahaan ini laba bersihnya turun sejalan dengan harga sahamnya sehingga PERnya tetap menarik dan berada di bawah rata-rata industri di angka 30 kali sejalan dengan valuasi PBVnya yang juga berada di bawah rata-rata industri di angka 1,5 kali

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar