YLBHI Minta Polisi Tegas Hadapi Kasus Penodaan Agama

Sabtu, 22/08/2020 03:33 WIB
Direktur YLBHI Asfinawati (Foto: Sinarharapan)

Direktur YLBHI Asfinawati (Foto: Sinarharapan)

Jakarta, law-justice.co - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai proses hukum penodaan agama selalu memancing respons massa untuk menjadi `hakim`, baik secara langsung atau daring.

"Di dalamnya (aksi massa) ada hate speech. Mereka yang jadi korban bisa jadi pelaku," ujar Asfinawati, dilansir dari Medco.id, Jumat (21/8/2020).

Data YLBHI menunjukkan, 28 dari 38 ujaran kebencian pada 2020 mengancam ketertiban masyarakat. Temuan tersebut didapat informasi kepolisian.

"Karena sudah tersebar dan menimbulkan keresahan masyarakat," katanya.

Untuk meredam aksi massa, polisi cenderung berjanji kasus penodaan agama tersebut akan dibawa ke ranah hukum. YLBHI menyayangkan hal tersebut karena polisi bergerak atas tekanan massa.

Padahal, bila dilihat, tak ada alasan mengganggu ketertiban dengan mengacu Pasal 156a KUHP terkait penodaan agama atau Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Alasan sosiologis juga sering masuk dalam dakwaan dan pertimbangan hakim.

Puluhan kasus penodaan agama tersebut ditemukan sejak Januari hingga Mei 2020. Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Maluku Utara, dan Jawa Barat ialah daerah dengan kasus terbanyak.

Sebanyak 25 kasus sudah berujung penangkapan. Rinciannya 11 kasus dalam penyelidikan, 10 kasus dalam penyidikan, satu kasus disidangkan, dan satu kasus tidak ditindaklanjuti. Teranyar, dua kasus diproses pada Juni 2020.

Tiga belas pelaku kasus penodaan belum ditangkap. Lima kasus masih dalam penyelidikan, empat kasus tak tahu perkembangan, dan empat kasus tidak dilanjutkan.

 

(Hendrik S\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar