Jokowi Kerap Bela Investor Saat Ada Konflik Tanah dengan Rakyat Kecil

Sabtu, 05/09/2020 06:01 WIB
Mantan Menko Ekuin Rizal Ramli sebut Jokowi kerap bela investor saat terjadi konflik agraria (law-justice.co/ Teguh Vicky Newsmaker)

Mantan Menko Ekuin Rizal Ramli sebut Jokowi kerap bela investor saat terjadi konflik agraria (law-justice.co/ Teguh Vicky Newsmaker)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi dinilai sangat berbeda dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat menjadi Presiden Indonesia. Kalau Zaman Gus Dur, pemerintah selalu membela rakyat kecil ketika terlibat konflik agraria atau tanah dengan orang besar atau investor.

Hal itu disampaikan oleh mantan Menteri Koordinator Perekonomian dan Industri era Gus Dur, Rizal Ramli. Menurut dia, konflik agraria gampang terjadi karena pemerintah tidak sungguh-sungguh mengakui hak adat maupun tanah milik rakyat. Karena itu, dia menuding bahwa apa pun akan dilanggar pemerintah untuk kepentingan investor.

“Jadi, ini tidak adil dan tidak benar,” kata Rizal dalam webinar Ngopi Bareng RR Edisi V bertajuk `Konflik Agraria di Tengah Ancaman Krisis Pangan Akibat Pandemi Corona, Apa Jadinya?` seperti dilansir dari jpnn.com, Jumat (4/9/2020).

Menurut Rizal Ramli, solusinya tidak terlalu sulit bila pemerintah betul-betul mengakui tanah adat, rakyat dan masyarakat, baik yang sudah punya sertifikat atau hanya girik atau batasan-batasan yang ditentukan adat. Rizal Ramli bercerita soal pengalamannya saat menjadi menteri di era Gus Dur.

Menurut Rizal, filosofi yang diterapkan Gus Dur kala itu adalah bila terjadi konflik antara orang besar dengan rakyat maka yang harus dibela adalah masyarakat. Sebab, kata dia, orang besar memiliki berbagai sumber daya, sementara rakyat sangat lemah.

“Jadi, zaman Gus Dur itu kalau ada konflik rakyat sama yang besar maka kami berupaya membela rakyat,” cerita Rizal Ramli.

Namun, mantan menteri koordinator kemaritiman periode pertama Presiden Jokowi itu menyayangkan terkadang kepentingan investor dianggap lebih penting dari segala-galanya. Sementara, kata dia, kepentingan rakyat dinomorsepuluhkan.

“Oknum-oknum penguasa dalam berbagai konflik juga terkesan selalu berpihak kepada investor, yang besar-besar, tidak ada keinginan melindungi rakyat dan memberikan keadilan,” katanya.

Menurut Rizal Ramli, banyak persoalan yang harus dibenahi terkait masalah agraria ini. Dia mengingatkan, apa gunanya kemajuan dan pembangunan kalau yang menikmati yang besar-besar atau investor. Sementara rakyat tidak dapat manfaat dari lingkungan dan tanahnya. “Lingkungan dirusak, tanahnya diambil paksa,” tegasnya.

Rizal mengatakan, seharusnya dalam sistem normal rakyat bisa negosiasi dengan investor apakah mau dijual atau tidak, dan mendapat kompensasi dari pengambilalihan tanah. “Praktiknya, hak rakyat tidak diakui, dan sangat murah atau tidak masuk akal,” kata dia.

Rizal Ramli mengatakan pemerintah pun harus kreatif mencari solusi. Hal itu pernah dilakukannya saat menjabat menko ekuin era Gus Dur.

Dia bercerita, kala itu dunia, salah satunya Jerman, tengah mengkritik persoalan perubahan iklim. Lantas Rizal bertemu dengan menteri keuangan Jerman. Rizal kala itu mengatakan Jerman jangan cuma mengkritik, tetapi harus mencari win-win solution.

“Jadi, saya tawarkan utang dibayar hutan. Kamu kurangi utang Indonesia USD 300 juta, kami beri 300 hektar hutan di Kalimantan sebagai daerah konservasi yang tidak bisa diapa-apakan,” kata dia.

Menurut Rizal Ramli, ini merupakan win-win solution. Buat Jerman, kata dia, ini bagus karena bisa menjadi kampanye negara tersebut kepada rakyatnya bahwa mereka telah membantu memelihara paru-paru dunia di Kalimantan. Sementara untuk Indonesia, kata Rizal, utang bisa dikurangi.

“Menkeu Jerman setuju dan dilakukanlah enam kali. Akhirnya kami sepakati, hutan konservasi ditukar dengan utang dan berhasil. Namun, karena Gus Dur jatuh, hal itu tidak berlanjut lagi sampai sekarang,” jelas Rizal Ramli.

Nah, kata Rizal Ramli, sebenarnya hal ini masih relevan diterapkan sekarang. Terlebih lagi, hari ini makin banyak dunia yang sadar tentang pentingnya lingkungan hidup.

Pemerintah, lanjut RR, bisa menguragi beban utang Indonesia dengan negosiasi sejenis. “Kalau AS, Trump, mungkin tidak tertarik, tetapi Jerman, Perancis, Jepang dan lainnya banyak yang tertarik. Misalnya, kami katakan akan konservasi 1,2 juta hektar tetapi utang dikurangi USD 10 miliar atau USD 20 miliar,” kata RR.

Sekali lagi, ia menegaskan, ini bisa dilakukan bila pemerintah inovatif, berani dan kreatif. “Hari ini malah makin relevan supaya kita bisa jaga lingkungan, hutan terpelihara, dan memberikan sumbangan oksigen besar sebagai paru-paru dunia,” tutupnya..

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar