H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menjadikan Preman Sebagai Pendukung Protokol Kesehatan, Pertanda Apa?

Selasa, 15/09/2020 09:54 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Sebagaimana ramai diwartakan, Wakapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono berencana memberdayakan preman pasar untuk membantu pengawasan dan mendisiplinkan masyarakarat pada protokol kesehatan.

“Kita juga berharap penegak disiplin internal di klaster pasar, di situ kan ada jeger-jeger-nya di pasar, kita jadikan penegak disiplin," kata Gatot di Mako Polda Metro Jaya, Kamis (10/9/2020) dilansir dari Antara.

Gatot juga mengatakan penegakan disiplin dengan operasi yustisi kali ini akan melibatkan institusi penegak hukum lainnya dengan sanksi yang lebih tegas.

"Ini kita gabungan melibatkan juga jaksa, kamtib kita lakukan secara serentak di seluruh Indonesia dan akan ada sanksi yang lebih tegas," katanya.

Pernyataan dari Wakapolri yang akan melibatkan preman untuk mendukung protokol kesehatan itu tentu saja mendapatkan respons yang beragam, ada yang bisa memahaminya tapi banyak juga yang menyayangkannya.

Seperti apa pro kontra yang mengiringi pernyataannya ? Apakah kebiasaan melibatkan preman oleh aparat ini sesuatu yang sudah biasa terjadinya ?. Bagaimana sejarah mencatat keterlibatan preman dalam mendukung fungsi pemerintahan formal yang berkuasa ?, Pelibatan preman pasar untuk menjaga protokol kesehatan itu sebenarnya pertanda apa ?

Menuai pro kontra

Seperti biasanya, ide dan gagasan pejabat publik yang terasa nyleneh akan menuai pro dan kontra. Meskipun nyleneh tapi ada saja yang mengamini atau memakluminya. Pengamat sosial Yana Supriyatna seperti dimuat di channel9.id, menilai pelibatan preman dalam mendukung penegakan protol kesehatan wajar wajar saja.

Karena menurutnya pemberdayaan preman pasar yang dimaksud Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, adalah bertujuan untuk penegakan disiplin warga masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan di pasar-pasar. Dengan tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya penyebaran virus corona.

Kelompok sosial preman pasar memiliki energi yang potensial untuk membantu warga masyarakat untuk berdisiplin mematuhi protokol kesehatan dan protokol pencegahan covid-19 terutama di pasar-pasar.

Menurutnya keinginan Wakapolri itu bernilai edukatif bagi para preman sendiri. Dalam artian para preman itu secara langsung diberikan tanggungjawab sosial untuk ikut mendisiplinkan dirinya dan warga.

”Dengan pemberdayaan para preman itu, energi mereka dapat disalurkan ke arah positif sebagai petugas yang membantu polisi dan TNI untuk pencegahan penyebaran covid-19 di pasar-pasar," ujarnya.

Dengan pelibatan semua segmen sosial masyarakat, upaya pencegahan penyebaran Covid-19 bisa dijalankan di semua sektor kehidupan masyarakat. Sehingga pandemi covid-19 di tanah air segera dapat ditanggulangi bersama-sama.

Sementara itu Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin seperti dikutip vio.id 11/9/20 mengatakan, seluruh lapisan masyarakat bisa ikut terlibat dalam pengawasan penerapan protokol kesehatan untuk memerangi virus corona. Sehingga, tujuan menekan angka penyebaran COVID-19 bisa tercapai sesuai rencana.

"Membantu ini kan tentu siapa saja boleh. Siapapun orangnya, saling ingatkan menegur yang ga pake masker, tidak patuhi protokol kesehatan COVID-19," ucap Arifin kepada wartawan, Jumat, 11 September.

"Jadi sifatnya membantu petugas yang selama ini melakukan pendisiplinan dan penegakan hukum kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan," kata dia.

Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti seperti dikutip Kompas.com, Jumat (11/9/2020), tidak memungkiri keberadaan para penguasa informal yang memiliki pengaruh di area seperti pasar, terminal, dan stasiun. Menurutnya, tidak masalah apabila para penguasa informal dilibatkan agar masyarakat di area tersebut mematuhi protokol kesehatan. Bahkan, Poengky menilai pelibatan tersebut dapat berdampak positif bagi masyarakat dan "penguasa informal" sendiri.

Namun, untuk menghindari potensi pelanggaran, Poengky meminta agar pelaksanaannya diawasi aparat kepolisian. "Oleh karena itu harus selalu didampingi aparat kepolisian, misalnya Bhabinkamtibmas yang bertugas di pasar, yang memahami dan mengenal medan," tutur dia.

Namun pelibatan preman dalam menegakkan protokol kesehatan ini lebih banyak menuai kontra. DPW Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) DKI Jakarta menilai pernyataan Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono yang ingin melibatkan preman membantu aparat keamanan mengawasi penerapan protokol kesehatan di pasar itu berlebihan.

“Saya kira Bapak Wakapolri tidak perlu sampai sejauh itu melibatkan preman pasar untuk mengawasi aktivitas warga, terutama di pasar-pasar," kata Ketua IKAPPI Jakarta, Miftahudin dalam keterangan tertulis di Jakarta seperti dikutip iNews.id, Minggu (13/9/2020).

Menurut dia pengawasan penerapan protokol kesehatan di pasar akan lebih efektif jika dilakukan oleh paguyuban atau ketua-ketua blok pasar. Miftah menilai keterlibatan pedagang justru akan memperkuat displin pedagang.

Senada dengan IKAPPI, Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengkritik wacana pihak kepolisian menggandeng preman pasar untuk mengawasi kedisiplinan warga dalam menjalankan protokol Covid-19. Menurutnya, langkah itu tidak perlu dilakukan."Enggak usah cari perkara. Enggak usah lah, polisi aja yang ngawasin," kata Agus seperti dikutip Republika, Ahad (13/9).

Lebih lanjut, dia menegaskan, pengawasan terkait protokol kesehatan Covid-19 cukup dilakukan oleh kepolisian dan tentara nasional Indonesia (TNI), bekerjasama dengan sejumlah masyarakat. "Polisi sama TNI udah selesai, sama warga, sudah cukup. Enggak usah tambah macam-macam orang itu darimana. Kurang kerjaan," ungkapnya

Sementara itu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) juga menyoroti wacana perekrutan preman oleh Polri untuk menertibkan masyarakat agar mematuhi protokol Covid-19.

Wacana tersebut dinilai kontraproduktif dan menunjukkan kegagalan polisi dalam melakukan tugasnya "Wacana pelibatan preman pasar untuk turut mendisiplinkan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 sebagaimana disampaikan Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi Gatot Eddy Pramono hanya akan semakin memperburuk situasi," tulis Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangan resmi KontraS, Sabtu (12/9).

Tidak ketinggalan Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto ikut angkat bicara. Ia mengaku prihatin dengan pernyataan Wakapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono yang berencana akan memberdayakan preman pasar untuk membantu pengawasan protokol kesehatan terhadap pengunjung pasar. Langkah tersebut dinilai kontraproduktif dan bakal memicu persoalan baru.

"Saya mengapresiasi semangat, komitmen dan langkah Wakapolri dalam merespon serta menangani penyebaran Covid-19 yang belum terkendali hingga saat ini, namun semangat dan langkah itu bisa menimbulkan persoalan baru dan kontraproduktif apabila salah dalam mengambil kebijakan termasuk meligitimasi hadirnya "jeger/preman pasar" dalam tugas dan kewenangan institusional formal," kata Didik seperti dikutip headtopics.com, Ahad (13/9).

Fenomena Pelibatan Preman

Fenomena pelibatan preman dalam menegakkan protokol kesehatan oleh Wakapolri memang terkesan janggal namun sebenarnya praktek praktek pelibatan preman oleh pejabat kita dalam menjalankan fungsi fungsi pemerintahan dan keamanan ini sesungguhnya nya sudah lazim kita temukan dalam praktek di kehidupan nyata.

Praktek praktek seperti itu mengesankan bahwa preman preman memang sengaja di pelihara oleh mereka yang mempunyai kuasa. Sebagai contoh adanya pemaksaan dan intimidasi pengelolaan lahan parkir minimarket di Kota Bekasi, Jawa Barat, oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan beberapa waktu yang lalu menjadi fenomena puncak gunung es soal suburnya aksi premanisme di negara kita.

Mereka bergerak di berbagai sektor ekonomi dengan kedok menyediakan beragam jasa, dari memungut uang parkir, menjaga keamanan, sampai menagih utang. Preman preman itu menjalankan fungsi publik, seperti pengamanan yang seyogyanya menjadi kewajiban dari negara untuk melindungi rakyatnya.

Namun, celakanya pemerintah atau pemerintah daerah yang mestinya menertibkan aksi-aksi semacam itu justru malah memfasilitasinya. Dengan dalih pemberdayaan masyarakat dan ekstensifikasi pajak daerah, Pemkot Bekasi misalnya menerbitkan `surat tugas` kepada ormas untuk mengelola parkir diwilayahnya.

Dalam video yang beredar luas di media sosial, Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Bekasi Aan Suhanda terlihat memfasilitasi ormas untuk menekan pengusaha.

Di hadapan massa ormas saat demonstrasi di Jalan Raya Narogong pada 23 Oktober 2019 lalu, dia mengharapkan pemilik Alfamart, Indomaret, atau Alfamidi yang jumlahnya 600 di Kota Bekasi mau bekerja sama dengan ormas dalam hal pemungutan parkirnya.

Tampak juga pihak Indomaret yang dipaksa untuk menyetujui kesepakatan bahwa urusan parkir di semua minimarket di Kota Bekasi akan dikelola ormas-ormas yang ditunjuknya.

Ada pula Wakapolres Kota Bekasi yang terlihat diam saja ketika massa menekan pihak Indomaret untuk memenuhi keinginannya. Inilah yang dikhawatirkan pengusaha retail karena bisa menurunkan omzet penjualan disebabkan fasilitas prakir gratis diakui cukup efektif untuk menarik pembeli datang ke gerai mereka.

Dalam skala yang lebih besar, selain meresahkan masyarakat, praktik premanisme terbukti telah mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sehingga merugikan negara. Di tengah pengurusan izin usaha yang masih ruwet, masih ditambah jatah preman tiap bulannya. Ekonomi menjadi tidak efisien karena biaya preman dimasukkan ke modal produksi pengusaha.

Aksi-aksi seperti pungutan liar dan pemerasan amat mengganggu dunia usaha, juga dalam jangka panjang mengganggu iklim investasi di Indonesia. Kalau ini dibiarkan maka tak ada lagi pengusaha yang tertarik menanam modal di negara yang membiarkan preman bebas merdeka.

Para pengusaha asing berpotensi menunda atau menarik investasi di dalam negeri pada sektor tersebut lantaran berkaitan dengan keamanan dan keberlangsungan bisnisnya.

Selain kasus preman di Bekasi yang melibatkan pemerintah daerahnya, fenomena premanisme juga sudah sering kita temukan dijalan jalan raya. Mereka sepertinya sengaja “dipelihara” oleh pihak yang punya kuasa sebagai ATM untuk setor ke pihak yang membekinginya.

Mungkin sebagian kita yang sering melintas di jalan raya, sudah tak asing lagi melihat “posko-posko” yang berkedok keamanan jalan raya. Terutama jalan lintas Sumatera Utara. Hampir di setiap daerah, ada “posko-posko” yang bercokol untuk memungut iuran bagi para pengendara.

Mereka menamakan dirinya keamanan bagi sopir truck, sopir pick-up, dan sopir-sopir yang kerap berlalu-lalang di jalan raya yang membawa barang atau penumpang manusia. Organisasi yang terindikasi penyalahgunaan keamanan, seperti: Scorpio, ADS, WSR, RM DIKA, KR, HRP, Sinar Toba, yang sudah tak asing lagi kita lihat logo mereka di truk atau kendaraan angkutan barang lainnya.

Pertanyaannya adalah apakah organisasi tersebut resmi adanya? Dan jika tidak resmi, kenapa pula terus berlanjut sampai saat ini seolah olah direstui keberadaannya.
Pada zaman Sutanto menjabat sebagai Kapolri, premanisme dan perjudian ditutup sampai ke akar-akarnya.

Pungutan-pungutan liar yang meresahkan para sopir truk di jalan pun, sudah tidak berani menampakkan jati dirinya. Dan seiring pergantian Kapolri, pungutan liar pun kembali beraksi alias kambuh penyakitnya.

Kiranya begitu jelas sudah, organisasi yang berkedok keamanan itu “semi resmi” keberadaannya. Bisa dibuka dan ditutup kapan saja, tergantung pihak pihak yang merestuinya. Fenomena ini tentu saja meresahkah para sopir yang pendapatannya sebenarnya tidak seberapa.

Pada hal jasa sopir itu juga untuk pergerakan perekonomian negara, sehingga tak bisa dibabaikan keberadaannya. Atas jasanyala barang-barang pokok, dan lainnya diantar dari berbagai pulau, atau lintas kota. Bayangkan saja jika para sopir sudah tak mau lagi mengemudi, apakah kita harus membeli langsung barang di tempat produksinya?

Dan tentu saja kita patut heran dengan fenomena yang ada. Jika mereka selama ini sudah beroperasi, apakah Polsek dan Polres setempat tidak tahu tindak-tanduk mereka? Atau jangan-jangan memang ada iuran juga mengalir ke kantor mereka ?.

Adanya preman preman yang “berselingkuh” dengan aparat yang punya kuasa kiranya tidak hanya terjadi di kawasan parkir atau jalan raya saja tetapi bisa terjadi di klub klub malam, terminal, tempat tempat judi atau tempat hiburan lainnya. Bahkan lebih jauh praktek seperti ini bisa terjadi di lingkungan kekuasaan negara sebagai akibat penguasanya hasil ternak preman preman politik yang banyak uangnya.

Munculnya kebijakan kebijakan yang tidak pro rakyat atau bahkan menyakiti hati rakyat bisa jadi karena semangat “premanisme” telah merasuki para pejabat pengambil kebijakan yang telah disetir oleh para preman disekelilingnya. Sehingga penguasa formal sebenarnya hanya menjadi boneka saja yang menjalankan apa yang diperintahkan oleh preman preman yang mendalanginya.

Sudah Lama Terjadinya

Fenomena penggunaan preman untuk membantu pelaksanaan tugas penguasa atau pejabat publik ternyata sudah lama terjadinya bahkan sejak zaman Belanda. Tulisan Fadrik Aziz Firdausi mengulas fenomena ini sebagaimana di muat di tirto.id - 19 Juli 2019.

Diceritakan pada pagi-pagi tanggal 6 Oktober 1899, Residen Madiun J.J. Donner kaget mendapati tirai dan beberapa barang di ruang ia biasa minum kopi raib dari tempatnya. Ia jengkel karena biasa memulai pagi dengan menyeruput kopi sambil berpiyama. Ketiadaan tirai itu telah membuatnya jengkel luar biasa.

Residen Donner akhirnya berkesimpulan: pencurian ini jelas bertujuan politis untuk menjatuhkannya. Esoknya sang residen memanggil Bupati Brotodiningrat dan memintanya mengusut kasus pencurian dikediamannya. Sementara Brotodiningrat mengusutnya, beberapa pencurian yang menyasar rumah-rumah orang Belanda terus saja merajalela.

Bupati lantas mengajukan usul agar rumah orang Belanda diberi penerangan yang lebih baik dan setiap pelayan yang bekerja di rumah itu didata. Residen justru marah atas usul ini karena berpotensi menimbulkan kepanikan dikediamannya. Dia juga ogah reputasinya tercoreng karena dianggap gagal menjaga ketertiban di wilayahnya.

Brotodiningrat pada akhirnya berhasil menangkap seorang residivis yang dituduh sebagai pencuri di rumah Residen Donner. Taplak miliknya pun ditemukan pula di suatu tempat di Ponorogo. Bupati merasa masalah telah selesai, karena tersangka malingnya telah ditangkap untuk di adili sebagaimana mestinya. Tapi ternyata tidak bagi sang Residen.

Tertangkapnya sang tersangka maling tidak serta merta menjadi clear persoalannya. Dan akhirnya kasus ini pun berkembang jadi kekacauan. Residen mencurigai bahwa Bupati lah yang menjadi dalang keonaran yang sebenarnya dan melaporkannya kepada gubernur jenderal Belanda di Batavia.

Bupati pun diberhentikan sementara dari jabatannya lalu diasingkan ke Padang Sumatera. Sementara itu Residen menggelar investigasi besar-besar di Madiun dan sekitarnya. Perkembangan kasus ini, yang lazim disebut Peristiwa Brotodiningrat, dicatat sejarawan Ong Hok Ham dalam disertasinya (1975) yang kemudian dibukukan dengan judul Madiun dalam Kemelut Sejarah (2018).

Residen Donner pada akhirnya berhasil menguak jaringan yang digunakan Brotodiningrat untuk menjaga “keamanan dan ketertiban” di Madiun. Diketahui bahwa sang bupati, selain membawahi polisi, juga memanfaatkan jejaring para bandit yang disebut weri hingga pelacur dan muncikari. Temuan Residen Donner itu amat mengesankan pemerintah kolonial di Batavia.

“Ia (Donner) menuduhnya (Brotodiningrat) sebagai seorang ‘kepala kraman’, pimpinan pemberontak, yang merencanakan pemberontakan Diponegoro kedua,” tulis Ong Hok Ham (hlm. 279).

Namun Brotodiningrat mampu membela diri dan menunjukkan bahwa sebagian dari para bandit adalah mata-mata resmi kepolisian dan dibayar dari anggaran karesidenan. Tuduhan padanya sebagai dalang di balik pencurian di rumah-rumah orang Eropa juga tidak terbukti meski relasinya dengan dunia kriminal terkuak. Investigasi Residen Donner itu berhasil membuat Brotodiningrat dilengserkan.

Namun gara-gara bubarnya jaringan “penjaga keamanan” bupati itu, Karesidenan Madiun jadi kacau. Selama 1901-1902 perampokan merajalela di Ngawi , Magetan dan sekitarnya. Kondisi itu membikin Residen Donner kian paranoid.

Ia bahkan melapor ke Batavia bahwa ancaman perang sedang mendekat ke Madiun. Ia juga kembali menuding Brotodiningrat yang kini hanya warga biasa sebagai biang keroknya.

Tindakan gegabah itu juga diikuti dengan penangkapan besar-besaran terhadap para bandit, wedana, polisi desa, hingga pegawai pemerintah dari berbagai tingkatan yang dicurigai dekat dengan Brotodiningrat. Ong Hok Ham menengarai meningkatnya kriminalitas di Karesidenan Madiun itu adalah efek dari bubarnya jaringan polisi dan mata-mata bupati.

Jaringan preman Bupati Brotodiningrat adalah contoh konkret dari adagium “menangkap maling dengan maling”, atau penggunaan gerombolan preman untuk membantu tugas penguasa yang gagal dipahami pejabat Belanda.

Karena kejadian diatas maka sejak 1870-an Belanda mulai memperkuat sistem birokrasi kolonial. Para bupati dan pangreh praja kini adalah pegawai pemerintah kolonial dan seluruh urusan publik harus diurus dalam birokrasi resmi.

Mereka kini punya tanggung jawab birokratis kepada pemerintah kolonial, bukan lagi bertindak atas dasar keningratan yang disandangnya. Sistem ini, baru benar-benar efektif pada awal abad ke-20, perlahan-lahan setelah berhasil menggusur sistem feodalisme tradisional di Jawa.

Sebagaimana tercermin dalam Peristiwa Brotodiningrat, para jago memang masih bisa ambil peran sebagai informan atau polisi desa, tapi ruang gerak mereka jelas semakin terbatas dan citra mereka semakin negatif.

“Sistem pemerintahan yang berlandaskan pemimpin tak resmi, seperti para jago, tidak diperkenankan lagi. Peran jago atau preman malah dilihat sebagai sesuatu yang ilegal, sebagai pemeras rakyat setempat dan penghalang jalannya peraturan resmi,” tulis Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003: 182).

Sungguhpun demikian praktek melibatkan jago atau preman dalam kekuasaan nyatanya masih berlangsung hingga kini yang menjelma dalam relasi para preman dengan para elite politik yang sedang berkuasa.

Pertanda Apa ?

Sepertinyapenggunaan preman dalam mengamankan protokol kesehatan sebagaimana usulan Wakapolri tidak terlepas dari nostalgia lama akan adanya pemegang kuasa yang terikat ketundukan kepada preman preman yang sedang berkuasa.

Hal tersebut sekaligus menjadi sebuah sinyal pengakuan eksistensi preman dalam kehidupan di tengah tengah masyarakat kita. Pada hal keberadaan preman yang berkonotasi negative itu harus di berantas keberadaannya karena meresahkan masyarakat dan merugikan harmoni kehidupan bersama.

Namun nyatanya upaya memberantas preman selama ini hanya sekadar live service belaka. Dalam sejarah tercatat upaya memberantas preman secara keras terjadi pada masa Orba berkuasa yaitu ketika dilancarkan operasi petrus untuk menggulung preman preman yang berkeliaran dengan seenaknya.

Pasca tumbangnya Orba, preman preman seperti mendapatkan angin baru untuk kembali eksis menampakkan jatidirinya. Dengan alasan takut melanggar HAM, pihak berwenang sepertinya merasa gamang untuk memerangi preman dan bahkan cenderung merangkulnya.

Fenomena ini tentu saja terkesan ngawur dan tidak pada tempatnya.Jangankan untuk menghukum premanisme, untuk menghukum koruptor saja masih enggan dilakukan hanya karena takut melanggar HAM. Alhasil kejahatan di Indonesia dewasa ini semakin tumbuh subur dan sulit dikendalikan hanya karena pihak berwenang takut melanggar HAM ketika hendak menegakkan hukumnya.

Akhirnya pemberantasan preman dewasa ini hanya sekedar gerakan yang asal-asalan saja. Para premansisme di tangkap kemudian hanya didata, jika mereka berulah mereka baru dipenjara namun penjaranya biasanya hanya hitungan bulan saja.

Makanya tidak heran kalau ada yang berpendapat bahwa premanisme pelaku kejahatan sepertinya memang dipelihara oleh negara, pada hal seharusnya orang miskin atau anak anak terlantarlah yang harus dipelihara oleh negara.

Konyolnya lagi mereka malah diakui eksistensinya dengan diminta bantuan tenaganya untuk membantu tugas tugas pejabat publik yang merasa kurang mampu menjalankan kewajibannya. Oleh karena itu gagasan Wakapolri yang akan melibatkan preman dalam menegakkan protokol kesehatan dalam rangka memerangi virus corona tidak pada tempatnya.

Seharusnya Wakapolri paham, untuk terlebih dahulu mengutamakan komponen-komponen yang sudah berada dalam binaannya seperti Satpol PP atau Satpam diwilayah kekuasaannya. Bukan malah memberdayakan preman yang seharusnya harus diberantas keberadaannya.

Justru dengan mengggunakan preman untuk membantu tugas tugasnya, Polri telah mendegradasi fungsinya sebagai aparat yang digaji oleh negara. Hal itu sekaligus sebagai cermin ketidakmampuannya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Lagi pula apa gunanya POLRI dibentuk, jika pada akhirnya ketika akan melaksanakan tugasnya harus meminta bantuan kepada pihak lain yang seharusnya justru harus di berantas keberadaannya ?. Kalau sudah begitu, itu artinya pihak keamanan resmi dari negara tidak dianggap ada. Kalaupun dianggap, hanya sebagai pelengkap suatu pemerintahan, namun tak digunakan tugasnya.

Akhir akhir ini memang terkesan terjadi keanehan keanehan dalam menjalankan fungsi pemerintahan dalam kerangka berbangsa dan bernegara. Seperti adanya buzzer buzzer penguasa yang dibayar dimana perannya adalah menjadi humas penguasa menggantikan kelembagaan resmi yang ada. Ada juga penggunaan preman untuk mendukung penegakan disiplin protokol kesehatan dalam memerangi virus corona.

Dilingkungan militer muncul juga fenomena adanya kekuatan terselubung berupa pasukan bersenjata milik BIN (Badan Intelijen Negara). Penampakan kemunculan pasukan bersenjata itu diketahui dari sebuah rekaman video yang disiarkan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) Bambang Soesatyo.

Tidak diketahui dari mana asal pasukan itu, karena yang terlihat mereka hanya menggenakan seragam hitam-hitam lengkap dengan senjata laras panjang.Dan Bamsoet menyebutkan bahwa pasukan bersenjata itu adalah pasukan khusus intelijen BIN bernama Rajawali."Pasukan Khusus Rajawali BIN memang beda. Selamat! Penampilan yang luar biasa. Jaga Indonesia. Jaga NKRI," tulisnya sebagaimana dikutip viva.co.id 11/9/2020.

Kemunculan pasukan ini cukup menarik, sebab sebenarnya BIN bukan lembaga yang tugasnya penegakan hukum, sehingga membutuhkan pasukan bersenjata untuk konfrontasi. Dalam Undang-undang RI nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, tidak ada disebutkan bahwa BIN memiliki pasukan bersenjata seperti yang muncul di acara tersebut. Apakah pasukan “siluman” ini mirip gerombolan preman juga ?

Munculnya kekuatan kekuatan diluar kelembagaan resmi negara (termasuk kelompok preman) untuk membantu tugas pejabat atau lembaga formal itu memang akhirnya bukan hanya menimbulkan pemborosan dan cermin tidak efektifnya system pemerintahan tapi juga bisa menimbulkan keresahan.

Karena fenomena itu akan cenderung memunculkan penyalahgunaan wewenang, korupsi dan beragam penyimpangan. Apalagi kalau kekuatan kekuatan diluar pemerintaan itu berangkat dari unsur ilegal seperti preman preman.

Dengan adanya penggunaan tenaga tenaga preman untuk mendukung pelaksanaan fungsi fungsi pemerintahan berarti pemerintah secara tidak langsung mengakui ketidakmampuannya “mengurus negara” melalaui kelembagaan formalnya.

Sekaligus pengakuan bahwa Pemerintah dengan sengaja memelihara preman tujuan tujuan jangka pendeknya sebagai penopang kekuasaannya. Apakah memang demikian adanya ?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar